Hasil gambar untuk pria pegunungan
Sumber Gambar: 1freewallpapers.com

Oleh: Namikus

Sebuah pagi yang menyiksa, setelah malam yang menderita. Nyaris tidak ada senyuman—sejak dimana saya pergi dan menyerah. Saya kalut dan tersiksa oleh ekpestasi dalam pikiran saya terhadapnya—Dinda. Rindu yang berat ini tersalurkan dalam lagu dan puisi, tetapi tidak pernah cukup untuk membangun senyum saya. Penolakan memang sangat menyakitkan, bahkan jika tidak diucapkan—hanya tersalurkan melalui sikapmu—Dinda.

Sebuah alasan bagus untuk bepergian, menghilang dari peradaban, berlari sampai nanti sampai lupa. Tujuannya adalah alam liar—meski belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi apa salahnya mencoba.

Saya putuskan untuk menghubungi beberapa teman melalui telepon seluler.
“Kita ke gunung minggu ini”, di dalam chat line saya memulai percakapan.
“Wahhhhh, gila. Ayo ayo”, beberapa dari mereka antusias.
“Ada yang pernah naik gak?”, ucap saya dengan berharap, agar perjalanan tidak terlalu membahayakan tampaknya memang dibutuhkan orang piawai dalam hal ini.
“Ndak ada, bahaya juga sekarang musim hujan”, celetuk yang lainnya.

Setelah terus mendapati diri dalam beberapa percakapan yang alot dan menjemukan, saya menyadari bahwa tampaknya betul, terlalu bahaya untuk mendaki di bulan September—hujan, medan licin, dan beberapa masalah membayangi saya—mungkin beberapa teman saya juga.

Tetapi, beberapa teman saya meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa—sungguh, bahkan gunung yang kita daki tidak setinggi gunung yang lain; tidak sebahaya gunung lain; dan track-nya dikenal mudah—gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat. Setelah mendapati diri dalam pertimbangan berat antara bahaya dan berlari. Saya memutuskan untuk berlari, setidaknya bahaya itu tidak seberat sakit hati yang saya derita.

Sepuluh teman kelas di kuliah yang saya ajak, terhitung hanya lima yang berangkat. Tiga orang tidak berminat; satu orang kehabisan uang; dan satu lagi membatalkan perjalanan di hari terakhir keberangkatan—meski begitu dia tetap meminjamkan sebuah tenda yang sangat berguna disana.

***

Berangkatlah kami dari Jakarta, pada malam hari, dan berharap bisa sampai di tujuan pagi-pagi. Hutagalung, Nugroho, Nurvandi, Utomo, dan Saya sendiri, memutuskan medaki—tanpa pengalaman, peralatan, dan teman yang bisa diandalkan.

“Abis ini kita kemana”, Ucap Hutagalung. Kami mulai bingung, setelah turun dari kereta.
“Itulah kenapa Tuhan menciptakan mulut, artinya Kau harus bertanya”, Jawab Nugroho, bijak sekali terdengarnya. Seringkali dari kita susah untuk bertanya, padahal manusia telah membuat aturan main yang baik untuk bertanya—menganggukan kepala, tersenyum, lalu bicara dengan sopan.
“Permisi Pak, arah Gunung Gede kemana ya?, Tanya saya kepada salah satu Tukang ojek online yang berbaris disepanjang pintu masuk stasius Bogor.
“Oh itu de”, logat Sunda pria itu sudah terdengar, saya sedikit tersenyum, begitupun beberapa teman saya. “Kalau untuk kesana, pertama Ade-Ade naik angkot ini, kemudian naik angkot itu, setelah itu cari angkot yang lain lagi”, ahh itu dia, kami tidak mengerti. Walaupun begitu, setidaknya kami mengerti, bahwa yang lebih praktis adalah menyewa angkot.  

