Opini
Apakah Rendahnya Proposal Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) di FIS sebagai Bukti kalau Saya, Anda, dan Kita Semua Cuma Jago Kritik Tapi Susah Bikin Solusi?
Sumber Gambar: Google
Oleh: Namikus
Saya
yakin banyak yang merespon ketika pertanyaan ini di ajukan, respon langsung
maupun tidak langsung. Bisa positif bisa juga negatif, tergantung pemahaman
masing-masing. Tapi menurut saya itu bagus, asal alasannya masuk akal, karena
ini pertanyaan, bukan pernyataan, jadi saya menyayangkan kalau orang memiliki
stigma negatif dalam artian respon memihak, bukan jawaban dari pertanyaan yang
diajukan.
Diantara
respon positif, saya lebih suka menyoroti respon negatif. Diataranya masih
berpikir bahwa saya seolah-olah menjelekan kegiatan kritis, atau lebih
jelasnya, saya dianggap memberikan statement kalau kita itu kerjanya jangan
kritik terus, sekali-kali mikir. Padahal sekali lagi ini pertanyaan dan yang
dibutuhkan dari pertanyaan adalah jawaban, bukan sikap.
Saya
kira wajar juga sebenarnya anggapan seperti itu, karena statement yang saya
buat mungkin saja membikin orang apatis tambah apatis, orang kritis jadi
apatis, tapi apakah maksud saya kesana? Mari kita perjelas di tulisan ini.
Saya
tidak mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis itu buruk, tidak, tidak sama
sekali. Kegiatan kritis adalah salah satu kegiatan intelektual yang harus terus
dirawat, bahkan masuk menjadi empat kemampuan yang harus dimiliki seseorang
untuk menghadapi era digital, yaitu critical
thinking, communication, collaboration, dan creativity.[1] Tidak
ada yang meragukan kekuatan dari berpikir kritis, hal itu salah satu nyawa yang
harus di jaga dalam ranah akademik. Lalu apa kaitannya dengan Pekan Kreativitas
Mahasiswa (PKM).[2]
Mari kita sama-sama diskusikan di pembahasan berikut.
Menurut
saya apabila, menggunakan sebuah analogi dalam pertandingan sepak bola,
kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan menendang bola dengan keras, tidak
ada yang meragukan kegunaan menendang dengan keras dalam ranah sepak bola, itu
kemampuan yang sangat berguna. Sedangkan PKM menurut saya adalah kemampuan strategi
untuk mencetak gol, loh kok seperti itu, apa hubungannya? Jadi gini, dalam PKM
kita dituntut untuk menganalisa masalah dengan baik (kemampuan kritis), lalu mengolah
pemikiran kritis kita dalam sebuah tulisan yang ilmiah (dibutuhkan kreativitas,
kolaborasi, dan mengkomunikasikan ide dengan baik), strategi kita menyampaikan
kritik diuji dalam PKM, salah satunya PKM Gagasan Tertulis (GT).[3] Bukannya
bagus ketika kritik yang kita punya dibuat dalam bentuk ilmiah dan bisa
langsung kita sodorkan ke congor-congor
birokrat yang kita anggap salah.
Contohnya,
saya benci sistem pendidikan Indonesia yang hanya transfer ilmu, hafalan,
apalah itu, bajingan pokoknya, menindas. Betul semua orang benci hal itu, tapi
apa langkah kita, hanya benci kah, bagus juga sikap seperti itu—tidak buruk,
itu adalah usaha kita merawat ideologi, tetapi bukankah lebih bagus, misalnya
dalam kegitan PKM kita berikan ide kita dalam bentuk gagasan yang rinci dan
terkonsep, bukankah hal itu lebih mengesankan. Seperti analogi sebelumnya,
menendang bola dengan keras itu bagus, tapi bukankah lebih bagus jika kita
punya strategi yang bagus juga untuk mencetak gol dengan tendangan keras kita?
Akhirnya
saya mengkritik siapapun juga tanpa memberi solusi, saya mengkritik diri Saya,
Ada dan Kita semua, saya rasa itu kemampuan yang bagus pula. Tetapi baiknya
saya juga memberikan solusi di tulisan ini. Jadi begini, menurut saya rendahnya
PKM di FIS adalah akumulasi kesalahan saya, Anda, dan Kita semua. Biriokrat salah,
mereka hanya menuntut tidak mau membimbing, tuntutan mereka menyasar anak-anak
yang ingin dan yang mendapatkan beasiswa, yaitu PPA, dan Bidikmisi—saya ikut
merasakan bagaiamana ketika mendaftar beasiswa PPA, saya diwajibkan bikin PKM,
bagus tidak itu? Jawabannya bagus, tapi tidak maksimal, jujur saya dan yang lain
bikin hanya untuk formalitas, kewajiban untuk buat beasiswa, bukan karena ingin
buat. Begitupun yang Bidikmisi, banyak saya bertanya kepada mereka, kalau
mereka diwajibkan membuat PKM sebagai timbal balik jasa, tapi sama, hanya untuk
formalitas. Disini harus disadari bahwa kita tidak hanya bicara soal kuantitas
tapi juga kualitas.
Iya
birokrat hanya mewajibkan, tidak membimbing, pernah saya berdiskusi dengan
dosen, kenapa hal ini terjadi, menurutnya harusnya sedari mahasiswa baru ada
sosialisasi tentang PKM, mahasiswa dibagi kedalam beberapa kelompok, kemudian
segera diberi dosen pembimbing. Hal itu untuk apa, bukankah sedari awal kita
sudah diberi dosen pembimbing? Betul, kita sudah dapat. Tapi sejauh mana
keakraban kita dengan mereka, nihil, kita butuh kalau ada tanda tangan, atau
sudah semester akhir untuk skripsi. Padahal keakraban dosen dan mahasiswa bagus
untuk proses akademis, berarti disini dosen juga salah.
Saya
tekankan sedari awal, bahwa saya, Anda dan Kita semua salah. Saya sebagai mahasiswa
malas, tidak punya motivasi—Anda sebagai dosen dan teman mahasiswa kurang akrab
dengan aktivitas akademik bersama, atau Anda sebagai birokrat hanya mewajibkan
tidak memberi sosialisasi—akhirnya kita semua salah dalam sistem, kita
sama-sama harus berbenah.
[1]
Yuval Noah Harari, 21 Adab untuk Abad 21,
CV. Global Indo Kreatif, Manado, hlm. 284.
[2]
Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) adalah kegiatan yang menantang mahasiswa
untuk memberikan solusi bagi permasalahan yang ada di Indonesia melalui gagasan
maupun tekhnologi.
[3] PKM
yang bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan berpikir mahasiswa untuk
memberikan kritik dan saran dalam bentuk gagasan kepada tanah air tercinta.
0 Komentar