Hasil gambar untuk mahasiswa seonggok jagung
Sumber: IGexplore.net

Oleh: Nila Rosyidah[1]

Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
 Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal[2]

Kutipan tersebut merupakan puisi pamflet karya W.S Rendra yang berjudul "Sajak Seonggok Jagung"  yang saya dan kawan saya bawakan pada agenda ulang tahun pusdima pada 31 Maret lalu. Pemilihan puisi ini bukan tanpa alasan—selain karena kesakralan sebuah agenda ulang tahun, tapi meskipun puisi ini dituliskan pada tahun 1975, saya rasa pengalaman yang terekam masih menjerat dalam pusaran gelap kehidupan kampus. Bahkan ada sebuah karya lain yang sejiwa dengan isi yang lebih tajam yang diajukan Arifin C. Noer dalam teks dramanya yang berjudul Kapai-Kapai (juga ditulis pada tahun 1970-an) yang juga menyinggung juga kehidupan pemuda mengkel bernama Abu "...Ia sudah mati, tapi Ia tidak Tahu.."

Apakah Kita sudah mati? Tidak juga, ya setidaknya secara fisik. Bahkan mungkin kita lebih beruntung setelah 44 tahun berlalu, karena jutaan dari kita dapat duduk di bangku universitas yang kecil-kecil itu. Tapi dibalik itu semua karya "fiksi" itu, ada sesuatu yang menembus waktu dan nyata, yakni, sebuah kematian atas kesadaran diri, perasaan yang terlunta-lunta, perasaan ngenes melihat sepatu kenes, perasaan miskin dan gagal.

Kehidupan kampus memang tidak sesederhana kehidupan sekolah menengah, selain adanya tututan untuk berpikir lebih tinggi(?). ketika kita memasuki perguruan tinggi, kita seakan memasuki sebuah ruangan yang didalamnya membuat kita merasakan ada hal-hal “mendesak” lain yang terutama dirasakan oleh para mahasiswi, ada kebutuhan yang semakin mendesak karena adanya pengetahuan tentang standar kecantikan yang begitu mendesak untuk dipenuhi, untuk mendapatkan sebuah pengakuan. “Hal ini menyebabkan kita tidak lagi benar-benar mengetahui apa yang kita butuhkan. Kita hanya dibekali pengetahuan tersebut dan berada ditengah perputaran”[3]. Kabut dingin kapitalisme menciptakan kelimpahan produksi, yang diakali dengan keberadaan pseudo-needs (kebutuhan-kebutuhan palsu)[4]

Sebagaimana yang dikatakan oleh Jacques Lacan, yang memaparkan bahwa subjek hanya bisa mengenali dirinya melalui kehadiran orang lain, penilaian orang lain. Kita mendapati diri dalam realitas semu, penilaian tersebut, masuk dalam keadaan mendesak untuk menyisihkan sebagian uang kita untuk membeli barang-barang dengan merek-merek tertentu dan menempelkannya ketubuh kita, untuk mendapatkan citraan tertentu yang disebarkan dalam banyak media sosial. apakah benar kita membutuhkan lipstik mulai dari lip gloss, lipstik matte, BB,CC, DD cream? Kita tidak lagi membeli berdasarkan kegunaan barang, kita memenuhi diri untuk masuk dalam sebuah kelas-kelas tertentu, kelas yang “berkelas”. Dibantu oleh pergerakan iklan, kita terus dijejali konsep-konsep tentang kecantikan yang terus diperbarui, yang membuat kita merasa tertinggal, yang pada kenyataannya kita yang telah meninggalkan realitas.

Ditambah lagi dalam suasana pembelajaran yang kering, terjadi semacam McDonalisasi Pendidikan tinggi[5], yang menggambarkan sifat asal kenyang, tetapi tidak memiliki visi kedepan. Pendidikan oleh negara dimasukkan dalam skema pasar, dan bekerja layaknya perusahaan jasa. Apalagi kepentingan dalam menggapai makna, pendidikan telah terlempar dalam mekanisme pasar, dan masuk dalam distorsi pasar yang bersifat acak, bebas, dan tidak berstruktur. Menurut H.A.R Tilaar (2005) Motif persaingan akan mendorong peningkatan kualitas yang mengabaikan pertimbangan moral. Rendra pun menggambarkan keresahannya dalam sajaknya di bait ke 8 :

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asingdi tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,atau apa saja,
bila pada akhirnya,ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:'Di sini aku merasa asing dan sepi!'

