Opini
Mendekatkan Pembelajaran Sejarah Ke Generasi Milenial
Mendekatkan Pembelajaran Sejarah Ke Generasi
Milenial
Ayu
Rhizky Eamailia
Sumber gambar : Alif.id
Banyak
masyarakat yang menganggap belajar sejarah identik dengan belajar tentang
kehidupan manusia purba, belajar masa lalu, zaman jadul serta masa silam. Hal tersebut yang
memacu generasi millenial tidak perlu mempelajari sejarah. Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989),
mengungkapkan bahwa bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses
pendidikan, khususnya pengajaran sejarah ibarat mengajak peserta didik menengok
ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna yang tertuang dari pendapat
ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan masyarakat di
masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap
nilai-nilai itu dan memilah mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam
menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang.
Proses mencari atau proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses,
serta menuntut untuk lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas
siswa dalam belajar sejarah.
Di generasi millenial ini hampir seluruh
masyarakatnya berpikir bahwa sejarah hanya sebagai pengalaman yang cukup
diketahui saja. Karena, pada dasarnya ilmu teknologi sudah menjadi sorot utama
sehingga mereka open minded terhadap
teknologi. Besar pandangan orang bahwa faktor negara untuk menjadi negara maju disebabkan
dari sejauh mana ilmu pengetahuan mereka dalam mengembangkan teknologi. Padahal
untuk berkembang menjadi negara maju tidak hanya dipengaruhi dari faktor
teknologi. Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka
pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak
semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan
informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau
membangkitkan kesadaran sejarahnya. Karena, seperti yang tertuang dalam
Peraturam Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung
nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan dalam
membentuk sikap,watak, dan kepribadian peserta didik.
Pembelajaran
sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan. Persoalan itu mencakup lemahnya
penggunaan teori, miskinnya imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang
terlalu terkonsentrasi, serta kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena
globalisasi berikut latar belakang historisnya. Lemahnya penggunaan teori
berakibat munculnya sejumlah contoh pernyataan dalam buku teks yang terlalu
umum dan sulit diverifikasi kebenarannya. Pembelajaran sejarah juga juga tidak
disertai percikan imajinasi yang membuat tinjauan akan peristiwa masa lalu menjadi
lebih hidup dan menarik. Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru
menggunakan paradigma konvensional yaitu paradigma ‘guru menjelaskan - murid
mendengarkan’. Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah
membosankan. Kemudian tidak memberikan
sentuhan emosional karena siswa merasa tidak terlibat aktif di dalam proses
pembelajarannya. Sementara paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna bahwa
guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar sejarah
yang sangat berbeda satu sama lain. Paradigma ini dianggap sulit diterapkan dan
membingungkan guru serta siswa. Di samping itu, metode pembelajaran yang kaku,
akan berakibat buruk untuk jangka waktu yang panjang dan berpotensi memunculkan
generasi yang mengalami “amnesia (lupa atau melupakan sejarah)” bangsa sendiri.
Agar pembelajaran sejarah berhasil baik, metode yang dipergunakan harus bisa
mengkostruk “ingatan historis”. Alhasil, siswa menjadikan sejarah hanya sebagai
fakta-fakta hapalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, juga
mampu menggali lebih jauh lagi. Ingatan historis semata tidak akan bertahan
lama. Supaya ingatan historis semata akan bertahan lama, perlu disertai
“ingatan emosional”. Ingatan jenis ini adalah ingatan yang terbentuk dengan
melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri siswa untuk
menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses
pembelajaran kemudian tak hanya berhenti pada penghafalan saja, siswa bisa
aktif dalam komunikasi dua arah dengan guru untuk mengutarakan pendapatnya
mengenai obyek sejarah yang tengah dipelajari karena sedari awal ia telah
merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran yang penuh dengan makna. Selain
itu, memberikan reward and punishment atas hasil kerja siswa memberikan image
tersendiri bagi seorang guru. Artinya, guru memberikan tugas kepada siswa tidak
sebagai formalitas, tetapi memang memiliki tujuan tersendiri.
Di zaman millenial ini pengenalan sejarah harus memanfaatkan teknologi
informasi. Pasalnya di zaman serba digital ini
semua orang dapat mengakses informasi dalam satu genggaman. Misalnya,
menggunakan aplikasi seperti museum digital yang bisa diakses kapanpun dan
dimanapun. Contoh lain yang dapat digunakan untuk mengenalkan sejarah
kepada milenial adalah kegiatan reenactmen (kegiatan rekonstruksi ulang
peristiwa). Saat ini banyak bermunculan komunitas-komunitas reenactor yang
menggelar kegiatan berupa reka ulang peristiwa-peristiwa sejarah. Orang
mempelajari sejarah mesti butuh visual. Nah reenactmen ini salah satu cara yang
efektif memvisualkan sejarah. Dengan begitu, peristiwa sejarah yang disampaikan
akan lebih tersampaikan dibandingkan dengan hanya membaca. Pengenalan sejarah
bisa lewat film,karena hal ini bisa membuat semangat pelajar bertambah.
Sumber :
Subakti.2010.PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS KONSTRUKTIVISME.https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol24no1april2010/PARADIGMA%20PEMBELAJARAN%20SEJARAH%20YR%20Subakti.pdf.(01
Mei 2020).
Sulistyo.2017.Betapa pentingnya Mempelajari dan Memahami Sejarah https://www.kompasiana.com/listyo/59db44957461b116fe2beaa2/betapa-pentingnya-mempelajari-dan-memahami-sejarah?page=all.
(01 Mei 2020).
0 Komentar