Event
Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari di Desa Cikoneng, kecamatan Mandalawangi sebagai Kesadaran Kelas
Pendahuluan
Masyarakat khususnya yang ada di desa sebagian besar bermata pencaharian yang bergantung terhadap alam. Hal itu disebabkan karena faktor geografis yang ada di desa masih terdapat banyak hutan, gunung, dan bukit. Ferdinad Tonnies dalam teorinya membagi masyarakat menjadi dua yaitu Gesselscaf (patembayan) dan Gemeinschaft (paguyuban). Geseelscaf (patembayan) merupakan masyarakat kota dengan karakteristik heterogen, memiliki sifat rasional, liberalisme dan terikat karena kepentingan ekonimis. Gemeinshcaf (paguyuban) merupakan masyarakat desa dengan karakteristik solidaritas, gotong royong, homogen dan memiliki hubungan yang intens serta bertahan lama. Dalam penelitian ini kami melihat lahirnya kesadaran kelas di kelas pekerja (penggarap hutan Gunung Pulosari) yang akhirnya terjadi pembentukan Paguyuban Penggarap Gunung Pulosari. Melihat fenomena yang terjadi, maka dari itu penelitian ini menganalisis dengan menggunakan teori kesadaran kelas oleh Karl Marx. Teori ini dilatarbelakangi oleh adanya dua kelas yaitu proletar dan borjuis. proletar merupakan masyarakat yang ditindas oleh kaum borjuis. menurut Marx proletar harus disadarkan dahulu dan melakukan gerakan untuk melakukan perlawanan.
Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarelakangi terbentuknya Paguyuan Penggarap Tanah Gunung Pulosari?
2. Apa faktor yang mendorong kesadaran kelas di masyarakat Cikoneng?
3. Apa dampak kesadaran sosial Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari terhadap masyarakat Cikoneng?
Latar Belakang Terbentuknya Paguyuan Penggarap Tanah Gunung Pulosari
Desa Cikoneng yang beralamat di kecamatan Malandawangi merupakan desa pada umumnya dengan mata pencaharian sebagai petani dan penggarap Tanah Gunung sari. Desa Cikoneng memiliki rencana mendirikan Paguyuban yang dinamakan " Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari. yang melatarbelakangi didirikan paguyuban ini karena adanya ketidakadilan dalam penarikan pajak oleh petugas perhutani. Masyarakat diharuskan menyetorkan pajak selama setahun sebesar 25% dari pendapatan kotor dan diambil secara individu padahal menurut peraturan pajak tersebut kolektif. seperti yang dikatakan oleh informan kami yakni pak Endin
“Peraturan yang disampaikan oleh LMDH pajak yang dibayarkan yang diberikan pemerintah dalam setahun untuk dua desa 13 juta ditarik secara kolektif tetapi kenyataannya penarikan pajak dilakukan pajak individu langsung pada penggarap pertahun itu bisa kena tiga juta, dua juta, tergantung hasil kotor yang didapat penggarap."
Berdasarkan data tersebut para penggarap merasa keberataan sehingga terbentuklah ide untuk mendirikan Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari. Paguyuban ini diinisiasi oleh bapak Endin selaku ketua RW pada saat itu sekaligus salah satu penggarap di Gunung Pulosari. Secara ide paguyuban ini sudah terpikir sejak 2003 tetapi memang saat itu belum ada keberanian untuk membuat gerakan persatuan ini.
Analisis Teori
Berdasarkan Teori Karl Marx bahwa kesadaran kelas merupakan sesuatu hal penting karena akan menjadi acuan untuk membuat perubahan dalam peningkatan kelas sosial, sebelum mengenal kesadaran kelas perlu diketahui bahwa Marx telah menjelaskan mengenai kelas-kelas sosial yaitu kelas Borjuis (pemilik modal) dan kelas proletar ( kaum buruh ).
