Opini
Ketidaksiapan Pendidikan Indonesia Menghadapi Pandemi
Ketidaksiapan
Pendidikan Indonesia Menghadapi Pandemi
Oleh : Tamara Oktaviyana
Sumber gambar: google.com
Belakangan ini dunia dikejutkan dengan mewabahnya
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus corona atau yang lebih dikenal dengan
sebutan COVID-19. Virus yang mulai mewabah sejak 31 Desember 2019 di Kota Wuhan
Provinsi Hubei Tiongkok, virus yang menyerang sistem pernapasan serta dapat
menular melalui kontak fisik dengan orang-orang yang terinfeksi, kini telah
menjadi virus yang terdapat di berbagai negara termasuk di Indonesia sehingga
disebut dengan pandemi.
Jumlah yang terkena covid-19 di Indonesia tentunya
kini semakin bertambah dikarenakan virus ini sangat cepat sekali menyebar,
berdasarkan data Update COVID-19 di RI per 26 Juni 2020 yang terkonfirmasi
positif mencapai 51.247 jiwa, terkonfirmasi di rawat 27.411 jiwa, sedangkan yang sembuh mencapai 21.333
jiwa, dan meninggal sebanyak 2.683 jiwa.
Yang menyebabkan pemerintah Indonesia akhirnya mulai
mengambil keputusan, dan tidak ada pilihan lain untuk memutus mata rantai
penyebaran covid-19, maka dipertegas dengan PP No. 21 Tahun 2020 dan Permenkes
9 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar, adanya larangan
mudik, social distancing (pembatasan sosial), physical distancing (menjaga jarak fisik) atau pencegahan
perkumpulan massa, dan work from home
menjadi pilihan berat yang harus dilakukan oleh semua lapisan sosial.
Selain itu menggunakan alat pelindung diri seperti
masker dan sarung tangan ketika hendak keluar, penyemprotan dinsifektan,
penyediaan handsanitizer di tempat umum, kini telah banyak dilakukan sebagai
upaya pencegahan terkena covid-19.
Kebijakan pemerintah ini tentu berimplikasi terhadap
perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat. “Menyebabkan perubahan yang
sangat besar dalam kajian sosiologis. Terjadi perubahan yang luar biasa dalam
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan bahkan pendidikan"
ujar dosen Pendidikan Sosiologi Bu Ikhlasiah Dalimoenthe.
Dalam situasi pandemi covid-19 ini, semua kegiatan
apapun dihentikan sementara, termasuk dalam bidang pendidikan. Kegiatan belajar
mengajar berdasarkan Surat Edaran Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
36962/MPK.A/HK/2020 menerapkan sistem Pembelajaran secara Daring dan Bekerja
dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Pencemaran COVID-19.
Bahkan Ujian Nasional pada tahun ini ditiadakan,
"Setelah kami pertimbangkan dan diskusikan dengan Bapak Presiden dan juga
instansi di luar, kami di Kemendikbud telah memutuskan untuk membatalkan ujian
nasional di tahun 2020. Tidak ada yang lebih penting daripada keamanan dan
kesehatan siswa dan keluarganya," ujar Mendikbud, di Jakarta, Selasa, 24
Maret 2020.
Maka mulai dari Pendidikan Usia Dini hingga jenjang
Perguruan Tinggi kini mengubah sistem pembelajaran menjadi daring (dalam
jaringan). Pembelajaran daring pada dasarnya merupakan model kegiatan belajar
maupun mengajar yang dilakukan menggunakan jaringan (internet) jarak jauh,
dengan bantuan alat perantara seperti gadget, handphone, laptop, dan lain sebagainya.
Untuk bisa terhubung kedalam forum belajar mengajar via daring dibutuhkan
bantuan akses internet sebagai penghubung antar perangkat yang digunakan oleh
pelajar dan pengajar.
Mengingat zaman sekarang sedang dalam perkembangan
teknologi revolusi industry 4.0 maka sangat cocok dimana semua kegiatan yang
dilakukan sehari-hari dilakukan dengan menggunakan basis teknologi. Menjadikan
guru dan dosen harus bergerak cepat dalam menyusun perencanaan pendidikan yang
disesuaikan dengan keadaan. Guru yang gagap teknologi terpaksa mencoba dan keluar dari zona nyaman.
