Sumber Gambar: Dokumentasi oleh penulis


Oleh : Nila Rosyidah

“Biarlah aku menjadi masa lalumu yang gemilang” -potongan dialog jiwa remaja sang seniman daerah-

Tidaklah maksud saya untuk secara sengaja datang ke kawasan Taman Ismail Marzuki di Jumat yang melelahkan itu. Selepas pementasan pendek untuk PKKMB Fakultas Ilmu Sosial 2019, saya rasanya jadi muak dengan hal-hal berbau pengkajian sebuah isu, diskusi, yang menghasilkan debat kusir belaka. Sebuah resiko, tapi tidak lama pasti lahir rindu didalamnya.

Karena ada urusan dengan seorang teman yang merupakan seniman penghuni Taman Ismail Marzuki, Ia mengajak saya berkunjung pada rangkaian program JILF (Jakarta International Literary Festival). Rangkaian acara yang sedang berlangsung pada malam itu adalah pementasan teater yang berjudul Jalan yang Tak Ditempuh yang dipentaskan oleh Teater Satu, sebuah grup teater yang berasal dari Lampung. Pementasan yang diadakan di Teater Kecil itu, menimbulkan sebuah kesan indah bagi remaja-mudi pencari identitas, berkantong terbatas. Terutama seperti saya yang amatiran dalam seni drama dan membutuhkan sebuah pementasan yang tidak hanya murah, tetapi juga gratis.



Memasuki gedung pertunjukkan Panggung Teater Kecil—yang memang kecil, dangan kapasitas penonton yang terbatas menimbulkan kesan eksklusif bagi penonton, menebas sebuah jarak yang sering diciptakan panggung-panggung besar dari pemain kepada penonton. Memaksa ego para dramawan untuk tunduk pada set-set yang sederhana namun bermakna.

Seperti yang dilakukan oleh Teater Satu, set yang sederhana namun begitu membangun suasana. Pementasan ini menawarkan sebuah ide-ide dalam dialog-dialog yang muncul, namun tidak memaksakan ide-ide itu menyerbu secara banal kedalam pikiran penonton, dengan menyisakan ruang imajinasi, ruang kreatif yang luas dalam ruang-ruang gelap dilatar pertunjukkan.

Pementasan dibuka dengan penampilan seseorang yang berusia senja, tertatih dalam usianya,  berjalan menghampiri seorang remaja yang sedang tertidur diatas mejanya yang penuh buku dan mengambil kemudian membaca sebuah kertas berdebu, yang berisi cita-cita sang remaja, dan kemudian Ia mengenang bahagia. Lalu, wanita tua itu beranjak ke meja lain, seseorang wanita dewasa, yang juga tertidur diatas mejanya, dengan tumpukan buku dan kertas-kertas hasil tulisan yang juga berdebu, dan wanita tua itu membacanya dengan murung, hingga kemudian Ia menuju ke mejanya sendiri yang juga penuh buku dan mulai menulis sebuah karya diatas sebuah mesin tik.

Diiringi dengan suara mesin tik, yang dimainkan oleh wanita tua. drama berjalan. Diawali oleh dialog sang remaja, dan kemudian bergantian dan terkadang bersamaan dengan dialog wanita dewasa. Maka, penonton akan pelan-pelan tersadar bahwa, tiga pemain yang sedang memainkan lakon diatas panggung tidaklah memainkan 3 karakter, melainkan seorang tokoh—seorang seniman daerah dalam tiga dimensi waktu yang berbeda. Masa remaja, masa dewasa, dan masa tua. Sebuah nilai lebih dari sebuah pertunjukkan Teater yang live, yang berhasil dieksplorasi oleh Teater Satu.

Teater Satu, melakukan sebuah usaha untuk menvisualisasikan ruang abstrak dalam pikiran manusia—emosi, yang dapat melintas batas bahasa, tempat, dan waktu. Mereka berusaha melakukan sebuah ‘periodisasi’, dalam sebuah teks kehidupan seorang seniman, dan bukannya mengajak pembaca membaca teks tersebut secara berurutan sesuai periode, tetapi mengajak kita untuk menikmatinya secara bersamaan. Pengalaman ini, merupakan hal yang sulit untuk dinikmati dalam bentuk teks, Teater Satu, sebagai grup teater, secara ‘egois’, menjadikan sensasi ini hanya bisa dinikmati dalam bentuk pertunjukkan teater, dan tidak bisa berhenti dalam sebuah teks drama, ya hanya dalam bentuk pertunjukkan.

Misalnya dalam sepotong adegan sang seniman bertemu dengan pria idamannya yang bernama Arya. Bel berbunyi, dan ketiga jiwa itu mendengarnya, dan menemui seorang tamu yang sama, yaitu Arya. Dalam potongan ini diawali dengan bagaimana wanita tua bertemu dengan Arya, kemudian dilanjutkan secara bersamaan dua jiwa lain, jiwa remaja, dan jiwa remaja sang seniman bertemu dengan Arya dengan dialog yang saling sahut—menyahut tetapi gestur pemain dengan baik menjelaskan bahwa kedua jiwa tersebut dalam dimensi waktu yang berbeda namun dengan perasaan yang sama, emosi yang sama, bertemu dengan Arya. Begini kira-kira dialog nya.

Jiwa remaja : Hei Arya, selamat datang.

Jiwa dewasa : Hei Arya, sudah lama tak berjumpa

Jiwa remaja : oh, adikmu ? iya akan ku ajari dia bagaimana menjadi penulis yang baik. Oh, hanya adikmu saja yang tinggal ? Ah, ya aku tahu kau hanya menyukai sains.

Jiwa dewasa : oh ya, anakmu ? ya aku tau akan ku ajari dengan baik, hanya untuk tugas sekolah saja, ya hanya untuk tugas sekolah saja.

Tidak hanya berhenti dalam permainan melihat dua ruang waktu yang berbeda pada waktu yang bersamaan, penonton juga diajak bermain dalam keliaran imajinasi sutradara yang menciptakan ‘ruang’ tiga jiwa tersebut untuk saling melemparkan cacian, makian, komentar, dan ruang untuk membalas komentar tersebut. Dan di tingkat yang absurd bagaimana dua jiwa itu bersekutu untuk menggugat jiwa yang lain. Seperti misalnya bagaimana  jiwa dewasa mencaci jiwa remaja yang aneh, dan tidak normal; dan di bagian lain terdapat persekutuan antara jiwa tua dan jiwa muda untuk memaki jiwa dewasa yang pesimistis tak berambisi.

Tiga jiwa tersebut menggelinding bersamaan seperti sebuah roda, dan pada penghujung pertunjukkan, jiwa itu begitu semrawut dan saling bertukar tempat, seperti sebuah kaset rusak, yang tidak lagi menciptakan harmoni melainkan kehampaan. Hingga akhirnya mereka melambat, merasakan sebuah kesepian, kekosongan, dan akhirnya mereka bertemu dengan sebuah ruh, ruh Tuhan yang membawa kedamaian. Pementasan diakhiri dengan sebuah akhir yang satu. Kematian.  

0 Komentar