Hustle Culture, Media Sosial dan Kesehatan Mental
Hustle
Culture, Media Sosial dan Kesehatan Mental
Oleh: Kevin Wisnumurthi Adhi Nugroho
Universitas
Indonesia
Pendahuluan
Hustle culture merupakan
fenomena sosial yang kian hari semakin mendapat perhatian. Akar kata dari hustle
culture adalah hustle yang dapat diartikan bekerja keras. Menurut
sosiolog Universitas Indonesia Lugina Setyawati (dalam economica.id, 2020), hustle
culture adalah budaya yang membuat seseorang menganut “gila kerja”. Dalam
kata lain, orang yang menganut hustle culture merasa bahwa dirinya harus
terus bekerja keras untuk meraih sukses. Lebih parahnya lagi, ia akan merasa
ada hal yang salah jika tidak melakukan pekerjaan. Pekerjaan dalam hal ini
tidak eksklusif pada pekerjaan formal, tetapi dapat mengacu pula pada seseorang
yang terus-menerus beraktivitas, misalnya mahasiswa yang selalu disibukkan
dengan kegiatan kemahasiswaan.
Berdasarkan berbagai studi literatur
yang telah dilakukan mengenai fenomena gila kerja, jumlah orang yang gila kerja
berkisar antara 5-10% (Sussman et al., 2011). Bahkan, salah satu studi
menyebutkan bahwa jumlah penggila kerja mencapai 25% dari total populasi
(Robinson, 2014). Dari data yang disebutkan, kita bisa melihat bahwa hustle
culture, yang membuat seseorang menjadi gila kerja, cukup tinggi
prevalensinya. Ditambah lagi, keberadaan media sosial dapat mendorong
penyebaran hustle culture. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena hustle
culture memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan mental. Maka dari
itu, penting bagi kita untuk mengetahui seluk-beluk hustle
culture agar kita bisa lebih bijak dalam menyikapi fenomena sosial ini.
Media
Sosial sebagai Pendorong Hustle Culture
Kita pasti pernah mendengar kutipan-kutipan
seperti “I’ve got a dream worth more than my sleep” atau “let them
sleep while you grind, let them party while you work”. Kutipan-kutipan
tersebut pasti sering berseliweran dalam akun media sosial kita, baik itu di
Instagram, Youtube, Twitter, Facebook, maupun media sosial lainnya. Dilihat
sekilas, kutipan tersebut memang terdengar “wah”, tetapi yang mungkin tidak
kita sadari adalah itu merupakan bentuk normalisasi hustle culture.
Normalisasi hustle culture juga didorong oleh para influencer,
mulai dari influencer kebugaran hingga influencer bisnis, yang
kerap kali mengunggah post berbau hustle culture.
Hal
yang tidak kalah parah dari normalisasi hustle culture adalah saat
budaya tersebut dikomersialisasi oleh pihak tertentu. Sebagai contoh, Nike,
merek olahraga kenamaan, pernah menggunakan slogan “Rise and Grind”
dalam kampanye media sosialnya yang menyiratkan dukungan pada hustle culture.
Contoh lainnya adalah perusahaan media seperti the Hustle dan One37pm yang
mengglorifikasi ambisi sebagai sebuah gaya hidup (The New York Times, 2019).
Dampak dari normalisasi dan
komersialisasi hustle culture adalah masyarakat menganggap hustle
culture sebagai sesuatu yang lumrah, atau lebih parahnya lagi, menganggap hustle
culture sebagai suatu hal yang keren dan mulia, Berbagai kutipan dan
kampanye yang berlalu-lalang di media sosial dapat mengaburkan pandangan kita
terhadap hustle culture. Hustle culture seolah identik dengan
kesuksesan, padahal di saat yang sama budaya tersebut berkaitan erat pula
dengan berbagai gangguan psikologis dan kesehatan mental.
Membicarakan media sosial sebagai
pendorong hustle culture, unggahan yang tidak ada hubungannya dengan
normalisasi hustle culture ternyata dapat juga mendorong orang yang
melihatnya untuk melakukan hustle. Misalnya, ada seseorang yang
mengunggah kegiatan atau pencapaiannya ke media sosial. Dalam hati si
pengunggah, mungkin tidak ada niatan untuk melumrahkan hustle culture,
tetapi orang yang melihat unggahan tersebut bisa terdorong untuk melakukan hustle.
Pertanyaannya, mengapa demikian?
Menurut Keller et al. (2006), salah
satu faktor yang mendorong seseorang untuk menjadi penggila kerja adalah
kompetisi. Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk yang kompetitif dan
selalu ingin superior dibanding orang lain (De Botton, 2008). Maka dari itu,
wajar jika unggahan seseorang di media sosial dapat membangkitkan insting
manusia untuk berkompetisi yang berujung pada gila kerja.