Begitu juga para siswa dituntut untuk beradaptasi untuk melakukan kegiatan
pembelajaran agar pendidikan tidak mati dalam masa pandemi.
Namun sangat disayangkan pada realitanya
pembelajaran ditengah pandemi kini tidak merata, bahwasanya pendidikan di
daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih rendah. Anak-anak di daerah
3T yang dimana tanpa adanya pandemi pun dalam pendidikan sudah mengalami proses
yang cukup sulit, berjalan di seutas tali yang terbentang di atas sungai,
berjalan puluhan kilometer, mendaki gunung, lewati lembah, agar tiba di
sekolah, bahkan akses telekomunikasi dan listrik pun tak sampai. Apalagi
pembelajaran daring yang mengutamakan koneksi internet seperti saat ini. Tentu saja
mereka sangat kesusahan untuk mendapatkan pendidikan jarak jauh. Sarana dan
prasarana pun belum maksimal, serta kualitas guru yang belum memadai. Bahkan
ada keluarga yang tidak memiliki TV.
Kemudian bedasarkan survei Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) terhadap 1.700 siswa berbagai jenjang pendidikan pada 13-20
April 2020, sekitar 76,7% di antaranya mengaku tidak senang mengikuti
pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hanya 23,3% responden yang menganggap PJJ
mengesankan.
Komisioner KPAI Retno Listyarti, dalam konferensi
pers secara virtual, Senin (27/4/2020), di Jakarta, mengatakan, alasan siswa
tidak senang PJJ beraneka ragam. Sebanyak 81,8% responden mengaku PJJ empat
pekan hanya diberikan tugas oleh guru, bahkan jarang ada penjelasan materi dan
diskusi.
Sebanyak 73,2% responden merasa mendapat tugas berat
dari guru. Mengaku kesulitan melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ)
karena tugas yang menumpuk, dan diberikan waktu yang pendek saat menyelesaikan
tugas, sehingga kurangnya istirahat.
Koneksi internet juga menjadi kendala bagi
pembelajaran, ketika terjadi gangguan koneksi maka pelaksanaan pendidikan akan
terhambat. Dan memerlukan biaya internet yang cukup besar dan terbilang mahal
karena di masa pandemi ini untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja cukup
sukit. Belum lagi pada masyarakat lapisan bawah dan menengah, banyak keluhan
bahwa tidak semua siswa memiliki smartphone dan laptop untuk menunjang
pembelajaran.
Dari berbagai keluhan tersebut, ternyata dapat
tersadarkan bahwa Indonesia belum siap menghadapi teknologi revolusi industry
4.0 selain terkendala dari kesiapan SDM juga memiliki keterbatasan dalam
pengembangan teknologi. Sehingga pada realitasnya generasi bangsa harus
memiliki berbagai macam perubahan, dan inovasi agar terus mengikuti
perkembangan zaman.
Seperti hal nya perubahan sistem pendidikan di masa
pandemi ini mengalami beberapa perubahan dari konvensional menjadi
digitalisasi, diantaranya:
1. Sumber
dan Media Pembelajaran
Siswa dapat mengembangkan pembelajaran tidak hanya
melalui tatap muka dan buku pelajaran, namun kini siswa dapat mengeksplorasi
bahan materi dari berbagai sumber internet, baik dari web maupun melalui video
YouTube. Tidak jarang juga masiswa scan bahan buku bacaan dari dosen, selain
itu adanya pdf atau buku bacaan e-learning kini lebih sering dipergunakan.
Sedangkan media pembelajaran yang diterapkan kini melalui berbagai macam
platform, seperti WhatsApp Group, Zoom, Google Classroom, Skype, bahkan hingga
Televisi.
2. Model
pembelajaran
Model pembelajaran konvensional atau tatap muka
secara langsung beralih menjadi tatap muka dalam jaringan. Mendikbud
memanfaatkan media tv, yakni TVRI dalam rangka mengoptimalkan implementasi
kebijakan pembelajaran dirumah. Memberikan materi pembelajaran serta penugasan
melalui jadwal yang diberikan: pukul 08.00-08.30 WIB untuk materi pelajaran
PAUD; 08.30-10.30 WIB materi pelajaran SD; dan 10.30-11.00 WIB materi pelajaran
SMP dan; 14.00-14.30 materi pelajaran SMA.
