Membedah Buku Filsafat Eksistensialisme karya Vincent Martin, O.P
Membedah Buku Filsafat Eksistensialisme karya Vincent Martin, O.P
Oleh: Muhammad Farhan
Sumber: gramho.com
Penafsiran akan filsafat
eksistensialis berbeda-beda setiap tokohnya sehingga hanya menimbulkan
kebingungan belaka. Disini
penulis hanya menyajikan tiga tokoh filsafat
eksistensialis dalam studinya
yaitu Soren Kierkegaard, Jean Paul Sartre, dan Albert Camus. Berikut
beberapa garis besar pemikirannya:
1.
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Soren Kierkegaard adalah filsuf
religius karena kecenderungannya dalam menyatukan teologi dengan manusia. Pada
zamannya ia menyadari bahwa ajaran kristen kala itu telah disekulerkan dan
hilang kemurniannya. Dimata Kierkegaard, Kristen sudah menjadi arah dunia baru:
ia menjadi cair karena semua kepedihan, semua kekerasan telah dibuang. Manusia
kristen modern mulai menghilangkan arti “pengorbanan” yang diajarkan kristus.
Kemiskinan pengertian ini dipengaruhi
oleh filsafat Hegel. Ajaran Hegel yang mendominasi kala itu membuat orang-orang
mulai menafsirkan Kristen melalui pemikiran Hegel. Menurut Kierkegaard Hegel telah
melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa iman hanya salah satu langkah
menuju filsafat, Hegel menganggap keimanan lebih rendah dibanding filsafat.
Menurut Hegel untuk mencapai filsafat
ia harus didorong
terlebih dahulu oleh seni dan agama. Seni mencoba membuat Tuhan muncul dan
hadir dalam imajinasi. Agama lebih tinggi dan sempurna dari seni dan lebih
sempurna dalam lukisannya tentang kebenaran, karena agama kekurangan materi dan lebih ideal ketimbang seni.
Tetapi muatan intelektualnya adalah cerita, mitos,
kisah, dan hikayat. Hanya
filsafat yang menggenggam realitas dengan konsep, dengan ide-ide intelektual.
Dari sinilah Kierkegaard menilai bahwa pemikiran Hegel ini merusak dan tidak
sesuai dengan ajaran kristus bahwa iman ada di atas dan di luar akal manusia.
Berbeda dengan obyektivitas, Soren
Kierkegaard meletakan subyektivitas sebagai ajaran pokoknya. Ia berpikir bahwa
orang kristen harus menjadi pemikir yang subyektif. Pertama, orang Kristen harus dapat meresapi
ajaran Kristen sedalam
mungkin ke diri manusia. Orang Kristen harus melibatkan personality dan kepeduliannya untuk bersatu dengan ajaran kristus,
tidak hanya semata- mata mempelajarinya. Maka dari itu perlu adanya penerimaan, memberi dan menerapkan ajaran itu pada diri
sendiri.
Kedua, tentang subyektivitas adalah
kesadaran para pemikir
bahwa ia adalah
makhluk yang eksis. Menurut
Kierkegaard manusia tidak boleh mengabaikan eksistensinya sebagai individu,
sesuatu yang konkret dan tunggal. Manusia harus terus berpikir untuk masuk
kedalam eksistensinya, maka dari itu manusia harus memasukkan kristen
sebanyak-banyaknya kedalam dirinya dengan menggunakan kesadarannya akan eksistensinya.
Ketiga, tentang subyektivitas adalah
etika dan etika keagamaan. Dalam penyatuannya dengan ajaran kristen maka tak terlepas
dari etika dan moral yang diajarkan oleh agama kristen
itu sendiri. Maka dari itu manusia harus senantiasa mengamalkan etika
dan moral yang dibawa oleh agama kristen.
