GENERASI BANGSA KINI, GENERASI ACUH
Oleh: Ziera Yolanda
Pemuda adalah individu yang diharapkan mampu membawa perubahan, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Pemuda kerapkali disandarkan harapan dipundaknya untuk menjadi tonggak perubahan, bagi bangsa dan negaranya. Dalam sejarah peradaban bangsa, pemuda merupakan aset bangsa yang sangat mahal dan tak ternilai harganya. Kemajuan atau kehancuran bangsa dan negara banyak tergantung pada kaum mudanya sebagai agent of change (agen perubahan). Namun, dewasa kini, pemuda Indonesia tampak banyak yang sudah kehilangan semangat serta jati dirinya, terutama dalam hal wawasan kebangsaan dan patriotisme (cinta tanah air).
Berbeda halnya dengan pada masa jauh sebelum reformasi, yaitu pada tahun 1998, ketika para pemuda Indonesia menuntut perubahan atas kediktatoran Jendral Soeharto yang mengkudeta Ir. Soekarno dari jabatan presiden Indonesia. Sikap kekejaman juga ditunjukkan dibarengi dengan adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sangat menonjol dalam setiap kabinetnya. Karena itu, para pemuda Indonesia bangkit melawan kediktatoran dan kekolotan dalam kehidupan bernegara setelah dikerangkeng selama 32 tahun, sehingga mampu menciptakan masa reformasi yang tercatat dalam sejarah. Reformasi 1998 merupakan gerakan pemuda untuk menegakkan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Bertujuan untuk menjamin kebebasan bersuara. Namun, melihat angka golongan putih (golput) pada pemilu di era generasi gen Z membuat tanda tanya besar akan kepedulian generasi masa kini dengan politik Indonesia.
Generasi masa kini ialah generasi gen Z; generasi dengan tingkat pemahaman akan tekhnologi yang tinggi. Gen Z merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu 1995 – 2010. Generasi ini berkaitan erat dengan teknologi, kebutuhan bergantung kepada internet yang baik. Kemudahan berkomunikasi menjadi salah satu hal positif yang dihasilkan, namun berbanding lurus dengan hal negatif sebagai akibatnya. Banyaknya produk-produk komunikasi berbasis teknologi arttificial intelligence digital dan jejaring siber telah mengubah konektivitas sosial. Perubahan yang tampak adalah perilaku yang tidak interaktif dalam berkomunikasi. Fenomena berkomunikasi pun berubah dari yang semula bertatap muka, sekarang tren dengan dunia maya (virtual).
Berdasarkan penelitian, 33% gen Z dapat menghabiskan waktunya sekitar lebih dari 6 jam dalam menggunakan ponsel dan biasanya lebih sering mengakses media sosial dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut survey, gen Z di Indonesia menempati posisi tertinggi dalam pengunaan ponsel, yaitu sekitar 8,5 jam setiap harinya. Hal ini tentunya sangat berdampak bagi kehidupan sosial mereka. Bahkan, berbelanja saat ini dapat dilakukan secara online.
Aktivitas sosial dilakukan secara online tanpa adanya interaksi yang berarti dengan sesama. Menyebabkan generasi gen Z cendung acuh akan keadaan di sekitarnya. Tidak terkecuali acuh akan politik di Indonesia. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres (Pemilihan Presiden) 2004 angka golput mencapai 23.30%. Pada 2009, tercatat sebesar 27.45%. Lalu pada tahun 2014, angka golput naik lagi menjadi 30,42%. Hal ini sangat jauh berbeda pada era Orde Baru, angka golput hanya 3% sampai 6% saja. Angka golput tersebut sebagian besar adalah dari suara kalangan muda.
Sikap acuh itu muncul lantaran mereka tidak merasakan perubahan dari adanya pemilu itu sendiri. Menurut mereka, pemilu justru menambah masalah seperti konflik politik yang berkepanjangan, kampanye hitam yang saling menghujat, atau isu SARA yang memecah belah. Ini yang membuat mereka semakin acuh terhadap dunia politik. Namun, apakah generasi gen Z sangatlah apatis?