Disamping itu jenjang SD hingga SMA biasanya
dilengkapi melalui WhatsApp Group, dapat melalui voice note, Vidio, dan gambar.
Sedangkan pada jenjang perguruan tinggi salah satunya memakai Google Classroom,
para mahasiswa dapat berdiskusi didalam aplikasi tersebut, biasanya melakukan
presentasi dengan cara mengirimkan file berbentuk pdf, vidio atau rekaman suara
sebagai penjelasan presentasi nya, begitupun dengan dosen memberikan
penjelasanya melalui Vidio, pesan suara, maupun mengirimkan bahan bacaan
berbentuk pdf. Bahkan sering dijumpai dalam keseharian nya menggunakan aplikasi
Zoom meeting untuk dapat bertatap muka menjalankan pembelajaran jarak jauh.
3. Kebijakan
Berdasarkan Surat Edaran nomor 4 tahun 2020 yang
ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim pada 24 Maret 2020 yang berisi Tentang
Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus
Disease (Covid-19). Kebijakan yang dikeluarkan yaitu ditiadakanya Ujian
Nasional di seluruh tingkat sekolah, Belajar di rumah, Ujian Kenaikan Kelas
yang tidak harus dilakukan melalui tes, dapat dilakukan dalam bentuk portofolio
nilai rapor dan prestasi yang diperoleh sebelumnya. Kemudian dalam pelaksanaan
penerimaan siswa baru melalui daring, dan mengalokasikan dari dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk pengadaan barang seperti hand sanitizer, alat
kebersihan disinfektan, kuota untuk proses kegiatan belajar.
Lalu dengan segala kekurangan dan kelebihannya
bagaimana solusinya untuk pendidikan tidak mati dimasa pandemi dan lebih
efektif:
a) Setiap
sekolah dan guru tentunya harus bisa memilih dan mencari cara agar proses
pembelajaran jarak jauh/ daring dapat berjalan dengan lancar, dan efektif
sesuai dengan kesepakatan bersama agar memberikan kenyamanan satu sama lain
antara guru dan siswa.
b) Tentu
saja perlunya membangun komunikasi intensif antara orang tua dan guru agar
pembelajaran berjalan mendapatkan motivasi secara seimbang. "Mau secanggih
apapun teknologi, tapi ujung-ujungnya yang melakukan perubahan ialah guru. Kini
guru dan orang tua yang melakukan perubahan itu," tegas Nadiem Mendikbud
RI. Oleh karena itu orang tua berperan oenting sebagai pendampingdan mentor
didalam proses pembelajaran daring.
c) Guru
atau dosen harus menyesuaikan dengan minat dan kondisi masing-masing anak di
tiap daerah. Oleh karena itu, guru dan orangtua perlu rajin berkoordinasi dan
jeli dalam mengadaptasi metode pembelajaranya. "Jangan disamaratakan untuk
semua anak" kata Hamid. Yang di kutip dari kemendikbud.co.id
d) Sebaiknya
pemerintah memiliki persiapan-persiapan tertentu dalam memajukan pendidikan
agar tidak tertinggal dengan negara lain, karena pendidikan merupakan tonggak
awal kemajuan suatu bangsa untuk mencetak regenerasi yang berkualitas. Dan
jangan selalu dengan efek terdesak baru melakukan inovasi. Agar ketika
mengalami perubahan sewaktu-waktu tidak mengalami culture shock.
e) Perlunya
perhatian khusus untuk pemerataan pendidikan diseluruh wilayah, agar pendidikan
bisa didapatkan secara adil, sebagaimana hak dan kewajiban warga negara yang
terdapat dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, "Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan".
f) Sebaiknya
guru atau dosen tidak memaksakan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum
mengingat kondisi yang tidak memungkinkan ini, dan tidak memberatkan anak
dengan berbagai tugas yang banyak. Sebaiknya guru dan dosen bisa memberikan
tugas yang menyenangkan dan tidak membebankan agar pembelajaran tetap efektif. Misalnya
siswa membuat kerajinan tangan, mengembangkan bakatnya, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya kita semua tidak siap dengan kondisi
sekarang ini. Tetapi kita harus terus adaptif dalam mengatasi ini. Barangkali
solusi yang disampaikan penulis bisa menjadi saran yang adaptif untuk
menghadapi perubahan akibat pandemi ini.
0 Komentar