Selain kompetisi, harga diri (self-esteem)
juga dapat mendasari tendensi hustle culture yang berakar dari media
sosial. Seseorang dengan harga diri rendah bisa merasa inferior saat melihat
unggahan orang lain. Perasaan inferior ini mendorong orang tersebut untuk
menjadi lebih sukses, salah satunya adalah dengan lebih menggilai pekerjaan (Ng
et al., 2007). Setali tiga uang dengan orang berharga diri rendah, orang dengan
harga diri tinggi juga dapat terdorong untuk melakukan hustle saat
melihat unggahan orang lain. Kegiatan atau pencapaian orang lain yang diunggah
di media sosial dapat mendorong orang dengan harga diri tinggi untuk menetapkan
standar dan ekspektasi yang lebih tinggi lagi bagi dirinya sendiri sehingga ada
potensi terjebak dalam gila kerja (Snir et al., 2006).
Pemaparan di atas telah menunjukkan
bahwa ada usaha-usaha untuk menormalisasi dan mengomersialisasi hustle
culture melalui media sosial. Selain itu, telah dibahas pula mengenai
alasan seseorang dapat terdorong untuk melakukan hustle saat melihat
unggahan orang lain di media sosial. Pertanyaannya, apakah media sosial dapat
benar-benar memengaruhi seseorang untuk mengikuti hustle culture? Data-data
berikut ini mungkin dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut.
Berdasarkan laporan dari Hootsuite
dan We Are Social, 4,14 miliar orang atau 53% dari total penduduk di seluruh
dunia menggunakan media sosial setiap bulannya pada tahun 2020. Angka ini
meningkat 12,3% dari tahun 2019. Pengguna media sosial di seluruh dunia menghabiskan
rata-rata 2 jam 29 menit setiap harinya untuk mengakses media sosial. Di
Indonesia sendiri, jumlah pengguna media sosial pada tahun 2020 adalah 160 juta
atau 59% dari total penduduk Indonesia. Angka ini meningkat 8,1% dari tahun
sebelumnya. Hal yang patut menjadi perhatian adalah masyarakat Indonesia mengakses
media sosial selama 3 jam 26 menit setiap harinya. Angka ini hampir 1 jam lebih
lama dibanding rata-rata seluruh penduduk dunia.
Melihat sangat masifnya pengguna
media sosial di dunia dan Indonesia, maka tidak mengherankan jika hustle
culture dapat dengan mudah tersebar dan tumbuh subur. Masifnya jumlah
pengguna media sosial ini merupakan sasaran empuk bagi pihak-pihak yang
memiliki agenda normalisasi atau bahkan komersialisasi hustle culture. Lebih
parahnya lagi, sesuai pemaparan di atas, hustle culture juga dapat
tersebar tanpa adanya agenda normalisasi atau komersialisasi. Hal ini sangat
mengkhawatirkan karena hustle culture memiliki dampak negatif yang
sangat signifikan bagi kesehatan mental.
Hustle
Culture dan Masalah Kesehatan Mental yang Mengiringinya
Seperti yang telah disampaikan
sebelumnya, hustle culture membuat seseorang bekerja terus-menerus atau
gila kerja untuk meraih kesuksesan. Sekilas, tidak ada yang salah dengan hal
tersebut. Lagi pula, sudah menjadi rahasia umum bahwa kesuksesan tidak akan
datang tanpa adanya pengorbanan. Namun, sering kali kita terjebak dalam
bayangan akan kesuksesan yang membuat kita lupa bahwa gila kerja merupakan
pedang bermata dua.
Penelitian yang dilakukan oleh
Matsudaira et al. (2013) menunjukkan bahwa gila kerja berkorelasi signifikan
dengan gangguan psikologis. Minirth et al. (dalam Seybold & Salomone, 1994)
menyebutkan bahwa gangguan psikologis yang dapat muncul akibat gila kerja di
antaranya adalah rasa cemas, kehilangan harapan, benci, putus asa, frustrasi,
stres, dan sulit tidur. Masalah lain yang mungkin menggentayangi para penggila
kerja adalah anhedonia atau ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan
(Franzmeier, 1988).
Penelitian
lain yang dilakukan oleh (Schaufeli et al., 2009) menunjukkan bahwa gila kerja
berkaitan dengan kondisi yang dinamakan burnout. Burnout sendiri
merupakan kondisi saat seseorang mengalami kelelahan emosional, fisik, dan
mental akibat stres yang berlebihan dalam waktu yang berkepanjangan. Jika
dibiarkan, seseorang yang mengalami burnout dan tidak menanganinya
berkemungkinan mengalami peningkatan depresi, atau dalam kasus yang lebih
ekstrem, dapat melakukan tindakan bunuh diri (Patel et al., 2018).
Selain
dampak pada diri sendiri, perilaku gila kerja juga dapat mengakibatkan konflik
interpersonal yang terjadi secara terus-menerus antara si penggila kerja dengan
orang lain (Oates, 1971). Machlowitz (1980) menambahkan bahwa para penggila
kerja yang ia wawancara menunjukkan perasaan gagal dalam kehidupan berkeluarga.
