PRAKTIK MISOGINIS DAN BUDAYA PATRIARKI PADA NOVEL KIM JI YEONG LAHIR TAHUN 1982 (82 년생 심지영)
oleh : Aulia Seftiari



Kim Ji-Yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-Yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-Yeong mulai bertingkah aneh.

Kim Ji-Yeong mulai mengalami depresi.

Kim Ji-Yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.

Namun, Kim Ji-Yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Novel Kim Ji-Yeong Lahir tahun 1982 karya Cho Nam-Joo menceritakan tentang Jeong Dae-Hyeon yang mengunjungi psikiater karena istrinya, Kim Ji-Yeong mulai bertingkah aneh dan mengalami depresi. Hal-hal yang menimpa Kim Ji-Yeong ini didasari pada kehidupan Kim Ji-Yeong yang selama ini seperti menekan hidupnya.

Kim Ji-Yeong adalah seorang perempuan yang lahir di Korea Selatan pada 1 April 1982. Sejak kecil Kim Ji-Yeong sudah mengalami kehidupan yang sulit karena praktik misoginis dan budaya patriarki yang masih kental.

Kim Ji-Yeong memiliki seorang kakak perempuan bernama Kim Eun-Yeong. Ibu Kim Ji-Yeong, Oh Mi-Sook, terpaksa menggugurkan bayi ketiganya karena jenis kelamin bayi itu perempuan, sementara Ibu mertuanya selalu mendesak agar Oh Mi-Sook melahirkan bayi laki-laki.

Saat itu, Pemerintah menetapkan kebijakan pengendalian kelahiran yang diberi nama “Keluarga Berencana”. Saat itu, aborsi merupakan alasan medis yang diperbolehkan secara hukum, dan “anak perempuan” seolah-olah termasuk alasan medis. Hal tersebut membuat pemeriksaan jenis kelamin dan aborsi atas janin anak perempuan meluas. Situasi yang berlangsung selama tahun 1980-an ini menimbulkan ketidakseimbangan perbandingan jumlah gender yang memuncak pada awal tahun 1990, sehingga jumlah anak laki-laki meningkat dua kali lipat lebih banyak dibanding anak perempuan. Saat itu, Oh Mi-Sook harus merelakan bayinya yang lagi-lagi tidak diharapkan oleh suami dan mertuanya. Semua itu memang bukan pilihannya, tetapi entah bagaimana semua itu menjadi tanggung jawabnya. Oh Mi-Sook menangis meraung-raung seperti hewan yang kehilangan anaknya. Tidak ada anggota keluarga yang menghiburnya sementara jiwa dan raganya tersiksa. Beberapa tahun kemudian seorang bayi laki-laki akhirnya lahir dalam keadaan sehat. Bayi itulah adik laki-laki Kim Ji-Yeong yang lima tahun lebih muda darinya.

Perbedaan perhatian dalam mengurus adik laki-laki Kim Ji-Yeong, begitu terasa bagi Kim Ji-Yeong dan Kim Eun-Yeong sebagai anak perempuan. Misalnya dalam mengambil makanan lebih dulu adalah Ayah, lalu adik laki-laki dan Nenek. Adik laki-laki selalu mendapatkan tahu dan mandu (Semacam pangsit ala Korea) yang masih bagus, sementara Kim Ji-Yeong dengan kakaknya selalu mendapat bagian yang jelek atau bahkan hancur.  Adik laki-laki selalu mendapat barang-barang yang serasi dan bagus, sedangkan Kim Ji-Yeong dan kakaknya selalu mendapat barang yang tidak serasi. Jika ada dua payung, yang satunya akan dipakai oleh adik laki-lakinya, sedangkan Kim Ji-Yeong dan kakaknya harus berbagi payung. Begitu pun dengan selimut, kudapan, dan hal lainnya yang mana adik laki-laki akan lebih diutamakan dibanding Kim Ji-Yeong dan kakaknya. Pada awalnya Kim Ji-Yeong tidak pernah merasa iri akan hal itu, ia merasa memang seharusnya mengalah bagi yang lebih tua, akan tetapi lambat laun Kim Ji-Yeong menyadari bahwa perbedaan itu bukan karena usia, namun karena adiknya adalah laki-laki.

