Hormon Dopamin,

Kebahagiaan Semu Bagi Pecandu Media Sosial

 


Oleh: Jihan Aulia Zahra

Universitas Negeri Jakarta

 

Tahun 2020 menjadi tahun di mana segala kegiatan luring diminimalisir dengan kegiatan daring. Penggunaan gawai berupa ponsel, laptop, tablet, dan sebagainya meningkat drastis untuk mendukung kegiatan daring. Kegiatan belajar, bekerja, hingga berkesenian kini pindah media, ditatap melalui layar. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia hingga kuartal kedua 2020 telah mencapai 73,7% dari total penduduk Indonesia. Angka ini naik 8,9% dari jumlah jumlah pengguna internet sebelumnya. Bukan tanpa alasan, semenjak pandemik ini, masyarakat hampir diwajibkan memiliki setidaknya satu gawai untuk mendukung aktivitas daring mereka.

Bukan hanya angka kunjungan pada situs dan aplikasi berbasis edutech atau workspace–untuk mendukung kegiatan belajar mengajar dan bekerja–yang naik, namun media sosial juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tidak dapat dipungkiri, sebelum pandemik terjadi pun, media sosial sudah digandrungi banyak orang terutama kalangan muda. Penambahan angka terjadi akibat waktu menatap layar (screen time) yang lebih lama dan dengan mudah orang akan beralih dari satu situs ke situs lain atau dari aplikasi satu ke aplikasi lain.

Kini, media sosial berlomba-lomba menawarkan beragam macam konten untuk dilihat para penggunanya. Algoritma dari media sosial yang menempatkan konten yang sering dilihat atau diikuti berada paling atas dan mudah ditemukan membuat pengguna akan terus kembali ke media sosial tersebut. Perasaan senang dan puas yang ditimbulkan ketika berselancar di media sosial akan membuat otak mengeluarkan hormon dopamin, sebuah hormon yang tercipta ketika manusia merasa bahagia.

Bukankah bagus apabila manusia mengeluarkan hormon dopamin? Secara tidak langsung, apabila manusia mengeluarkan hormon dopamin, dia bahagia, kan?

Tentu, keluarnya hormon dopamin menandakan bahwa manusia tersebut bahagia. Namun segala sesuatu yang berlebihan tidaklah bagus, termasuk banyaknya kadar hormon dopamin yang tinggi. Jumlah hormon dopamin yang banyak akan menyebabkan manusia tersebut kecanduan dan setelahnya menjadi tertekan dan gelisah bila tidak dekat dengan sumber kebahagiannya. Contoh nyata dari tidak bagusnya kelebihan hormon dopamin adalah pengguna beberapa jenis narkoba. Belakangan ini, tidak perlu menggunakan narkoba untuk menjadi candu terhadap suatu hal. Pada dasarnya, jika manusia tidak memiliki kontrol terhadap diri akan mengalami kecanduan, termasuk dengan menggunakan media sosial tanpa kontrol diri.

Ketika berada di media sosial, terutama dalam waktu yang lama, secara tidak sadar, manusia akan membandingkan dirinya dengan orang lain. Perbandingan yang dilakukan dapat berupa kesuksesan, pencapaian, rupa, bentuh tubuh, dan lainnya. Mungkin beberapa orang dapat menjadikan perbandingan ini sebagai motivasi untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi, tidak banyak orang yang seperti itu. Dengan terus menerus melakukan perbandingan diri terhadap orang lain, perkara yang akan timbul adalah berpikir berlebihan dan kekhawatiran terhadap diri sendiri dan masa depan. Belum lagi penyakit hati seperti iri dan dengki yang akan muncul ketika merasa tidak senang dengan pencapaian orang lain yang dilihat di media sosial. Kondisi seperti itu tentulah tidak sehat bagi mental dan mengurangi tingkat produktivitas.

