Other is Hell: Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Other
is Hell: Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Nila
Rosyidah[1]
Sumber:
kolomsosiologi.blogspot.com
Setelah sempat dibahas
oleh Muhammad Farhan dalam opininya yang berjudul Membedah Buku Filsafat
Eksistensialisme karya Vincent Martin, OP[2]
mengenai filsafat eksistensialisme tentang kehendak bebas dari manusia, tentang
keberadaannya secara individual, dalam kesempatan ini saya hendak membahas mengenai
keberadaan manusia sebagai individu yang hidup dalam ruang sosial dalam bingkai
pemikiran salah satu pemikir eksistensialis yaitu Jean Paul Sartre.
Tedapat sebuah istilah
yang dapat merangkum pemikiran Jean Paul Sartre mengenai hubungan manusia
dengan individu lain yaitu, “Other is Hell” (Orang lain adalah neraka). Seperti
yang telah disinggung Farhan bahwa manusia memiliki kehendak bebas menciptakan hakikat
keberadaannya sendiri, hal ini menjadi sesuatu yang konfliktual jika ditarik dalam
ruang sosial ketika individu tersebut bertemu dengan manusia lain yang juga
memiliki kehendak bebas.
Untuk menjelaskan
secara lebih jauh mengenai keadaan konfliktual ini, dalam konsep kesadaran yang
dikemukakan oleh Sartre terdapat konsep Subjek dan Objek. Subjek adalah segala
hal yang memiliki kesadaran untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri,
termasuk memaknai orang lain, sedangkan Objek adalah segala sesuatu yang tidak
memiliki kesadaran dan maknanya ditentukan oleh Subjek seperti perkakas hidup mulai
dari meja, kursi, hingga telepon genggam.
Manusia sebagai Subjek
memiliki hasrat untuk mengejar eksistensi dengan memaknai diri dan memaknai
objek lain untuk menjadi sempurna sebagai diri. Untuk memaknai perkakas hidup
seperti meja dan kursi, dan telepon genggam mungkin hal yang mudah untuk
mengobjektivikasi benda-benda tersebut sebagai wujud yang tidak memiliki
kesadaran, namun manusia lain tidak.
Secara lebih naratif,
Sartre menjelaskan mengenai “tragedi lubang kunci”[3]. Dengan
segala hasrat keingintahuan juga kecemburuan Sartre mengintip sebuah kamar di
suatu hotel melalui lubang kunci, namun ada seseorang yang memergokinya dari
belakang dan seketika itu Sartre merasakan cemas, malu, melalui sorotan mata
dari individu tersebut. Dalam hal ini, individu yang memergoki Sartre melakukan
objektivikasi terhadap Sartre, melalui tatapan mata, memaksa Sartre menerima
penilaian dari orang lain dan menjadi objek yang diciptakan melalui tatapan
orang lain. Perasaan-perasaan tidak nyaman tersebut selainjutnya menjelma
menjadi penilaian terhadap diri sendiri namun sebagai objek yang terberi. Meskipun
begitu, kita dapat membalikkan keadaan
dengan melakukan perlawanan untuk menciptakan pengobjekkan balik. Skema ini
dapat terjadi pada banyak kasus dalam interaksi antar individu dengan individu
lainnya dan terjadi secara terus menerus dan tidak berkesudahan.
Hal inilah yang menyebabkan kebebasan begitu
memuakkan, selain keberadaan kebebasan manusia dari nilai-nilai menyebabkan
manusia mengalami kemuakkan untuk menentukan pilihan-pilihan yang terbaik bagi
dirinya sendiri tanpa ada ikatan masa lalu terhadap norma dan zat yang
transenden, manusia juga mengalami kemuakkan dengan bertemu dengan manusia lain
yang memiliki pilihan-pilihan termasuk memaknai keberadaannya. “Je suis
condamned a erte libre!” (Aku dikutuk untuk bebas!). namun untuk lari atas
kutukan bebas ini, menjadikan diri sebagai Objek, memisahkan jiwa dan tubuh
adalah ketidakmungkinan selama manusia masih hidup yang dapat menjatuhkan
seseorang pada keadaan depresi.
Lalu, bagaimana dengan
cinta? Selain mengejar eksistensi dengan memaknai diri dan memaknai objek lain
untuk menjadi sempurna sebagai diri, manusia memiliki hasrat untuk menyatukan
antara Subjek dan Objek. Atau untuk pembahasan yang lebih spesifik mengenai
manusia yang bekersadaran adalah penyatuan antara Diri dan Yang Lain (Liyan).
Bagi Sartre, penyatuan yang lebur tanpa adanya bentuk saling mengobjekkan
adalah tidak mungkin. Sehingga hal ini menjadi bagian dari hasrat kesia-siaan (useless
passion), yang mendorong manusia untuk mencapai hal yang paling esensial
dari cinta, yaitu masokisme[4],
yakni hasrat untuk merasakan rasa sakit, menghilangkan subjektivitas diri demi subjek
lain, dengan harapan akhir dapat menjadikan subjek tersebut sebagai objek,
namun akhirnya menyadari bahwa Yang Lain adalah sebuah wujud tersendiri yang
otonom. Akhirnya Diri membenci Yang Lain sebagai sebuah pelarian atas
keputusasaan yang berputar secara terus-menerus.
Kecenderungan untuk
menjadi bingung untuk mencari makna dalam hidupnya sebagai bentuk kemuakkan
adalah hal yang tidak dapat dihindari, namun etika eksistensialisme yang
menganut paham “eksistensi mendahului esensi” dapat menjadi amunisi baru
menjadikan diri sebagai sebuah entitas yang ada dan berkesadaran
dalam kehidupan yang absurd. Manusia diangap ada hanya atas apa yang Ia
lakukan, bukan diikat dengan segala atribut esensi yang ada padanya di masa
lalu. Sehingga manusia memiliki tidak hanya sebatas impian namun kesempatan
untuk menjadi versi terbaik yang Ia inginkan dengan menerabas segala batasan termasuk
juga keyakinan buruk (mauvaise foi) atas kemampuan diri dan pelabelan
yang dilakukan masyarakat. Manusia ada atas apa yang Ia lakukan, sehingga lebih
jauh, untuk menjadi ada manusia harus terus menerus bergerak, melampui
dirinya, melakukan transendensi, menolak objektivikasi dari Other. Because
Other is Hell!
Jakarta, 14 Februari 2021
[1] Anggota
Divisi Kajian PUSDIMA 2017-2018
[2] Muhammad Farhan, Membedah Buku Filsafat
Eksistensialisme karya Vincent Martin, OP (http://pusdimafis.blogspot.com/2021/01/membedah-buku-filsafat-eksistensialisme.html diakses pada 13 Februari 2021)
[3] Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain adalah Neraka : Sosiologi
Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) hlm. 74-75
[4] Rosemarie Putnam Tong, Feminist
Thought Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro (Yogyakarta : Jalasutra, 2006)
hlm. 260-261
1 Komentar
BalasHapusJACKPOT yang besar hanya di AJOQQ :D
WA : +855969190856