“Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu”

Oleh: Tri Ledi

 

Sumber gambar: google.com

 

Buku yang berjudul “Hiduplah Anakku, Ibu Mendampingimu” yang menceritakan kehidupan nyata seorang tokoh yang bernama Michiyo Inoue ia adalah seorang ibu yang dalam membesarkan anak perempuannya yang bernama Miyuki Inoue, yang tuna netra sejak lahir. Buku ini berisi dengan tebal 183 halam yang didalamnya sangat inspiratif. Terdiri dari VI  bab yang mnceritakan berbagai episode kehidupan tokoh serta sejumlah halaman berisi foto-foto Michiyo bersama putrinya yaitu Miyuki dalam kehidupan sehari-harinya. Buku ini sangat mampu memberikan gambaran dengan jelas mengenai kehidupan seorang ibu yang membesarkan putrinya yang tuna netra seorang diri tanpa ditemani oleh suaminya.

Michiyo Inoue adalah seorang anak yang tidak terbiasa dibesarkan oleh ibunya, ia sudah terbiasa diasuh oleh nenek dan kakeknya sejak kecil. Ibunya seolah sudah tidak peduli dengan dirinya. Michiyo Inoue sudah terbiasa dididik dengan pola yang disiplin dan sangat keras. Ibu  Michiyo Inoue memperlakukan dirinya bukan sebagai anak melainkan sebagai seorang budak yang harus mau menuruti segala perintahnya bahkan harus melayani segala keinginan tamu-tamu yang dating ke kedai minuman milik ibunya. Oleh karena itu ia sangat sedih dan berharap mendapat kasih sayang dari ibunya.

Tak lama kemudia kakeknya meninggal dunia, nenek Michiyo pun meninggal. Saat itu Michiyo sedang tinggal bersama ibunya. Michiyo menjadi benar-benar tersadar bahwa ibunya benar-benar seorang wanita yang kejam saat ia dilarang oleh ibunya untuk melayat ke pemakaman neneknya. Bahkan, saat itu Michiyo diperintahkan untuk tetap melayani tamu-tamu di kedai minum ibunya tersebut. Kemarahan Michiyo semakin menjadi saat ayah tiri Michiyo mencoba memeluknya dan ibunya bahkan bersikap cuek terhadap peristiwa tersebut. Michiyo pun memutuskan untuk pergi meninggalkan ibunya. Ketika itu ia berusia 15 tahun, baru saja lulus tingkat SMP saat liburan. Michiyo tinggal di sebuah penginapan dan bekerja pada pemiliknya di sebuah kedai makanan. Setelah beberapa tahun, Michiyo memberanikan diri untuk membuka sebuah rumah makan dari hasil kerja kerasnya dan sedikit uang yang ia pinjam dari seniornya di tempat kerjanya dulu. Rumah makan itu ia beri nama ‘Nodate’. Rumah makan inilah yang menjadi harapannya.

Saat mengandung putrinya, Miyuki Inoue, ayah Miyuki yang merupakan calon suami Michiyo yang saat itu meninggal dunia karena kecelakaan kereta dalam perjalanan dinasnya.dari kejadian itu Michiyo bener-bener terpuruk hingga Miyuki lahir super premature saat usia kandungannya masih enam bulan. Miyuki lahir dengan berat 500 gram dalam keadaan koma. Michiyo mengatakan bahwa saat lahir, Miyuki hanya sebesar ballpoint, tubuhnya kecil kecoklatan. Hal ini membuat Miyuki memerlukan perawatan khusus dan intensif di dalam inkubator agar organ-organnya dapat berkembang dan befungsi sempurna. Hati Michiyo miris melihat kondisi putrinya tersebut. Ia merasa sedih sekaligus menyesal karena tak berhasil menjaga kondisi kandungannya dengan baik. Hal itu membuat hidup Miyuki sangat kecil, namun semangat Michiyo tak pernah pupus untuk terus mendampingi putrinya. Ia selalu berada di sisi inkubator putrinya, menyemangatinya, hingga menggenggam tangannya dan juga memohon doa kepada Tuhan.