Keempat tentang subyektivitas adalah subyektivitas berarti keputusan, pilihan, dan hasrat. Menurut Kierkegaard bahwa untuk menghidupkan etika maka manusia harus membentuk keputusan, pilihan, kepentingan, kemauan. Pada akhirnya manusia harus memilih apakah harus tunduk kepada Tuhan, takut, dan cinta kepada-nya, lebih memilih Tuhan ketimbang manusia sehingga seseorang mencintai manusia dalam Tuhan; atau lebih memilih manusia daripada Tuhan, sehingga seseorang mengubah dan memanusiakan Tuhan dan “tidak menikmati apapun dari Tuhan selain yang menjadi manusia”. Atas pilihan yang ada Kierkegaard mengajarkan bahwa etika itu berasal dari Tuhan dan etika adalah bagian dari penyatuan antara manusia dengan kristen itu sendiri. Maka dari itu etika adalah keterlibata manusia dengan Tuhan, itulah kehidupannya dengan Tuhan.
Akan
tetapi ketika dihadapkan dengan Tuhan manusia
cenderung merasa berdosa
dan takut berbuat dosa.
Disinilah menurut Kierkegaard ajaran kristen relevan dengan ketakutan manusia
sendiri. Adanya juru selamat yang dimaknai sebagai Tuhan berwujud manusia,
yaitu Kristus. Ia rela berkorban demi menghapus dosa-dosa umatnya dan ini
adalah suatu hal yang harus dipahami dengan keimanan, bukan akal.
Pemikiran Hegel membandingkan bahwa
keimanan adalah untuk orang-orang biasa sementara filsafat adalah untuk
orang-orang berintelektual tinggi. Padahal menurut Kierkegaard filsafat sendiri
dikuasai oleh akal sedangkan iman dianggap berada diluar akal, absurd, dan oleh
karenanya kedua hal itui tidak mungkin bertemu.
2.
Jean Paul Sartre (1905-1980)
Berbeda dengan Kierkegaard, Sartre
cenderung ateisme dalam filsafatnya. Menurut pemikirannya segala
di jagat raya ini adalah
suatu hal yang tiba-tiba ada dan keberadaan Tuhan itu tidak ada.
Dunia dan segala isinya ada tanpa alasan yang jelas, kehidupan tanpa alasan ini
disebut absurditas. Karena kehidupan tidak memiliki alasan dan arah yang jelas,
maka manusia diciptakan dalam
keadaan bebas. Kebebasan yang dimaksud adalah bahwa manusia bebas menciptakan
hakikat keberadaannya sendiri. Karena Tuhan tidak ada, maka tidak ada hukum
mengenai nilai- nilai, moralitas, dan norma-norma yang objektif. Setiap orang
sepenuhnya milik sendiri. Karena itulah setiap orang menjadi juri moralitas
tertinggi, setiap orang adalah penemu nilai.
Dalam proses membentuk kehidupan yang
dilakukan secara bebas manusia cenderung muak.
Ini disebabkan karena
tidak ada ukuran
dan petunjuk yang membantu, manusia
dipaksa harus hidup dan
memilih sesuatu. Karena manusia adalah makhluk yang otomatis memilih, maka
setiap pilihan yang ada akan memberi konsekuensi yang sejatinya dapat atau
tidak dapat dikontrol. Disinilah letak frustasi
lahir, yaitu manusia
yang mengejar kelengkapan dan kesempurnaan padahal manusia itu sendiri sulit
menjelaskan makna kehidupan dan sulit memprediksi pilihan-pilihannya sendiri.
3.
Albert Camus (1913-1960)
Hampir sama dengan Sartre, ia menilai
bahwa keberadaan Tuhan harus ditolak dan dunia tidak memiliki penjelasan yang
final. Ada banyak deskripsi tentang dunia namun penjelasan- penjelasan itu
terpecah-pecah dan tidak menjadi satu kesatuan yang utuh. Ada banyak kebenaran,
tetapi tidak ada yang benar; ada banyak deskripsi mengenai bagian-bagian,
tetapi tidak ada penjelasan mengenai keseluruhan.
Puncak dari segala kesadaran akan dunia yang absurd ini adalah kemuakkan. Karena Tuhan tidak
ada, maka tak ada pula nilai-nilai atau moralitas yang didikte kan sehingga
makna hidup menjadi kabur. Camus juga menilai
bahwa kemuakkan terjadi
karena manusia hidup dengan segala aktivitasnya hanya untuk mati.
