Gambar terkait
Sumber gambar: caragambarmu.blogspot.com

Oleh: Nila Rosyidah



Dengan latar belakang hitam, suasana ruang yang redup dan musik yang terkesan magis, membuka sebuah perbincangan malam itu bersama Nirwan Dewanto, seorang sastrawan yang pernah membacakan pidatonya dalam Kongres Kebudayaan pada tahun 1991 yang berisi kritiknya pada pemusatan kebudayaan yang didominasi Taman Ismail Marzuki yang diusahakan untuk menjadi sebuah pusat kebudayaan nasional maupun Majalah Horizon sebagai pengendali standar mutu sastra.

Dalam suasana tersebut kita diajak berkelana melewati ruang waktu menuju suatu ruang konstelasi kebudayaan pada tahun 80’an-90’an melalui kacamata Nirwan Dewanto, dimana kebebasan berekspresi terbatas. Yang akhirnya memunculkan gerakan-gerakan pembaharuan Goenawan Mohammad, Remy Salado dengan puisi mbelingnya, dan pada seni rupa memunculkan Gerakan Seni Rupa Baru.

Menurutnya multikulturalisme dan internasionalisme merupakan hal penting dalam penciptaan sebuah karya. Hal ini tidak ada di masa tersebut dan menyebabkan stagnansi. Disisi lain Nirwan juga  mengkritik gerakan akar rumput yang pada akhirnya mencontoh karya-karya pusat dan akhirnya tidak menciptakan kebaharuan, atau karya-karya yang menjunjung tinggi lokalitas. Bagi Nirwan lokalitas tersebut memang penting, namun ada hal yang tidak boleh dilupakan adalah perkembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kebudayaan dunia. Dimana isu kedaerahan masih ada, namn ditelaah dalam semangat prespektif global.

Hingga akhirnya dipenghujung abad ke-20, sekitar tahun 1994, dunia semakin terkoneksi sehingga berbagai bacaan, prespektif, mulai dapat diakses oleh masyarakat luas. Dalam arus tersebut, masyarakat menelaah dari hasil pembacaannya dan meletakkan yang dimilikinya dalam sebuah perbandingan. Pada akhirnya masyarakat menginginkan sebuah spirit perubahan.

Pada akhirnya pada pergantian abad tersebut, dihiasi oleh rangkaian peristiwa politik, yakni gerakab reformasi 98 yang membuka keran kebebasan berekspresi. Dalam rangkaian peristiwa tersebutmeredup pula kejayaan Taman Ismail Marzuki , Majalah Horizon dan Balai Pustaka. Terciptalah kantong-kantong kebudayaan, penerbit indie dengan gayanya masing-masing.

Lokalitas dan internasionalisme merupakan sebuah perdebatan yang panjang, dapat dilihat juga pada masa orde lama bagaimana lokalitas diwakili oleh Lekra dan Internasionalisme diwakili oleh kelompok Manikebu. Menurut pembaca bagaimanakah menyikapi lokalitas dan internasionalisme dalam menjadi Indonesia ? Seberapa Pentingkah pusat kebudayaan ?

0 Komentar