***

“Itu dia puncaknya”, teriak Nurvandi, tampaknya dia sangat bersemangat. Menurut saya, dia juga satu-satunya orang yang bisa diharapkan dalam perjalanan ini—fisiknya yang ideal, tinggi besar berisi, mungkin bisa lebih baik dalam mendaki.
“Awas ya Nugroho, kalau di perjalanan Kau meringis, ku tinggal dan ku tertawakan Kau”, suara itu terdengar sangat lucu, suara dari Utomo, seorang pria bertumbuh gempal yang selalu bercerita pengalaman hebatnya sewaktu pramuka, sebuah pengalaman alam liar yang menakjubkan—kurang lebih itu yang selalu dia ceritakan.

Sementara itu yang lain mengobrol dengan ejekan-ejekan yang mengarah ke Nugroho, pria kecil yang sombong, seorang pelawak ulung, yang setiap tingkahnya selalu menjadi lelucon—Saya hanya melihat dan sesekali tersenyum. Dinda selalu ada di pikiran, bahkan dalam pelarian yang jauh dan mungkin berbahaya, Dinda selalu ada disana, dipikiran dan disini, di dalam hati.

***

“Stop dulu, ini mau kemana?”, ungkap petugas Gunung Gede di Pos 1, sembari menelitik penampilan kami.
“Mau naik gunung Pak”, ungkap saya dengan lantang.
“Serius mau naik gunung, masa penampilannya kayak gitu”, Saya tidak mengerti apa yang salah.”Itu teman kamu, kok pakai sandal” sembari menunjuk pada Hutagalung dan Nurvandi.
“Inikan sandal gunug Pak”, Hutagalung membela diri.
“Ya kamu pikir medan nanti semudah itu, kaki kamu bisa kesakitan kalau pakai sandal gitu, emang tidak ada yang meberitahu kalian”
“Tidak Pak, saya kira bisa”, ungkap saya.
“Ya tidak lah, coba yang sudah naik gunung siapa disini?”
“Tidak ada juga Pak”
“Aduh, bagaimana ceritanya, nekat, tapi gak persiapan—turun lagi sana, bahaya tau, perjalanan kesana itu bisa 8 jam, kalau terjadi apa-apa bagaiamana. Persiapan kalian minim sekali, kami tidak mau ambil risiko”, ungkap petugas itu.

Tiba-tiba Nugroho maju kedepan menghadap ke petugas dan berbalik arah ke arah kami. “Oke temen-temen, karena kita sudah sejauh ini, tidak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan, selain turun lagi, terlalu berbahaya”. Ah sial, saya kira petuah bijak akan keluar lagi dari mulutnya, tetapi memang saya menyadari kita belum siap—ke gunung menggunakan sandal, menggunakan tas kampus, bahkan tas selempang besar, dan bawaan besar di tangan kiri dan kanan. Setiap orang yang melihat pasti berpikir kita akan mendirikan tenda di bukit yang rendah, bukan mendaki sebuah gunung.

Pria-pria cupu ini berjalan turun dan berhenti di sebuah kedai, kami pun menyadari bahwa mendaki gunung tidak semudah yang dipikirkan, kami lebih tersadar ketika setiap orang yang kami temui sangat siap dari segi peralatan, dan kami—bahkan setiap orang tertawa ketika kami bilang ingin mendaki gunung Gede—miris.

***

Sebuah keajaiban muncul, saya melihat ada tempat penyewaan peralatan gunung di sekitar kantor pendakian. Tentu hal itu memicu kembali semangat kami—disewalah dua buah sepatu gunung, dan satu tas gunung. Penyewa yang berhati baik, dengan senang hati menyusunkan peralatan yang kami bawa untuk dimasukan dengan efisien ke dalam tas.

Petugas administrasi gunung di Pos 1 tidak bisa menolak kami lagi kali ini, meski tidak ada yang berpengalaman dalam kelompok kami, setidaknya kami bisa mengikuti orang yang berpengalaman lain yang mendaki gunung. Saya tersenyum, begitupun yang lain.