Dunia yang acak, mekanisme pasar, memunculkan keterasingan yang digambarkan dan sekaligus dipertanyakan oleh  Rendra. Mahasiswa bagai buruh, dibawah mekanisme pasar, mahasiswa seakan hanya sekedar instrumen untuk meraup keuntungan. Marx menyebutkan empat keadaan dimana ‘buruh’ teralienasi dalam masyarakat borjuis 1) oleh hasil kerjanya, yang menjadi “objek asing yang memiliki kekuasaan atas dirinya 2) terasing oleh aktivitas kerjanya, dimana aktivitasnya justru ’ditunjukkan intuk melawan dirinya sendiri’, seolah-olah aktivitas itu bukan miliknya 3) terasing dari dirinya sendiri sebagai manusia, yang di transformasikan menjadi sesuatu yang keberadaannya asing baginya 4) oleh manusia lain dalam hubungan kerjanya.[6]

Mahasiswa punya fungsi agent of change tapi bagaimana cara melakukan perubahan kalau dia sendiri tidak mengenali dirinya sendiri ? bagaimana caranya menciptakan sebuah gerakan perubahan secara bersama-sama jika kita jadi terasing pada rekan sesama mahasiswa? Pada akhirnya pun benar, mahasiswa seakan terbang jadi layang-layang di ibu kota dan tersembuyi dalam awan dan kabut yang dingin.

Penulis berharap tulisan ini dapat berfungsi seperti pemberitahuan awal yang berisi list centang yang muncul sebelum kita meng-install sesuatu, yang dalam hal ini, adalah  meng-install kehidupan perkuliahan. Kita tidak dapat menolak untuk tidak meng-install aplikasi tersebut, namun , dengan adanya list yang penulis coba berikan, kalian dapat memperkaya pilihan untuk menerima semuanya, atau tidak menceklis hal-hal yang dapat merugikan anda.

Berbeda dengan Arifin C. Noer dalam Kapai-Kapainya yang sekedar menyajikan sebuah penggambaran masyarakat yang “tertidur” kesadarannya. Rendra, mengajukan sebuah file yang berisi langkah-langkah yang dapat kita jadikan pedoman dalam  mengaplikasikan diri sebagai mahasiswa. Sebuah harapan dan salah satu jawaban untuk melihat benar realitas. Mengajak kita berkelana dan menyibak kabut. Hal ini dapat kita lihat dalam bait awal puisi Sajak Seonggok Jagung :


Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihatsuatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja 

Jakarta, 5 April 2019



[1] Staff  Divisi Kajian Pusdima 2017-2018
[2] W.S Rendra dalam Bernadus T. Beding, “Potret Kesenjangan Pendidikan dalam Puisi “Sajak Seonggok Jagung” Karya W.S Rendra, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol.7 No.2, 20
[3] Fitrilya Anjarsari, “Gerilya Kapitalisme di tengah Masyarakat Pertanian”, Harian IndoPROGRESS, https://indoprogress.com/2018/10/gerilya-kapitalisme-di-tengah-masyarakat-pertanian/ (diakses pada 3 April 2019)
[4] Aditya Permana,”Gejala Alienasi dalam Masyarakat Konsumeristik”,Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol.1 No.2, November 2012, 1
[5] Fajri Siregar, “Kiblat yang Keliru : Menyangsikan Iman Pendidikan Nasional, Jurnal Perempuan Vol.70 No.1, 16
[6] Marcello Musto, “Konsep Alienasi (Keterasingan) dan Sejarahnya”, Harian IndoPROGRESS, https://indoprogress.com/2018/08/konsep-alienasi-keterasingan-dan-sejarahnya/ (diakses pada 3 April 2019)

0 Komentar