Dengan adanya media digital yang mengiringi kehidupan gen Z membuat generasi ini sangat canggih terhadap teknologi. Mereka dapat berkarya apapun di media sosial, bahkan tak jarang yang mendapatkan penghasilan dari sana. Di masa pandemi yang telah eksis selama dua tahun ini, membuat banyak masyarakat kesulitan dalam hal ekonomi, terlebih lagi jika mereka terpapar Covid-19. Generasi gen Z tak sedikit yang mengambil peran, mereka memanfaatkan platform media sosialnya untuk menggalang dana, membagikan masker gratis di jalan raya, sampai campaign-campaign yang mengingatkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian. Seyogyanya memang aspek politik tidak bisa dipetakkan dari aspek sosial, kedua hal itu berjalan beriringan. Namun, jika pemuda dapat mengambil peran dari apa yang mereka mampu, tidak ada salahnya dan tidak dapat pula disereotipkan, bahwa generasi masa kini adalah generasi acuh.
Meskipun begitu, tingkat kepedulian ini mesti ditingkatkan, hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah. Contohnya dalam tingkat golput yang masih tinggi, pemerintah dapat terus mengampanyekan untuk “Tidak Golput” atau dengan gerakan door to door campaign atau get out the vote. Sosialisasi seperti ini terbukti dapat menurunkan angka presentase golput yang tinggi, sehingga pada tahun 2019 angka golput turun menjadi 19,24%. Lalu dari pihak generasi gen Z yang telah memiliki kesadaran dan kepedulian, mereka dapat mengambil peran dengan ikut membuat ajakan “Anti Golput” agar semakin banyak yang memiliki kesadaran politik.
Memang, generasi gen Z tidak akan bisa terlepas dari kecanggihan teknologi dan tidak dapat dipungkiri bahwa akan lebih banyak waktu generasi gen Z yang dimanfaatkan dengan bermain media sosial, namun media sosial yang mereka gunakan dapat menjadi wadah kreativitas mereka dan sumber informasi bagi mereka. Dan mereka pun harus dapat menggunakannya dengan sebaik mungkin; menyortir berita yang didapatkan, juga memberikan informasi yang bermanfaat. Jika mereka melanggar dengan memberikan informasi yang salah dan menimbulkan konflik di masyarakat, maka akan ditindak lanjuti dengan hukum. Itu sebabnya, betapa pentingnya peran orang tua dalam mengajarkan anak-anak mereka yang belum dewasa agar menggunakan media sosial dengan bijak. Tanpa media sosial pun, belum tentu kehidupan kita saat ini akan jauh lebih mudah. Bahkan, kemungkinan besar akan sangat sulit mengakses informasi, ruang kreativitas kita terbatas, dan yang hanya dapat tampil dan memperlihatkan wajah hanyalah artis-artis tersohor yang sudah memiliki nama di masyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa generasi muda masa kini bukanlah generasi acuh. Mereka hanya perlu diingatkan agar lebih peka terhadap sesama dan sadar akan kewajibannya sebagai warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
Aris, Fajriattul. 2019. “Generasi Muda Jangan Apatis pada Politik”. https://www.google.com/amp/s/nasional.sindonews.com/beritaamp/1385545/18/generasi-muda-jangan-apatis-pada-politik, diakses pada 10 Mei 2022 pukul 12.47.
Wibowo, M. H. Ridho. 2021. “Hubungan Erat Antara Gen Z dan Media Sosial Terhadap Perkembangan Indonesia : Bergerak atau Diam?”. https://rahma.id/hubungan-erat-antara-gen-z-dan-media-sosial-terhadap-perkembangan-indonesia-bergerak-atau-diam/?amp=1, diakses pada 10 Mei pukul 11.25.
Zis, S. Fuad; Effendi, Nursyirman; Roem, Elva Ronaning. 2021. “Perubahan Perilaku Komunikasi Generasi Milenial dan Generasi Z di Era Digital” dalam Satwika : Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial Volume 5 (hlm. 69-87). Padang: Universitas Andalas.
0 Komentar