Jika dikaitkan dengan pola kehidupan sosial yang kami teliti di Desa Cikoneng, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten tentang Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari melihat bahwa bentukan paguyuban tersebut merupakan suatu bentuk kesadaran kelas antara petani penggarap sebagai proletar dan pihak Perhutani sebagai pemilik modal. Kesadaran kelas disana bukan hanya sekadar tentang siapa dan posisi dimana mereka dalam masyarakat, namun memahami secara penuh proses yang dialami, kelas proletar perlu memiliki kesadaran tentang bagaimana mereka diperlakukan di tengah persaingan ekonomi dalam lingkup persaingan kapitalis.
Perlakuan Perhutani yang dinilai tidak adil dalam hal penerapan kebijakan pajak hutan untuk penggarap dari Desa Cikoneng. Kebijakan pajak hutan sebesar 13 juta per tahun untuk dua desa dinilai tidak berjalan dengan semestinya. Seharusnya pajak ini dibayarkan secara kolektif oleh dua desa, namun yang terjadi pajak ditujukan untuk tiap penggarap, yang mana para penggarap ini rata-rata memberikan 100 ribu pertahun dan jika diakumulasikan hal ini akan jauh melebihi kewajiban yang seharusnya sebesar 13 juta per dua desa sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Perhutani. Lalu dalam hal pembagian hasil tani 75% untuk penggarap dan 25% untuk negara. Pihak Perhutani menetapkan pajak kepada penggarap dengan melihat hasil kotor dari hasil produksi penggarap, sedangkan pihak Perhutani tidak melihat akan adanya kemungkinan lain yang menyebabkan berkurangnya kuantitas hasil garapan, seperti gagalnya panen, kualitas yang kurang baik atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Pernah terjadi kasus gagal bayar sewa dari penggarap kepada pihak Perhutani maka penggarap tersebut dikenakan sanksi, yaitu mereka dilarang untuk memakai lahan untuk produksi lagi. Segala hal yang telah terjadi menyebabkan timbulnya kesadaran kelas dari penggarap tersebut memandang bahwa Perhutani merupakan bagian dari kapitalis. Berikut kutipan dari Pak Endin selaku pelopor berdirinya Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari.
Misalnya dalam penjualan satu kwintal cengkeh harganya 100 ribu, itu penghasilan kotor. Itu belum termasuk biaya perawatan. Tetapi hasilnya itu masih harus dibagi dengan pemerintah (75% untuk penggarap dan 25%nya untuk pemerintah) sedangkan saya dengar ada pajak gunung 3 gunung (Ciwangun, Citumpang, dan Citawi) itu setahun 13 jt pajaknya. Dan penggarap sini ada 100 lebih.. dan itu Cuma didaerah cikoneng saja. Kadang satu orang bisa dikenakan 3 juta, ada yang 2 juta per orang. Kalau dirata-rata dari penghasilan penggarap mereka memberikan 500 ribu yang bila dikalikan dengan jumlah mereka bisa menjadi 50 juta. Kan yang dibutuhkan negara Cuma 13 juta, tapi ini sampai 50 juta kemana itu sisanya ? kan pegawainya udah digaji. Makannya kita buat paguyuban agar peraturan tersebut bisa dijalankan. Cuma masyarakat disini susah diajak bener maunya yang salah. Masyarakatkan dibodohi terus sama petugas. Seharusnya petugasnya melayani masyarakat, mengayomi.
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa terjadi ketidakadilan dari Perhutani dalam hal kebijakan pajak hutan dan juga kita dapat melihat adanya kesadaran kelas dari penggarap sawah dalam memandang posisi mereka di lingkup kekuasaan ekonomi.
