Fenomena Film Bumi Manusia serupa Fenomena Tik-Tok ?
Oleh : Nila Rosyidah[1]

 Source: pusdima

Sebuah Komodifikasi
Tulisan yang ditulis oleh Dustin Tiffany yang berjudul “Setiktok Dua Tiktok dan Ejakulasi Pram yang tak Klimaks” mengangkat mengenai isu realisme sosialis dengan Pramoedya Ananta Toer bersama karya nya yang sempat diangkat ke layar lebar yaitu Bumi Manusia yang menyebabkan adanya komodifikasi makna dari realisme sosialis yang sesungguhnya terdapat dalam sekuel pertama karya Pulau Buru tersebut bagaimana karya yang memiliki nilai historis dan elemen penggerak perubahan hanya dimanai sebatas romantisme pribadi dengan latar awal abad ke-20. Dibalik kritik atas strategi pemasaran film tersebut yang memang menyasar usia remaja awal sehingga pendekatan romantisme pribadi merupakan pendekatan emosional yang cukup perhitungan, ada satu hal yang mungkin perlu dipikirkan lagi mengenai makna dari realisme sosialis sendiri yang pada hakikatnya guna menggerakkan masa pada suatu gerakan politik.
Apakah dengan pendekatan yang cenderung kaku dan terpaku pada narasi historik layaknya film dokumenter dapat menyasar generasi remaja awal selain menjadi komoditas yang hanya dinikmati kaum elit intelektual ?
Barangkali mungkin perlu dilihat lebih jauh bagaimana narasi sejarah awal mencuatnya Realisme Sosialis pada era 1950-an yang muncul sebagai perlawanan dari sastrawan ataupun seniman yang dianaktirikan oleh sastrawan elit yang tergabung dalam Kelompok Gelanggang. Polarisasi ini secara garis besar dapat dilihat dari gerakan dari Kelompok Gelanggang yang mengutamakan aspek keindahan dan keterasingan individual dengan bahasa yang tinggi dan bahwa karya sastra Indonesia perlu menjadi bagian dari arus universal kaum elit, sedangkan lawannya dengan ideologi realisme sosialis cenderung menggambarkan masyarakat luas kebanyakan dan mungkin yang luput dalam pembahasan bahwa kritikan yang dilempar kaum sastra tinggi salah satu nya adalah penggunaan dari bahasa-bahasa pasar yang tidak mencerminkan nilai sastra ‘tinggi’ yang memang tidak terlepas dari tingkat pendidikan sastrawan garis ini yang rendah (misalnya saja Pram yang tidak lulus SD), padahal penggunaan bahasa pasar inilah yang menjadi ciri khas tersendiri dari penggambaran masyarakat Indonesia secara utuh pada masanya berikut pengembangan bahasanya.
Salah satu poin yang perlu diingat dari realisme sosialis yakni, selain usahanya untuk menggerakkan masa, namun juga memikirkan bagaimana sastra tidak hanya menjadi konsumsi elit dan lebih dekat dengan masyarakat yang akhirnya diharapkan bisa menggerakkan sebuah masa pada ideologi kepentingan sosialisme. Sehingga, apakah cara penyampaian Bumi Manusia melalui film yang digarap Hanung, yang cenderung mudah dicerna ini sebenarnya telah menodai tujuan realisme sosialis ?
Pada akhirnya, kita pun menuju pada suatu pertanyaan yang lebih besar, apakah salah, sebuah karya realisme sosialis menjadi sebuah komoditas ? bagaimana karya sastra tetap hidup dan menghidupi penulisnya atau apresiatornya dalam ruang seni pertunjukkan dengan tetap sebagai bagian dari kebutuhan penonton yang juga dapat mendidik masyarakat luas ?  

Bumi Manusia dan Tik Tok
 Pertanyaan selanjutnya adalah, tentang perbandingan antara ramainya Bumi Manusia dalam ruang perbincangan yang mirip dengan perkembangan Tik Tok yang awalnya dicaci dan akhirnya sekarang dipuji, apakah sebuah perbandingan yang setara ? Berbeda dengan Tik-tok yang sempat dipinggirkan karena diaggap sebagai sesuatu fenomena sosial yang hanya menjadi wadah kaum narsistik remaja tanggung, Karya-karya realisme sosial seperti karya Pram bukannya dipinggirkan oleh sebuah arus budaya populer tapi memang sengaja dibungkam bersamaan dengan naiknya ekskalasi politik antara angkatan bersenjata dan Partai Komununis dalam berebut pengaruh dan kuasa dalam pada masa menurunnya kondisi kesehatan tokoh sentral kala itu yaitu Bung Karno.
Penulis beraliran realisme sosialis dibawah organisasi Lekra yang merupakan organisasi dibawah pengaruh PKI, akhirnya ikut ditumbangkan paksa justru pada masa dimana realisme sosialis ini mendapatkan panggung, dimana rivalnya yang tergabung dalam kelompok Manikebu (sebuah kelompok yang berisi penulis yang menganut humanisme universal seperti Goenawan Mohammad, H.B Jassin dsb) dibubarkan karena diaggap menghambat pembangunan bangsa, sampai akhirnya H.B Jassin dan A. Teeuw mengundurkan diri sebagai staf pengajar.[2]
Pramoedya Ananta Toer yang kala itu merupakan tokoh berpengaruh Lekra, seakan belum puas meskipun kelompok Manikebu sudah dibubarkan, Ia menulis artikel pendek pada kolom Lentera dengan Judul “tahun 1965 tahun Pembabatan” yang isinya mengomentari para penerbit yang masih menerbitkan karya-karya dengan aliran humanisme universal dan menyeru untuk izin oprasional dari penerbit-penerbit itu dicabut. Pada akhirnya,  pada tahun tersebut benar menjadi sebuah tahun pembabatan, tidak untuk gerakan Manikebu, namun untuk Gerakan PKI dan semua organisasi yang berafiliasi dengannya seperti Gerwani dan juga termasuk Lekra.  
Yang akhirnya berujung pada pemusnahan berbagai karya Pram yang merupakan peristiwa yang sangat disayangkan bagaimana sebuah ide-ide yang dapat dipelajari dalam kontemplasi kemajuan bangsa karena sifatnya sebagai kerja keabadian harus dihilangkan karena pergolakan politik perebutan hegemoni sesaat.