 Miyuki dirawat dalam inkubator selama tujuh bulan. Selama itu pula Michiyo terus-menerus memantau perkembangan putrinya, mendampinginya, memberi semangat, dan berdoa untuk kebaikan putrinya. Saat Miyuki berusia lima bulan, ia didiagnosa menderita kegagalan retina yang membuatnya tak mampu melihat kecuali menangkap sedikit cahaya secara permanen sepanjang hidupnya. Hal ini merupakan pukulan yang berat bagi Michiyo. Ia terus menangis akan kebutaan putrinya. Kemudian Michiyo tersadar bahwa membiarkan putrinya tetap hidup adalah jauh lebih baik dari pada membunuhnya, ia akan berusaha membesarkan putrinya. Ia tersadar bahwa Miyuki adalah anugerah yang dititipkan Tuhan padanya. Michiyo mendidik Miyuki dengan penuh kesabaran. Ia selalu mencoba menjelaskan apa saja yang ia dan Miyuki temui. Tak lupa pula ia untuk membiarkan Miyuki menyentuh apa saja yang ditemui sebagai media pembelajarannya. Michiyo juga mengajak Miyuki berjalan-jalan keluar rumah, agar putrinya dapat merasakan hembusan, ia juga mengajaknya bermain-main di taman. Semakin besar, Miyuki semakin memerlukan pengawasan dan perhatian ibunya, sehingga membuat Michiyo dengan berat hati menutup Nodate dan beralih ke bisnis lainnya yang tidak terlalu menyita waktunya bersama Miyuki. Michiyo tak mau kehilangan kesempatan untuk mendidik putrinya seoptimal mungkin. Saat Miyuki terjatuh, Michiyo menahan diri untuk tak menolong Miyuki, ia hanya mengawasinya dari kejauhan dan memastikan bahwa putrinya baik-baik saja.

Saat memasuki bangku SD, Miyuki masuk ke SLB-A yang terletak jauh dari rumahnya. Di sekolah, ia memiliki seorang guru yang sangat perhatian padanya, yang bernama ibu Junko Nakamuta. Beliau membantu Miyuki mengenal huruf braille dengan sabarnya. Miyuki adalah seorang siswa dengan semangat belajar yang tinggi. Ia pun rajin mengerjakan tugas-tugasnya. Michiyo sangat disiplin dalam mendidik kemandirian putrinya. Saat Miyuki duduk di kelas empat SD, ia terserang pilek hingga jumlah sel darahnya menurun drastis yang tidak diketahui apa penyebabnya. Ia harus diopname di rumah sakit. Michiyo merasa senang karena di sana ia merasa bisa semakin dekat dengan Miyuki. Akhirnya Miyuki mampu melanjutkan ke SLB-A lanjutan Pertama. Wali kelasnya bernama Pak Kono yang juga tuna netra. Beliaulah yang menasihati Miyuki untuk selalu memiliki cita-cita yang tinggi serta pantang menyerah. Ia juga menyarankan agar Miyuki mau mengikuti lomba pidato.

Dalam pidatonya, Miyuki menuliskan kisah hidupnya. Ia juga mengungkapkan bahwa ia akan berusaha mengejar impiannya dan ingin membuat ibunya menangis bahagia karenanya. Miyuki pun berhasil memenangkan lomba tersebut dan mendapat kesempatan untuk mengikuti lomba pidato tingkat nasional dan ia pun juga berhasil memenangkannya. Miyuki benar-benar senang karena ia berkesempatan untuk berbagi kisahnya dengan sesama tuna netra hingga bisa menginspirasi teman-temannya tersebut. ia merasa cukup bermanfaat. Di usia lima belas tahun, Miyuki berhasil menuliskan kisah hidupnya bersama ibunya sehingga dapat menginspirasi banyak orang. Ia menceritakan bagaimana ibunya mendidiknya, bagaimana perasaannya, serta penderitaan yang dialami olehnya serta ibunya.

 

0 Komentar