Hal ini diamini oleh Robinson dan Post (1995) yang menyebut bahwa gila kerja
dapat menimbulkan disfungsi dalam keluarga. Istri dari pria yang gila kerja
menunjukkan lebih sedikit kasih sayang serta kepada suaminya dibanding istri
dari pria yang tidak gila kerja (Robinson et al., 2001). Masalah-masalah
interpersonal inilah yang kemudian menciptakan konflik, rasa bersalah, dan
stres dalam diri para penggila kerja.
Penutup
Melalui tulisan ini, penulis telah
memaparkan hubungan antara hustle culture, media sosial, dan kesehatan
mental. Singkatnya, hustle culture merupakan budaya yang membuat
seseorang bekerja tanpa henti demi meraih kesuksesan. Dalam hal ini, media
sosial berperan sebagai wadah penyebaran hustle culture, baik oleh
orang-orang yang memiliki niatan menormalisasi dan mengomersialisasi hustle
culture maupun orang-orang yang tidak memiliki niatan tersebut sama sekali.
Hal ini patut dikhawatirkan karena hustle culture memiliki banyak sekali
dampak negatif bagi kesehatan mental. Memang, kesuksesan mensyaratkan adanya
pengorbanan, tetapi layakkah kesehatan mental dikorbankan demi kesuksesan?
Referensi
De Botton, A. (2008). Status anxiety.
Vintage.
Assajjadiyyah, S. (2020, September 8). Hustle
Culture: Tren bagi si Penggiat Kerja. Diakses melalui https://www.economica.id/2020/09/08/hustle-culture-tren-bagi-si-penggiat-kerja/#:~:text=Menurut%20Lugina%20Setyawati%2C%20dosen%20Sosiologi,pada%20seseorang%20yang%20aktif%20dan
Franzmeier, A. (1988). To your health. Nation's
Business, 76, 73.
Griffith, E. (2019, Januari 26). Why Are Young
People Pretending to Love Work?. Diakses melalui https://www.nytimes.com/2019/01/26/business/against-hustle-culture-rise-and-grind-tgim.html
Hootsuite & We Are Social. (2020). Digital
2020 Indonesia.
Keller, A. C., Spurk, D., Baumeler, F., &
Hirschi, A. (2016). Competitive climate and workaholism: Negative sides of
future orientation and calling. Personality and Individual Differences, 96,
122-126.
Kemp, S. (2020, Oktober 20). Social Media Users
Pass the 4 Billion Mark as Global Adoption Soars. Diakses melalui https://wearesocial.com/blog/2020/10/social-media-users-pass-the-4-billion-mark-as-global-adoption-soars
Machlowitz, M. (1980). Workaholics, living with
them, working with them. Addison Wesley Publishing Company.
Matsudaira, K., Shimazu, A., Fujii, T., Kubota, K.,
Sawada, T., Kikuchi, N., & Takahashi, M. (2013). Workaholism as a risk
factor for depressive mood, disabling back pain, and sickness absence. PloS
one, 8(9), e75140.
Ng, T. W., Sorensen, K. L., & Feldman, D. C.
(2007). Dimensions, antecedents, and consequences of workaholism: A conceptual
integration and extension. Journal of Organizational Behavior: The
International Journal of Industrial, Occupational and Organizational Psychology
and Behavior, 28(1), 111-136.
Oates, W. E. (1971). Confessions of a workaholic:
The facts about work addiction. New York: World Publishing.
Patel, R. S., Bachu, R., Adikey, A., Malik, M.,
& Shah, M. (2018). Factors related to physician burnout and its
consequences: a review. Behavioral Sciences, 8(11), 98.
Robinson, B. E., & Post, P. (1995). Work
addiction as a function of family of origin and its influence on current family
functioning. The Family Journal, 3(3), 200-206.
Robinson, B. E., Carroll, J. J., & Flowers, C.
(2001). Marital estrangement, positive affect, and locus of control among
spouses of workaholics and spouses of nonworkaholics: A national study. American
Journal of Family Therapy, 29(5), 397-410.
Robinson, B. E. (2014). Chained to the desk: A
guidebook for workaholics, their partners and children, and the clinicians who
treat them. NYU Press.
Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., Van der Heijden, F.
M., & Prins, J. T. (2009). Workaholism, burnout and well-being among junior
doctors: The mediating role of role conflict. Work & Stress, 23(2),
155-172.
Seybold, K. C., & Salomone, P. R. (1994).
Understanding workaholism: A review of causes and counseling approaches. Journal
of Counseling & Development, 73(1), 4-9.
Snir, R., Harpaz, I., Burke, R., Burke, R. J.,
Matthiesen, S. B., & Pallesen, S. (2006). Workaholism, organizational life
and well‐being of Norwegian nursing staff. Career Development International.
Sussman, S., Lisha, N., & Griffiths, M. (2011). Prevalence of the addictions: a problem of the majority or the minority?. Evaluation & the health professions, 34(1), 3-56.
0 Komentar