Kim Ji-Yeong adalah seorang perempuan yang seringkali melihat dan menerima perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Di masa sekolahnya pun demikian, pada saat SMP, anak laki-laki yang melanggar peraturan sekolah mulai dari seragam, sepatu dan lainnya dianggap biasa dan tidak dipermasalahkan. Sedangkan anak perempuan seringkali mendapat hukuman. Para guru seolah telah menutup mata mereka akan kejadian seperti ini. Di masa SMA, lingkaran pergaulan Kim Ji-Yeong semakin luas, ia menyadari bahwa di dunia ini banyak orang-orang tak beradab. Terlebih banyaknya pelecehan yang terjadi di bus dan kereta bawah tanah. Pada saat SD pun sama, Kim Ji-Yeong mengalami masa-masa di mana terdapat guru kurang ajar pada masa SD-nya, mulai dari berpura-pura memeriksa nametag, hingga memeriksa seragam yang dikenakan siswa SD yang mana terselip pelecehan pada hal tersebut.

Pada dunia pekerjaan pun demikian, sekeras apapun karyawan wanita berusaha, ia akan kalah dengan pegawai pria yang lebih banyak mendapat promosi. Penghasilan wanita pun jauh lebih sedikit dibanding penghasilan pria.

Novel ini cukup unik karena membahas sesuatu yang universal, bukan sesuatu yang spesifik. Melalui tokoh Kim Ji-Yeong yang menggambarkan kehidupan perempuan di Korea Selatan. Karena kisah ini tidak hanya dialami oleh Kim Ji-Yeong, akan tetapi semua perempuan kerap kali mengalaminya.

Tokoh Kim Ji-Yeong mewakili perempuan di masa penuh keragaman dan individualitas. Setiap orang berusaha mencari tahu apa arti kehidupan menurut diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Namun mencari jati diri bukanlah hal yang mudah, karena jati diri seseorang itu bermacam-macam, pengalaman seseorang mungkin akan berbeda tergantung pada jati diri mana yang lebih bermakna baginya. Tetapi inti dari jati diri seseorang di antara berbagai jati diri yang ada adalah gender. Jika kita mengamati kelompok gender “wanita”, setengah masyarakat Korea memiliki pengalaman yang serupa, karena gender merupakan “sistem” yang kuat yang beroperasi mulai dari wilayah pribadi seperti cinta, pernikahan, struktur keluarga, kelahiran, pengasuhan, dan penuaan sampai ke wilayah umum seperti perekonomian, agama, politik, sekolah dan lainnya.

Adegan-adegan dalam novel ini sangat realistis. Semua pengalaman di masa kecil, masa sekolah, masa bekerja, masa pernikahan tidak asing bagi wanita. Dengan membaca kisah kehidupan Kim Ji-Yeong, dapat diketahui bahwa Kim Ji-Yeong lebih banyak memilih diam dibandingkan mengatakan apa yang ingin ia katakan.

“Biasanya aku tidak menerima wanita sebagai tamu pertamaku, tetapi aku memutuskan mengantarmu karena kau hendak menghadiri wawancara kerja”. Mengantarnya?sesaat Kim Ji-Yeong mengira ia tidak perlu membayar ongkos taksi, tetapi beberapa saat kemudian ia baru mengerti.  Apakah si sopir taksi berharap Kim Ji-Yeong berterimakasih kepadanya padahal Kim Ji-Yeong harus membayarnya? Dasar orang kasar yang mengira dirinya berbuat baik! Karena tidak tahu bagaimana harus memprotes dan karena tidak ingin bertengkar, Kim Ji-Yeong pun memilih memejamkan mata. (Halaman 99)

Salah seorang bibi diam-diam bertanya kepada ibu Jeong Dae-Hyeon “Kenapa kau tidak melakukan apa-apa? Beri vitamin kepada menantumu agar dia cepat hamil. Dia pasti sedih” Kim Ji-Yeong sama sekali tidak sedih. Yang tidak tahan dihadapinya adalah saat-saat seperti itu. Kim Ji-Yeong ingin berkata bahwa ia sangat sehat, tidak butuh vitamin apapun, dan ia ingin membahas rencana keluarganya dengan suaminya sendiri, bukan dengan kerabat-kerabat yang baru pertama ditemuinya. Namun yang bisa dikatakannya hanya “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja”. (Halaman 133)

Pada saat yang konyol dan tidak adil, Kim Ji-Yeong sering diam saja. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak melakukannya. Tidak sulit menebak alasannya. Kim Ji-Yeong pasti sudah menyadari bahwa dunia yang ditinggalinya termasuk rumah, sekolah, jalan, adalah dunia “Misoginis”. Ia tahu betapa bahayanya apabila seorang wanita menyuarakan pendapat dan menancapkan posisi sebagai wanita di tengah masyarakat misoginis. Ibu Kim Ji-Yeong, yang menyadari bahwa anak ketiga yang dikandungnya adalah perempuan, menangis dan menggugurkan kandungannya setelah ayah Kim Ji-Yeong menyuruhnya “jangan berkata yang tidak-tidak”. Nenek menegaskan kepada cucu-cucu perempuannya bahwa mereka “bukan siapa-siapa” dan mereka dilarang menginginkan apa yang menjadi milik cucu laki-lakinya yang berharga.

