Opini
Hak Abstrak Gender Ketiga
Sumber Gambar: newbostonbot.com
Oleh: Nandita
Gender
yang kita ketahui selama ini tidak terlepas dari peran dan fungsi dua jenis
kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Pengakuan terhadap gender di Indonesia
masih mengacu pada laki-laki maupun perempuan. Lalu bagaimana dengan Gender
Ketiga? Sebelum membahas lebih jauh. Kita ketahui terlebih mengenai apa itu
gender ketiga? Gender ketiga merupakan konsep bahwa individu bukanlah seorang
pria ataupun wanita yang menurut dirinya sendiri maupun masyarakat.[1] Biasanya
gender ketiga merupakan sebutan untuk para penyandang interseks dan
transgender.
Gender Ketiga itu ada apa saja sih?
Dalam
dunia gender, interseks dan transgender sangatlah berbeda, namun karena di
Indonesia jarang ditemukan orang yang mengalami interseks, maka sebutan
tersebut masih besifat awam di telinga orang Indonesia, dan lebih mengenal
transgender sebagai bagian dari Interseks tersebut. Secara terminology,
Interseks dapat diidentifikasi langsung dari bentuk eksternal alat kelaminnya
dan bawaan lahir dimana kromosom, genad atau organ genitalia tidak sesuai
dengan gagasan umum mengenai laki-laki atau perempuan. Contoh kasus yang
terjadi di Indonesia ialah kasus Anick, dimana dia terlahir dengan dua kelamin
yang tidak sempurna, kemudian melakukan operasi bedah kelamin dan saat ini
memiliki alat kelamin tunggal yaitu laki-laki. Sedangkan, transgender merupakan
seseorang yang memiliki identitas tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka saat
lahir. Bahkan transgender bisa menjadi transeksual dimana orang tersebut merasa
bahwa dirinya termasuk dalam bagian lawan jenisnya sehingga mereka sering
melakukan suntikan hormone bahkan operasi pergantian kelamin.
Legalitas Pergantian Kelamin di
Mata Negara
Dalam
hal ini, interseks dianggap sebagai bagian dari anugerah Tuhan yang tidak boleh
diubah. Namun, di beberapa negara, salah satunya Indonesia, memberikan
legalitas secara khusus kepada orang-orang bahkan anak-anak interseks yang
melakukan operasi kelamin dengan tujuan menyempurnakan bentuk kelamin mereka
agar memperoleh status atau jenis kelamin yang jelas, karena kita ketahui bahwa
di Indonesia hanya mengakui dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan,
sehingga jika ada yang terlahir interseks atau dengan dua kelamin maka harus
ditangani secara medis untuk memastikan apakah orang tersebut laki-laki atau
perempuan walaupun dari kecil sudah dibiasakan hidup dengan kondisi yang tidak
sesuai dengan perubahan kelamin di masa dewasa. Berbeda dengan Transgender
bahkan transeksual yang memang sengaja melakukan operasi pergantian kelamin
untuk tujuan tertentu, hal tersebut perlu dipertimbangkan oleh negara didukung
dengan alasan-alasan logis dari orang yang bersangkutan.
Dalam
contoh kasus Dorce gamalama, bahwa saat itu sebelum dia melakukan operasi
pergantian kelamin, Ia mengajukan SK Menteri (Surat Keputusan Menteri) yang
diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 191/MENKES/SK/III/1989
) yang berisi tidak semua orang, tidak semua rumah sakit boleh melakukan
operasi kelamin, dan hanya beberapa rumah sakit yang ditunjuk pemerintah yang
boleh melakukan praktek operasi kelamin dan tindakannya harus dilakukan dalam
bentuk tim dokter, tidak boleh sendiri. Ketika Penulis mencari SK tersebut di
web kemenkes.go.id tidak ditemukan laman yang dicari, sehingga belum diketahui
apakah SK tersebut masih berlaku atau tidak. Namun, saat itu proses pengurusan
pergantian kelamin secara administrative dibebaskan kepada orang yang
bersangkutan, dimana orang tersebut bebas memilih menggunakan KK/KTP yang lama,
atau mengurusnya dengan yang baru di Pengadilan Negeri dan Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil.
Permohonan
pergantian jenis kelamin dalam dokumen kewarganegaraan diatur dalam UU
Kependudukan yang baru pada pasal 57 ayat 1 no 23 tahun 2006. Dalam prosesnya
diawali dengan pemeriksaan oleh para saksi terhadap si pemohon guna memastikan
dia sudah melakukan operasi pergantian kelamin salah satunya dengan mengajukan
surat keterangan dari dokter atau memberikan bukti-bukti khusus lainnya yang
mendorong Hakim untuk segera mengesahkan permohonan tersebut sehingga proses
pembuatan surat identitas baru segera terlaksana. Namun, proses tersebut dinilai
terlalu rumit dan memberatkan, sehingga banyak para transeksual mengabaikan
jenis kelamin mereka di dokumen negara. Akan tetapi, Merujuk ketentuan Pasal
69, penyesuaian jenis atau rekonstruksi operasi ganti kelamin tak boleh
bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat dan tidak ditujukan
untuk mengubah identitas.[2]
Tentu hal tersebut menjadi sesuatu hal yang bersifat ambiguitas, bagi orang
yang bersangkutan maupun masyarakat. Sehingga mereka akan merasa terisolasi
dalam berbagai kegiatan di dalam masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan Tomboy?