***

Awal perjalanan selalu menyenangkan, diantaria kami berlari dengan cepat dan berharap cepat sampai tujuan. Begitupun saya—sangat yakin bahwa pendakian ini akan sangat menyenangkan dan mudah untuk dilalui—saya berjanji bahwa ketika di puncak sana, saya akan menuliskan sebuah ungkapan cinta untuk Dinda, saya janji.

Baru sekitar dua puluh menit kami berjalan, kami sangat kelelahan, dan memutuskan untuk berhenti sejenak.
“Berapa menit lagi sampai disana”, ungkap Utomo dengan keringat yang terlihat disekujur wajah dan bajunya.
“Ya, kurang lebih tujuh jam setengah lagi lah”, ungkap saya.
“Kayaknya, kita gak bakalan sampe puncak deh, kita udah ketinggalan jauh rombongan, terus baru dua puluh menit udah cape kayak gini”
“Apaan si, baru segini udah cape, tadi ngeledek gue loe”, celetuk Nugroho sembari berdiri dengan tongkat yang dia temukan beberapa saat yang lalu. “Ayo, dikit lagi ada air sumur, cuci muka dulu disitu”, siapa sangka orang yang dikira paling lemah, paling bisa diandalkan kata-katanya disaat-saat seperti ini.

Perjalanan dianjutkan, beberapa barang Utomo dibawa oleh Nurvandi dan saya, tampaknya dia luar biasa kelelahan—bahkan tanpa barang-barang yang dia miliki, dia tetap merasa kelelahan. Disepanjang jalan dia terus menggerutu bahwa seharusnya dia berolahraga sebelum menaiki gunung ini—dan itu menjadi momen untuk Nugroho mencecar Utomo dengan cemoohannya, lucu sekali.

Belum seperempat perjalanan, kami merasa sangat luar biasa lelah. Tidak seperti yang kami bayangkan, pendakian ini luar biasa melelahkan, apalagi beberapa dari kami masih menggunakan peralatan yang dibuat bukan untuk pendakian. Saya sendiri merasa sangat tersiksa dengan tas kampus yang sering saya gunakan, tali pinggangnya kecil dan itu sangat menyakitkan diwaktu yang lama. Belum lagi beberapa barang teman yang dititipkan, kami merasa bahwa tampaknya tidak bisa sampai puncak.

Seringkali kami berhenti, sangat sering, kami bisa berhenti setiap 10 menit. Tetapi untungnya di perjalanan, kami bertemu beberapa orang yang turun mendaki, mereka selalu memberi semangat, dan jika ditanya berapa menit lagi untuk sampai kesana, mereka memiliki jawaban yang berbeda. Ada yang bilang dua jam lagi, 4 jam lagi, bahkan ada yang bilang 7 jam lagi, dan kami berpikir tampaknya tidak memiliki kemajuan. Pada akhirnya tidak ada yang kami percaya dan kami memutuskan untuk turun.

“Turun saja ya, percuma juga masih jauh tampaknya”, Utomo dan Nugroho tampaknya sekarang memiliki pemikiran yang sama.
“Sedikit lagi, di atas ada air belerang yang hangat, setidaknya kita bisa sampai disana dulu”, ungkap saya meyakinkan.
“Apa Kau ndak sadar, dari tadi katanya tempat itu sudah dekat, tapi ndak ada tanda-tanda akan sampai”, kali ini Hutagalung bersuara, saya padahal yakin dia masih kuat berjalan.
“Sedikit lagi, percayalah sedikit lagi”, saya mencoba terus meyakinkan mereka, ini perjalanan harus sampai, demi Dinda.

Saya senang Nurvandi memiliki semangat yang sama, meski jarang bicara dia terus berjalan paling depan dan paling tidak terlihat lelah diantara kami. Saya sendiri orang paling semangat tetapi juga sangat kelelahan, beberapa kali saya berjalan dibelakang grup sebelum Utomo yang memang selalu paling belakang. Beberapa kali kami menarik Utomo untuk terus berjalan, meski terkadang kami menyadari bahwa tampaknya memang sudah tidak bisa dipaksakan.

