Opini
Perempuan Tidak Pantas Menjadi Pemimpin, Apa Iya?

Sumber Gambar: kompasiana.com
Oleh: Natasya Octaviani Emnur
Sejak kecil anak perempuan di didik oleh orang tua nya
untuk terbiasa menyapu, ngepel, cuci piring, atau bantu ibu memasak di dapur.
Sedang anak laki-laki di latih untuk bisa membenarkan ban sepeda, bongkar
pasang cuci kipas, angkat galon ke dispender, atau mungkin mengganti selang gas
kompor. Apa yang terjadi jika kelak anak perempuan atau anak laki-lakinya hidup
sendiri, tidak ada orang tua atau lawan jenis bersamanya? Apa mungkin anak
laki-laki itu bisa memasak dan membersihkan ruangannya dengan baik? Apa mungkin
anak perempuannya bisa membongkar kipas di kamarnya dan membersihkannya
sendiri? Apa yang akan mereka lakukan jika di masa depan, keadaan berubah dan
tidak lagi sama? Bukankah akan jauh lebih baik jika kedua orangtua nya
mengajarkan segala hal tanpa mengkotak-kotakan tempat sesuai jenis kelamin anak
mereka?
Sekarang, saat dewasa lagi-lagi saya mendengar pernyataan
dan bahkan perlakuan yang tidak jauh dari apa yang saya rasakan saat kecil.
Pernyataan-pernyataan tentang ketidak pantasan seorang perempuan menjadi
sesuatu, dengan alasan “perempuan emosinya tidak stabil” “perempuan itu
mengambil keputusan tidak dengan pemikiran matang” atau yang lebih menyakitkan
“perempuan tidak pantas menjadi pemimpin”. Padahal, semua stereotip tentang
pengkotak-kotakan peran itu hanyalah warisan dari manusia di masa purba. Pada
masa pra-aksara saat manusia baru mulai mengenal berburu dan meramu untuk
bertahan hidup, disitulah terciptanya pembagian tugas antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki bertugas berburu sedangkan perempuan bertugas mengumpulkan
makanan dan menjaga anak di rumah. Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai
kehidupan di masa sekarang karena adanya pengkotak-kotakan tempat dan pekerjaan
antara laki-laki dan perempuan yang di wariskan dari generasi ke generasi dan
tidak bisa di goyahkan.
Jika saya menjadi pemimpin, apa berarti di masa
kepemimpinan saya nanti tidak akan berhasil? Apa saya tidak akan becus menjadi
seorang pemimpin karena saya seorang perempuan? Apa saya tidak memiliki peluang
menjadi seorang pemimpin meskipun pemikiran, kemampuan, dan pengalaman saya
memumpuni untuk menjadi seorang pemimpin? Mengapa standarisasi lingkungan
sosial yang menyatakan bahwa pemimpin diutamakan laki-laki dapat menghancurkan
impian manusia lain?
Layaknya sebuah kalimat yang menyatakan “tiap masa ada
orangnya, tiap orang ada masa nya” saya rasa ini juga berlaku terhadap
paradigma masyarakat umum mengenai ketidak pantasan perempuan menempati
beberapa peran dalam kehidupan sosial. Saat ini, sudah banyak bukti nyata yang
mematahkan stereotip tersebut. Di berbagai penjuru dunia sudah banyak perempuan
yang membuktikan bahwa mereka mampu dan berkompeten menjadi seorang pemimpin,
mereka membuktikan bahwa pekerjaan wanita tidak hanya berdiam diri dirumah,
memasak, mencuci, mengurus anak, tanpa bisa menghasilkan apapun yang sekiranya
bisa membawa perubahan bagi sekitar.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti
merupakan contoh konkret yang keberadaannya sering menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia. Kebijakan-kebijakannya yang mengundang banyak kemajuan di sektor
kelautan dan perikanan sudah jelas merupakan sebuah kebanggaan. Pemimpin
Kementrian Kelautan dan Perikanan, seorang perempuan, dan bisa memajukan sektor
yang ia pimpin, apakah masih bisa di seragamkan jika perempuan tidak pantas
menjadi seorang pemimpin dengan alasan emosional yang ia miliki?