Dampak Kesadaran Sosial Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Pulosari Terhadap Masyarakat Cikoneng
Paguyuban Penggarap Tanah Gunung Sari yang diinisasi oleh para penggarap merupakan bentuk dari gerakan yang dihasilkan oleh kesadaran sosial dari para penggarap yang lahir atas ketidakaadilan yang mereka terima. Paguyuban ini memilki dampak yang cukup signifikan bagi para anggotanya yang utama adalah meningkatkan kesadaran terdapat realitas terselubung yang dilakukan oleh para petugas. Dengan adanya paguyuban ini para penggarap memiliki posisi tawar yang lebih kuat dimata Perhutani untuk menentukan berapa yang harus mereka bayarkan kepada Perhutani sebagai bagi hasil. Sebelum adanya paguyuban ini, penggarap sering menerima ancaman dari pegawai Perhutani jika mereka tidak membayarkan sesuai keinginan Perhutani mereka akan dilarang untuk menggarap di tanah Gunung Pulosari. Kemudian masyarakat bisa melestarikan lingkungan sekitar, karena jika terus menerus dilakukan eksploitasi lingkungan secara berlebihan lingkungan tersebut akan menggugah masyarakat setempat. Kemudian juga terdapat usaha melestarikan kawasan sumber mata air dari eksploitasi agar tidak terjadi seperti di tempat wisata ceruncuran yang telah dimonopoli oleh Kang Entong padahal tempat wisata itu. Seharusnya berada di pengurusan paguyuban karena masih diwilayah Gunung Pulosari.
Rencana untuk pembentukan paguyuban terrsebut disusun secara musyawarah. Yaitu sudah dilakukan pembentukan organisasi dan struktur organisasi dari kepala paguyuban sampai posisi yang terbawah. Hal ini dilakukan untuk memberikan efisiensi organisasi paguyuban agar pekerjaan dan kegiatan dilakukan dengan rapi dan transparansi. Pembentukan struktur organisasi tersebut dilakukan secara musyawarah meskipun masih terdapat pengaruh yang sangat besar dari ketua paguyuban yang memilki hak preogratif untuk memilih siapa saja yang dapat terlibat untuk paguyuban. Untuk mengajak masyarakat menjadi anggota paguyuban pak Endin selaku ketua melakukan sosialisasi mengenai paguyuban dan merangkul masyarakat yang mau terlibat secara aktif untuk paguyuban dan kemajuan masyarakat penggarap. Berikut struktur organisasi Paguyuban penggarap tanah gunung kulosari.
GUNUNG POLOSARI DESA CIKONENG KGM
MANDALAWANGI-PANDEGLANG-BANTEN
NO
NAMA
NO
NAMA
NO
NAMA
NO
NAMA
1
JAJA SUTEJA
30
SUKARNA
59
UST.NASIR
88
SUKATNA
2
SARMEDI
31
RADIMAN
60
ATEN
89
ENJAI
3
RASID
32
DARKAT
61
HENDRA
90
EMUL
4
SARNATA
33
BAWI
62
MAHRI
91
JASAM
5
AHYAT
34
UCI
63
MAHDI
92
AMAD
6
ENDIN
35
SUKRI
64
MAMAH
93
HARLI
7
SURNAJA
36
JUNI
65
SUMARNA
94
HERMAN
8
MAMAT
37
OBING
66
JAHARI
95
SANIM
9
ANDI
38
SUBARI
67
UDI
96
UMANG
10
SARDAN
39
JALI
68
DARIKAM
97
ENDENG
11
EPI
40
UMAR
69
SANA
98
YANI
12
EPUL
41
ROHALI
70
SUPRIYATNA
100
AHMAD
13
MARSAN
42
SARNATA
71
SAHRIA
101
PAAN
14
MASUD
43
IROH
72
SAHRONI
102
HARUN
15
DULHAK
44
ANDA
73
HADI
103
ENDANG
16
SUPIAN
45
IYAS
74
RUKMINI
104
PEPEN
17
KOMAD
46
RUKINAH
75
ADI/ANI
105
ANDI
18
SAINAH
47
DIDI
76
AMSIR
19
TISNA
48
MAMUN
77
SUDIRMAN
20
MAHPUDIN
49
ANDRI
78
ARSIM
21
JAJA SABRI
50
ASRORI
79
ABET
22
JUHERI
51
ASWANI
80
MUSLIM
23
SUARNA
52
LINA
81
ANDI
24
SATRIA
53
SARNA
82
OMAN
25
MANI
54
OKTA
83
RAHMAT
26
MURHALIM
55
RUBAIN
84
ADING
27
SAJAM
56
PARDI
85
SUMINTAR
28
SOLEH
57
KARSINAH
86
JATRA
29
G.EDI
58
ENCUK
87
NURDAT
0 Komentar