Kuasa Kapitalisme di Balik Pemilihan Kepala Daerah Solo 2020
Kuasa
Kapitalisme di Balik Pemilihan Kepala Daerah Solo 2020
Oleh: Muhammad
Syirot Hidayat Khoironi
Di penghujung tahun, tepatnya 9 Desember 2020 masyarakat Indonesia
bakal menghelat pesta demokrasi lima tahunan sekali, dimana diantaranya muncul
Balon-balon (bakal calon) muda, generasi milineal, dan tentu sang incumbent
yang masih ingin merasakan manisnya 2 periode duduk di kursi kekuasaan,
menariknya perhelatan lima tahunan ini boleh jadi akan tetap beriringan seiring
laju angka kurva penyakit Covid-19
(Corona Virus Disease) yang urung juga ditekan oleh pemerintah. Dari sekian
banyak pilkada yang akan di selenggarakan tentu di masa pandemi ini semua mata
tertuju pada sang putra sulung Presiden RI yakni Gibran Rakabuming Raka dan
juga menantunya yakni Boby Nasution, pasalnya keduanya belum memiliki bekal
yang cukup untuk bersaing dalam kontestasi pilkada tahun ini dikarenakan minim
pengalaman dan belum memiliki trek record yang gemilang dalam dunia politik.
Tulisan kecil-kecilan ini agaknya akan sedikit membahas betapa
kompleksnya proses pencalonan sang putra sulung presiden ini. Pasal 27 ayat 1
UUD 1945 "setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum tanpa
terkecuali" dan dalam konteks hak asasi manusia juga tertuang dalam
undang-undang no 39 tahun 1999 tentang bagaimana sebetulnya setiap warga negara
memiliki hak politik atau political rights untuk memilih dan dipilih dalam
pemilu. Tentu 2 bunyi pasal tersebut semakin menegaskan tentang anggapan
politik dinasti yang menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini resmi
terbantahkan dengan adanya dua pasal ini. Secara konstitusi pencalonan Gibran
memang bukan hal yang inkonstitusional dan sudah sesuai prosedur karena sudah
memiliki surat rekomendasi dari partai untuk maju. Belum lagi jika kita melihat
rangkaian proses pencalonan DPC PDIP Solo sudah menentukan Purnomo jauh sebelum
turunnya surat rekomendasi partai berkepala banteng tersebut( Tempo.co). Namun,
setelah Purnomo dipanggil ke istana untuk menemui Jokowi, beliau resmi
mengundurkan diri dari kontestasi politik di Solo, semakin membuat asumsi liar
yang berkembang di masyarakat semakin menjadi jadi dan bertanya-tanya ada apa
sebetulnya?
Dalam buku Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, Noreena
Hertz menjelaskan bahwa tayangan-tayangan revolusi tidak akan pernah ada di
televisi dalam artian sekitar tahun 1990an di Amerika pernah ada gerakan
"Buy Nothing Day" Namun stasiun Amerika Serikat seperti NBC, CBS, dan
ABC. Secara tegas menolak untuk menayangkannya mesikupun ada bayaran untuk
iklan itu. " kami tidak menerima iklan yang bertentangan dengan
kepentingan bisnis sah kami," kata Ricahard Gitter, wakil presiden
standard pengiklanan di jaringan NBC milik General Electric Company. Hal yang
menjustifikasi keputusannya dengan alasan bahwa buy nothing day adalah
'bertentangan dengan kebijakan ekonomi AS saat ini'
Jika kita melihat analisis Hertz hal yang sama sebetulnya sedang terjadi di Indonesia dengan rangkaian-rangkaian kejanggalan pencalonan putra mahkota Jokowi mulai dari pemanggilan Purnomo, statement Megawati mengenai kepala daerah yang ideal hingga kepemilikan perusahaan kayu yakni PT Rakabu Sejahtera, semakin memperkuat argumentasi bahwa dibalik pencalonan Gibran tentu ada andil-andil besar dari pengaruh kapitalisme lokal dan kepentingan-kepentingan elit lokal. kemudian pertanyaan besarnya adalah apakah demokrasi kita mau tetap begini-begini saja? Hanya bersifat prosedural tanpa mempertimbangkan kapabilitas dan trek record sebagai pemimpin? Lantas kapan demokrasi kita bisa mencapai puncaknya?
Daftar Pustaka
Hertz, N. (2005). Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Sleman, Yogyakarta.: Alenia.
0 Komentar