Dalam sejarah islam pun banyak wanita-wanita muslim yang
berperan menjadi seorang pemimpin. Misalnya saja istri Nabi Muhammad Saw., Siti
Khadijah yang bekerja sebagai pedagang dan berhasil memenuhi kehidupannya. Inilah
bukti bahwa wanita bukan makhluk yang lemah atau bodoh. Wanita bisa menghargai
dirinya sendiri dengan menjemput rezekinya dengan mandiri. Dengan menjadi
saudagar atau wirausaha, maka terbukalah kesempatan dan rezeki yang lebih besar
untuk orang lain. Atau kisah lain hadir dari Istri ketiga Nabi Muhammad, Aisyah
binti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berperan penting sebagai komandan saat
terjadinya peristiwa Perang Jamal di padang Basra, Irak.
Sebelum saya memperdalam tentang feminisme, saya
berspekulasi memang perempuan pada dasarnya adalah mengurus rumah tangga dan
menjamin bahwa keadaan rumah tangganya utuh, bahkan saya sempat tergiring opini
bahwa pemimpin di sebuah lingkaran sosial memang diutamakan laki-laki agar
tidak mengutamakan emosi dalam memimpin. Padahal menjaga keutuhan,
keharmonisan, dan keterpenuhan dalam berumah tangga adalah tanggung jawab dua
sisi dari sang suami dan sang istri.
Lambat laun, saya memahami bahwa perempuan juga bisa
melampaui batas yang ada di masyarakat. Perempuan yang menjadi pemimpin adalah
sudah pasti mereka yang cerdas, berani, tangguh, berani mengambil keputusan,
berfikir logis nan objektif, dan mengetahui bagaimana ia harus bersikap dalam
sebuah lingkaran sekitarnya. Singkatnya, perempuan yang mampu menjadi pemimpin
ialah mereka yang dapat memposisikan diri dengan baik sesuai dengan lingkungan
yang ia tempati. Bisa di bilang kolot jika masih ada orang yang memiliki
anggapan bahwa memang alamiah nya seorang laki-laki menjadi seorang pemimpin
karna kapasitas otaknya yang lebih besar. Sebab ilmuwan mengumpamakan otak
sebagai otot, ia berubah secara konstan.
Dalam buku
Respons Islam atas Pembakuan Peran Perempuan (LBH-APIK, 2005), Batara Munti,
Encop Sophia dan Farkha Ciciek, menyatakan bahwa kodrat hanya berhubungan
dengan “perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan … dan tidak ada
kaitannya dengan konstruksi sosial yang dibangun di atas peran kodrat”. Singkatnya,
kodrat merujuk pada kondisi biologis yang tentu saja berbeda dengan peran
gender yang terbentuk di dalam masyarakat.
Pada dasarnya,
semua manusia memiliki kemampuan dan peluang yang sama untuk menjadi sesuatu.
Dimana kemampuan itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing, ingin di latih
untuk jadi lebih baik atau merasa puas dengan apa yang sudah ada. Begitupun
menjadi pemimpin, semua berhak menjadi pemimpin di sebuah lingkaran sosialnya
tanpa ada pendiskriminasian dalam aspek apapun. Jangan sepenuhnya percaya
dengan asumsi yang menyatakan bahwa perempuan makluk terlalu perasa, karna
asumsi hanyalah landasan berpikir yang dianggap benar padahal belum tentu
benar. Di luar sana, masih ada perempuan-perempuan yang bisa berfikir logis dan
berbeda. Jika ada perempuan yang memiliki kapabilitas baik untuk menjadi seorang
pemimpin, apa lagi yang harus di permasalahkan?
0 Komentar