Adanya kematian yang semakin dekat menunjukkan kesia-siaan dari semua aktivitas
yang dijalani. Bagi Camus hidup hanya untuk mati tanpa makna yang jelas.
Untuk menghadapi perasaan yang absurd ini Camus melewati beberapa proses pemikiran. Dimulai dengan pembicaraan akan filsafat bunuh diri untuk menghadapi perasaan absurd ini. Baginya bunuh diri terbagi menjadi dua—bunuh diri fisik dan bunuh diri filsafat. Bunuh diri fisik adalah mengakhiri kehidupan seseorang karena seseorang menilai bahwa kehidupannya tidak memiliki harga, susah, memuakkan, dan krisis makna. Tipe bunuh diri yang kedua ialah untuk orang-orang yang berpikir akan absurditas ini tetapi kemudian hari mereka merancang filsafatnya tandingan untuk mengatasi kebingungan absurditas yang awalnya ia pikirkan.
Bagi Camus kedua tipe bunuh diri itu
bukanlah solusi untuk menghadapi absurditas ini. Satu-satunya untuk menghadapi absuruditas ini adalah dengan
kesadaran. Kesadaran bahwa ia tahu akan mati, tahu akan hancur, tahu
akan aktivitasnya yang sia-sia tetapi lebih memilih untuk tetap berdiri dan
berjuang tanpa harap dihadapan absurditas. Kesadaran ini bagi Camus disebut
pemberontakan, sikap menantang dengan keinginan akan hidup yang kuat.
Seperti diawal bahwa ketika
Tuhan tidak ada maka tidak ada nilai-nilai dan moralitas yang absolut, Camus berpikir bahwa
menilai baik buruknya atau etis dan non-etis dalam kehidupan adalah suatu yang sia-sia.
Hilangnya makna dalam
hidup akibat tak ada nilai-nilai absolut membuat Camus meyakini
bahwa semua pengalaman adalah sama dan hidup menurut
Camus hidup bukanlah perkara untuk menjadi lebih
baik, tetapi hidup
haruslah lama. Disinilah keinginan untuk terus hidup
diinterpretasikan oleh camus menjadi makna hidup yang sebenarnya.
Perang Dunia II telah membuat sedikit
perubahan dalam pemikiran Camus. Pengalaman akan penderitaan yang diperlakukan kejam oleh pasukan
Nazi dan orang-orang Komunis membuat
pemikirannya yang individulistik bergeser ke arah sosialis, universal dan tidak
terlalu nihilistik. Ia menyadari bahwa pemikirannya yang berkata untuk terus hidup
harus menyesuaikan dengan
orang- orang disekitarnya yang ingin untuk hidup pula. Maka dari itu
setiap manusia harus menghargai kehidupan dan kebebasan manusia lain. Ini bukan
lagi pengertian tentang pemberontakan manusia
oleh dan untuk dirinya sendiri, melainkan kesadaran tentang solidaritas manusia.
Kesimpulan
Pertama, dari ketiga tokoh
diatas dapat ditarik bahwa filsafat eksistensial mencondongkan dirinya terhadap
keberadaan manusia dengan segala persoalannya. Maka dari itu orang-orang
eksistensialis lebih bersifat subyektif, melihat persoalan luar melalui dalam
diri manusia. Kedua, perhatian eksistensi manusia
adalah mencoba menjalani kehidupan secara utuh dengan menekankan moral dan
etika. Karena hakikat manusia yang bebas maka mereka cenderung bingung untuk
mencari makna dalam hidupnya dan menentukan kesadaran apa yang cocok untuk
menjangkau keutuhan hidup sebagai manusia.
2 Komentar
Bikin kajian eksistensialisme dong hehehe
BalasHapusayo daftarkan diri anda di AJOQQ :D
BalasHapusmenangkan jackpot dengan sebanyak-banyaknya :D
WA;+855969190856