Seperti yang telah dijelaskan di paragraf awal, jumlah pengguna internet, terutama di Indonesia, tidaklah sedikit. Ini menandakan bahwa jumlah orang yang kemungkinan menderita penyakit mental akibat penggunaan media sosial yang berlebihan juga tidak sedikit. Rendahnya harga diri yang dirasakan, perlakuan tidak menyenangkan di media sosial, kekerasan berbasis gender online, dan hal-hal lain yang membuat media sosial terlihat menyeramkan merupakan beberapa contoh peristiwa yang dapat terjadi ketika seseorang mengakses media sosial. Namun, hormon dopamin yang berlebihan membuat penggunanya tidak bisa lepas begitu saja meskipun telah merasa tidak nyaman dengan media sosial karena dia akan lebih tertekan apabila tidak berada di media sosial dalam jangka waktu yang lama.

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pengguna internet–khususnya yang sering mengakses media sosial–untuk dapat terhindar dari kecanduan atau mengurangi tingkat kecanduan dari media sosial?

Pertama, atur waktu dalam bermedia sosial. Beberapa ponsel pintar telah memiliki pengaturan waktu untuk membatasi pengggunaan aplikasi yang dapat diatur oleh penggunanya. Ketika waktu yang telah diatur telah melewati batas, maka aplikasi tersebut tidak dapat dibuka hingga hari berganti. Batasi diri untuk tidak membuka media sosial melebihi batas waktu tersebut.

Kedua, hindari segala hal yang berhubungan dengan media sosial. Keluarlah dari akun media sosial sehingga ketika membukanya, pengguna harus memasukkan data diri dan kata sandi terlebih dahulu. Ini akan membuat pengguna memiliki kesadaran bahwa ia tengah menghindari media sosial. Hal lain yang dapat dilakukan adalah menginvestasikan waktu dengan melakukan aktivitas lain seperti olahraga atau membaca buku.

Ketiga, puasa media sosial. Sudah banyak orang mulai melakukan puasa media sosial untuk menghindari kecanduan yang timbul akibat media sosial. Dikutip dari situs berita The Guardian, beberapa anak muda di Inggris yang diwawancarai menyampaikan dampak positif dari keluarnya mereka di media sosial. Ada yang merasa tidak cemas dan tidak merasa gagal lagi, ada yang merasa bahwa dia kini memiliki pola pikir yang lebih positif, dan ada yang lebih menikmati hidupnya di dunia nyata ketimbang harus membangun kehidupan yang terlihat bagus di media sosial. Puasa media sosial membuat pengguna lebih fokus untuk menjalani kehidupannya secara utuh dan akan terhindar untuk melakukan perbandingan diri dengan kehidupan orang lain.

Terakhir, taat dan patuh. Atau dengan kata lain, cobalah untuk mendisiplinkan diri dan konsisten dengan apa yang dikerjakan. Memang tidak mudah karena hal ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Dapat diingat dan dijadikan pola pikir bahwa menjadi kecanduan itu tidaklah baik untuk kesehatan mental dan produktivitas. Perlahan, namun pasti, dengan menerapkan ketaatan dan kepatuhan akan menjauhi diri dari kecanduan.

 

 

Referensi

Ade Chandra Gita Kusuma, 2020. Pengaruh Sosial Media Terhadap Self Esteem: Bikin Bahagia atau Menderita?https://satupersen.net/blog/pengaruh-sosial-media-terhadap-self-esteem-bikin-bahagia-atau-menderita diakses 12 Januari 2021.

Isa Anshori Al Haq, 2020. Dopamin Detox, Cara untuk Tetap Waras dari Candu Duniahttps://mojok.co/terminal/dopamin-detox-cara-untuk-tetap-waras-dari-candu-dunia/ diakses 12 Januari 2021.

Jaron Lanier, 2018. Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now.

Kieran Gair, 2017. 'Fuelling a Mental Health Crisis': Instagram Worst Social Network for Young People's Mental Health. https://www.smh.com.au/technology/fuelling-a-mental-health-crisis-instagram-worst-social-network-for-young-peoples-mental-health-20170520-gw9fvq.html diakses 13 Januari 2021

Laporan Survei Internet APJII 2019 - 2020 [Q2] – https://apjii.or.id/survei diunduh 11 Januari 2021.

Sarah Marsh, 2016. Does Quitting Social Media Make You Happier? Yes, Say Young People Doing Ithttps://www.theguardian.com/media/2016/sep/21/does-quitting-social-media-make-you-happier-yes-say-young-people-doing-it diakses 14 Januari 2021.

 

0 Komentar