Pram dan  Pendidikan
Pertemuan Pram sendiri dengan aliran Realisme Sosialis setidaknya dapat dilacak pada 1953 saat Pram mendapatkan kehormatan mengikuti forum yang diselenggarakan Sticusa (Yayasan Belanda untuk kerjasama kebudayaan) dimana dalam forum ini Pram bertemu dengan Prof. Wetheim yang memperkenalkannya ide mengenai realisme sosialis.[3]  Seiring dengan perjalanan panjang kehidupan Pram, termasuk juga kekecewaan pribadinya dengan H.B Jassin yang mengusung ide humanisme universal namun tidak pada sikapnya pada Pram,  setelah beberapa karya pram yang memiliki nuansa Humanisme Universal (misalnya dalam karya Bukan Pasar Malam, dst) hingga karyanya yang memiliki semangat politik yang tajam seperti salah satu novel nya yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
Masa penahanan di Pulau Buru ternyata merupakan tempat pertapaan yang sempurna bagi Pram yang akhirnya melahirkan Tetralogi Pulau Buru. Dibalik semangatnya memperdebatkan humanisme universal dan realisme sosialis, karya Pram sendiri dalam Tetralogi Pulau Buru ini mengandung keduanya. Bagaimana dapat ditemukan eksplorasi pengalaman individual misalnya adanya bagian dari individual Minke yang menyentuh dengan kisah cintanya dengan berbagai wanita mulai dari Anelis, pertemuan dengan perempuan yang kuat seperti Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia maupun Ang San Mei hingga Princess Kasiruta di sekuel selanjutnya, tidak luput juga penggambaran realitas masyarakat pada awal abad ke-20 juga “narasi-narasi serius” yang menjelaskan bagaimana tidak hitam putihnya kolonialisme dan imperialism.
Tidak lupa juga semangat sejarah pembentukan Indonesia yang sering kali di buku-buku sekolah hanya menyentuh tataran hafalan rangkaian dinasti panjang, Pramoedya dalam karyanya dapat mengisi ruang yang lebih membumi, bahwa pergerakan sejarah tidak hanya diwarnai oleh konstelasi politik kaum elit, namun juga rakyat jelata, rakyat biasa, bahwa Nyai ontosoroh, Darsam, adalah kita, naskah Pram tersebut mengisi ruang abstrak, menjalinkan sebuah ikatan manusia Indonesia atas bumi pertiwinya dan juga membangun suasana, suasana estetis mistik, yang bisa dipertanggung jawabkan secara moral.[4] Sayangnya hal ini belum disadari seutuhnya oleh pemerintah Indonesia, bagaimana larangan terhadap karya Pram secara resmi belum pernah dicabut, dan bagaimana Pemerintah Malaysia lah yang malah menggunakan karya Pram guna menjadi bacaan wajib di sekolah menengah di negaranya (salah satu karya Pram berjudul keluarga Gerilya).



Daftar Pustaka
Lane, Max. 2017.  Indonesia tidak Hadir di Bumi Manusia. Jakarta : Djaman Baroe
Rosyidah, Nila. 2018.  Pramoedya Ananta Toer : Indonesia dalam Politik Sastra”. Diskusi Mingguan PUSDIMA, 17 September 2018

Scherer, Savitri. 2012. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta : Komunitas Bambu


[1] Anggota Divisi Kajian PUSDIMA tahun 2017-2018
[2] Nila Rosyidah, “Pramoedya Ananta Toer : Indonesia dalam Politik Sastra”, Diskusi Mingguan PUSDIMA, 17 September 2018
[3] Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer : dari Budaya ke Politik 1950-1965 (Jakarta : Komunitas Bambu, 2019) hlm.98
[4] Max Lane. Indonesia tidak Hadir di Bumi Manusia (Jakarta : Djaman Baroe, 2017) hlm.11-14

0 Komentar