Guru SD Kim Ji-Yeong berkata bahwa teman sebangku Kim Ji-Yeong selalu mengusiknya karena teman sebangkunya itu menyukainya. Teman-teman Kim Ji-Yeong yang menangkap Burberry man (sebutan untuk seorang pria yang tidak mengenakan pakaian dibalik jaket panjang dan suka membuka jaket di depan anak-anak perempuan) dianggap sudah mempermalukan sekolah dan diskors. Ketika Kim Ji-Yeong yang duduk di bangku sekolah terancam oleh seorang pemuda yang tidak dikenalnya, ia justru dimarahi ayahnya dan dibilang mencari masalah sendiri.

Kim Ji-Yeong bukannya sengaja memilih diam sejak awal. Walaupun sudah mengalami semua yang dialaminya, Kim Ji-Yeong adalah seseorang yang mampu bersuara. Karena ia selalu merasa pahit dan marah apabila ia tidak mengatakan apa yang sebenarnya ingin dikatakannya.

Pada saat mendaftarkan pernikahan, Jeong Dae-Hyeon menginginkan anak mereka nantinya menggunakan marganya yaitu “Jeong” dengan alasan sebagain besar orang masih menggunakan marga ayahnya. Kim Ji-Yeong hanya mengangguk, walau hatinya terasa hampa.

Pada akhir tahun 1990-an, perdebatan tentang keluarga patriarki memanas. Ada beberapa kelompok masyarakat yang menuntut sistem keluarga patriarki ditiadakan.  Ada orang-orang yang memilih menggunakan marga kedua orang tua, ada juga selebritas yang mengaku mendapat banyak kesulitan di masa kecilnya karena marganya berbeda dengan marga ayah tirinya. Pada masa itu,  ada serial drama yang menceritakan tentang seorang ibu tunggal yang melahirkan dan membesarkan anaknya sendiri, tapi kemudian anaknya dirampas oleh sang ayah kandung yang muncul kembali setelah sekian lama. Melalui hal itu, Kim Ji-Yeong menyadari betapa tidak rasionalnya sistem keluarga patriarki. Tentu saja, apabila sistem patriarki ditiadakan, semua orang pasti seolah-olah tidak lagi memiliki hubungan keluarga dengan orangtua dan saudara-saudara mereka, sehingga semua orang akan terlihat seolah-olah berasal dari keluarga yang tercerai-berai.

Pada akhirnya, sistem patriarki ditiadakan. Pada Februari 2005, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa sistem patriarki tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender dalam konstitusi. Pada tanggal 1 Januari 2008, hukum sipil yang sudah direvisi, yang didalamnya termasuk penghapusan sistem patriarki mulai diberlakukan. Namun, setiap tahun hanya ada 200 kasus anak-anak yang mengikuti marga ibu, dimulai dengan 65 kasus pada tahun 2008 ketika sistem patriarki dihapuskan.

Pada akhirnya Kim Ji-Yeong memutuskan untuk berhenti bekerja untuk mengasuh anaknya. Demi menghibur Kim Ji-Yeong yang terpaksa berhenti bekerja demi mengasuh anak, Jeong Dae-Hyeon pun berkata bahwa ia akan banyak membantu Kim Ji-Yeong. Kim Ji-Yeong pun marah-marah dan berkata “Tidak bisakah kau mengoceh tentang bantuan?” tetapi kemudian ia merasa menyesal dan meminta maaf. Karena walaupun ia marah-marah, situasinya akan tetap sama atau bahkan semakin memburuk. Kim Ji-Yeong pun perlahan-lahan kehilangan suaranya.

Masa-masa setelah menikah dan memiliki anak merupakan masa yang sulit bagi Kim Ji-Yeong, banyak hal yang menjadi kehidupan baru bagi Kim Ji-Yeong sekaligus membuatnya terperangkap dalam rutinitasnya sehari-hari. Hingga lambat laun, Kim Ji-Yeong mulai bertingkah, berbicara dan berperan seperti orang lain. Hal ini tentu membuat Jeong Dae-Hyeon dan keluarga Kim Ji-Yeong bertanya-bertanya.