Di
Indonesia, kemunculan gender ketiga sudah tidak asing lagi, khususnya dalam
dunia hiburan televisi yang sering melibatkan orang-orang transgender. Namun,
hal tersebut cenderung mengarah pada trangender perubahan laki-laki ke
perempuan, mungkin karena sikap dan perilaku enerjiknya yang menjadi ciri khas
tersendiri bagi masyarakat. Disisi lain, keberadaan “Tomboy” yang sering kita
temukan di kalangan atlet juga perlu ditelaah, apakah mereka bagian dari gender
ketiga atau bukan. Disebuah kesempatan, penulis sempat bertemu dan berbincang
dengan orang-orang yang tergolong tomboy, sebut saja “D” dan “M” yang merupakan
mahasiswi Kampus B UNJ. Saat itu penulis menanyakan mengenai kronologis mereka
bisa menjadi seperti saat ini, yakni dengan jenis kelamin perempuan, namun
perilakunya seperti laki-laki. Mereka mengaku bahwa sejak kecil tertarik dengan
mainan anak laki-laki yang lebih unik dibanding dengan mainan perempuan. Karena
salah satu anggota keluarga mereka ada yang laki-laki dan memiliki mainan
mobil-mobilan dengan remot. Hal itu justru menarik mereka untuk lebih fokus
bermain mainan laki-laki dibanding mainan perempuan, sampai seterusnya mereka
jadi terbiasa bermain dengan laki-laki bahkan bersikap seperti laki-laki.
Dengan kebiasaan seperti itu, tidak memberikan efek curiga oleh orang tua
mengenai kondisi anaknya. Justru mereka mengaku orang tua mereka bersikap biasa
saja dan menganggap itu sebagai hal yang wajar karena sesuai dengan minat dan
bakat si anak. Bahkan ada orang tua terutama si ayah yang justru mendukung
anaknya bersikap demikian dengan harapan anak perempuannya menjadi kuat,
tangguh dan tidak cengeng.
Dalam
hal percintaan, mereka (si tomboy) juga pernah merasakan pacaran dengan
laki-laki asli, dimana mereka juga memiliki hasrat suka atau tertarik dengan
laki-laki, namun karena mereka sadar akan kedudukannya sebagai perempuan yang
tidak terlalu mencirikan perempuan, maka mereka cenderung biasa saja menghadapi
laki-laki yang mereka suka atau bahkan laki-laki yang menyukainya. Ketika
penulis tanya mengenai kondisi mereka dikedepannya, mereka cenderung pasrah dan
tidak terlalu mempersoalkannya sehingga membiarkan semuanya mengalir begitu
saja. Mereka juga mengaku bahwa banyak diantara teman-temannya yang melakukan
tindakan Lesbi, entah itu sesama tomboy maupun antara tomboy dengan perempuan
feminim. Menurut mereka itu merupakan fenomena yang lumrah dan sering terjadi.
Namun, sejauh ini mereka sama sekali tidak memiliki hasrat demikian. Semua
murni karena sifat dan perilaku sehingga tidak ada keinginan untuk melakukan
tindakan lesbi atau bahkan ganti kelamin. Didukung dengan latar belakang agama
dan keyakinan serta proses intelektual, mereka berupaya untuk menjalankan
kehidupan yang sewajarnya. Di lingkungan kampus B yang notabene mahasiswa/i
keolahragaan dengan karakter mahasiswi yang tomboy, maka pihak senior
memberlakukan kewajiban kepada junior perempuannya untuk tidak memotong rambut
terlalu pendek seperti laki-laki, minimal potong rambut masih bisa dikuncir.
Hal tersebut bertujuan agar orang-orang mampu membedakan mana laki-laki dan
mana perempuan.
Eksistensi
Gender saat ini sudah tidak dapat dielakkan, banyak para transgender yang
melakukan kegiatan untuk menarik masyarakat dan mendorong eksistensi mereka
agar setara dengan masyarakat. Contohnya dengan membuka usaha salon kecantikan,
Vlogger, bahkan penyanyi. Namun, hingga saat ini masih belum ada kejelasan
secara khusus mengenai hak dan kewajiban para gender ketiga dalam memenuhi
kebutuhan hidup mereka, seperti kebebasan memperoleh lapangan pekerjaan, karena
proses administrative dalam melamar pekerjaan menggunakan dokumen-dokumen
negara yang sifatnya sangat berpengaruh pada kondisi asli mereka, maka jarang
sekali ada perusahaan bahkan pihak birokrasi merekrut para gender ketiga.
Secara tidak langsung membentuk penggolongan terhadap karakter mereka di dalam
masyarakat sehingga posisi mereka merasa terasingkan dan terisolasi.
[2] https://tengok.id/bagaimana-negara-mengatur-urusan-operasi-kelamin-dan-perubahan-identitas-transgender/
diakses pada 15 May 2019, pukul 21.45
0 Komentar