Meski begitu, ada beberapa wanita di dekat Kim Ji-Yeong yang berusaha mengatasi situasi itu. Misalnya, teman sekolahnya yang berkata bahwa bukan Kim Ji-Yeong yang menendang sepatunya ke depan kelas. Yu-na yang mengusulkan kepada guru agar urutan makan siang diubah, karena pada saat itu laki-laki selalu mendapat urutan makan siang di awal, sedangkan perempuan selalu dapat urutan belakang. Oleh karena itu, anak perempuan seringkali dimarahi guru mereka karena waktu makan mereka yang singkat sehingga mereka tidak bisa menyesuaikan waktu untuk menghabiskan makanan mereka. Tuntutan guru agar para siswanya menghabiskan makanannya tanpa sisa dan tepat waktu sangat menyiksa para siswi di sekolah tersebut.

Seorang teman yang memprotes tentang diskriminasi seragam kepada guru pengawas, teman-temannya yang menangkap burberry man, wanita di dalam bus yang memberikan bantuan kepada Kim Ji-Yeong saaat ia merasa terancam karena seorang pemuda, Kim Eun-Sil yang melawan pelecehan seksual di tempat kerja. Saat itu kasus kamera tersembunyi di toilet wanita telah terjadi, pelakunya merupakan seorang pria yang berusia 20-an yang bekerja sebagai petugas keamanan di gedung itu. Tersangka memasang serangkaian foto-foto yang diambilnya secara diam-diam di salah satu situs dewasa. Hal ini tentu sangat merugikan pihak wanita yang bekerja di kantor tersebut. Akan tetapi direktur di perusahaan itu terkesan tidak ingin melanjuti kasus ini.

“Apa yang akan terjadi pada perusahaan ini kalau semua orang sampai tahu? Semua karyawan pria memiliki keluarga dan orangtua. Kita tidak mungkin merusak kehidupan mereka, bukan? Bagaimanapun, kalian para wanita juga akan dirugikan apabila semua orang tahu foto-foto kalian tersebar luas”.

Begitulah pernyataan konyol, defensif, egois dan penuh pembelaan diri yang keluar dari mulut sang direktur.

Banyak wanita di sekeliling kita yang menutup mata dan mulut seperti Kim Ji-Yeong. Karena mereka bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila mereka mengatakan apa yang ingin mereka katakan, hingga mereka merasa lelah dan tidak berdaya. Akan lebih baik jika mereka memendam pikiran, perasaan dan pendapat mereka. Tetapi di tengah kenyataan seperti ini pun ada beberapa wanita yang angkat bicara. Wanita-wanita itu bukannya tidak merasa lelah atau tidak berdaya. Mereka hanya ingin menyemangati diri sendiri dan orang lain, karena mereka bisa bersimpati pada apa yang terjadi dan karena mereka sudah pernah menerima dukungan dari orang lain.

Dengan membaca novel ini, kita dapat memahami betapa tertekannya Kim Ji-Yeong selama ini. ia tidak hanya menyaksikan praktik misoginis dan budaya patriarki, akan tetapi ia juga turut mengalaminya. Hal ini juga dialami oleh Oh Mi-Sook, Ibu Kim Ji-Yeong yang harus bekerja keras tanpa makan dan tidur demi mendapatkan uang yang kemudian membuat ketiga saudara laki-lakinya berhasil menjadi dokter, polisi dan guru. Oh Mi-Sook tidak memiliki dukungan apapun dari keluarga, hingga ia berhasil lulus SMA dengan jerih payahnya sendiri.

Novel ini sangat menggambarkan keadaan dimana sebesar apapun perjuangan perempuan, ia akan tetap kalah dengan laki-laki dan seburuk apapun perbuatan laki-laki, perempuan yang akan selalu disalahkan. Tokoh-tokoh pada novel ini pada umumnya selalu menutup mata mereka, dan membenarkan apa yang mereka lakukan terhadap kaum laki-laki dan perempuan tanpa memperhatikan keadilan. Maka dari itu, dukungan dan motivasi antar sesama perempuan sangat diperlukan guna membangun keberanian untuk menyuarakan apa yang harus disuarakan mengenai keadilan.

Kisah Kim Ji-Yeong pun telah difilmkan dengan judul film yang sama yaitu “Kim Ji-Yeong Born 1982” meskipun sempat mengalami berbagai kontroversi, pada tahun 2019 film yang diadabtasi dari novel ini pun berhasil ditayangkan, dengan Gong Yoo sebagai Jeong Dae-Hyeon dan Jung Yu-Mi sebagai Kim Ji-Yeong.

0 Komentar