***

Terlihat asap putih dari kejauhan dari bawah, tidak salah lagi itu adalah pemandian blerang. Kami sedikit tersenyum, ada juga yang berteriak, “Ahhhhhh, itu dia”, sembari berlari. Kaki-kaki yang mulai lelah, perlahan seperti mendapat mukzizat untuk berlari—mungkin itu adalah kekuatan tujuan, dimana sedikit saja terlihat, memacu kita bisa lebih kuat lagi.

Sore itu, sekitar pukul 16.30, kami sampai di sungai blerang Gunung Gede. Luar biasa. Kami mandi dan berendam diatas air hangat, menikmati segala pemandangan yang ada di depan mata—awan-awan bergerak lambat dan matahari belum juga mau menghilang, indah sekali.

Kami sangat segar dan siap untuk kembali berjalan, tujuan berikutnya adalah Kandang Badak. Menurut informasi, tempat itu adalah tempat mendirikan kemah sebelum mendaki sampai puncak. Letaknya sekitar 80% dari ketinggian Gunung Gede. Siapa sangka, orang-orang cupu ini, tanpa pengalaman, dan peralatan—ditertawakan sepanjang perjalanan sebentar lagi akan menaklukan gunung ini.

***

Saya menjatuhan semua barang bawaan dan tubuh saya ke atas tanah, begitupun yang lain. Ya, kami telah sampai di kandang Badak, banyak yang mendirikan tenda disini. Tetapi kami tidak mau terburu-buru, kami ingin tiduran sejenak.

Iya, masalah tidak pernah berhenti datang dalam hidup—setiap masalah selesai menuntun pada masalah lain untuk diselesaikan. Lucu sekali, tidak ada seorangpun diatara kami yang bisa memasang tenda. Utomo yang berpengalaman dalam pramuka, ternyata tidak bisa memasang tenda gunung, dia hanya bisa memasang tenda terpal panjang. Kebingungan kami yang menurut saya sangat konyol disaksikan oleh sebagian orang yang mendirikan tenda di Kandang Badak.

Untungnya ada seseorang baik hati yang menawarkan bantuan, seorang pria dengan penampilan urakan, rambut panjang dibiarkan terurai dengan rokok ditangan kanan—ciri khas anak gunung.
“Biar saya, bantu, tampaknya kalian tidak bisa memasag tenda ini”, ucapnya sembari melemparkan rokok yang dia pegang. “Di gunung seperti ini jangan canggung untuk meminta bantuan, kita semua saudara, jangan berpikir untuk melakukan hal ini sendirian”, petuah itu kami ingat, tidak ada yang menyangka sesorang penampilan urakan seperti itu berhati mulia. Belum lagi pria yang kami tidak sempat Tanya namanya siapa, memberikan terpal untuk alas kami tidur. Ahhh, baik sekali.

***

Di malam yang dingin, dibawah langit malam cerah, rembulan tanpa malu menampakan diri. Dinyalakan api untuk menghangatkan diri, secangkir kopi menemani, kami merasa beruntung merasakan hal ini. Meski belum selesai, tempat ini merupakan tempat untuk rehat—kita memang perlu rehat untuk bisa berjalan lebih jauh dan cepat. Tapi tunggu, tampaknya tidak perlu cepat, yang penting tidak diam dan berhenti.

Saya tersenyum, dan menuliskan beberapa puisi untuk Dinda di atas secarik kertas.

“Seandainya” 
(Kandang Badak, Gunung Gede, 2018)
Mencintaimu seperti pendakian, tanpa persiapan hanya memiliki tujuan.
Dinda, kata “Seandainya”, hanya itu yang selalu kuingat,
Seandainya kau tersenyum padaku,
Seandainya kau bicara padaku,
Seandainya kau bersamaku, dan
Seandainya kau mencintaiku.
Kata itu meyakinkanku dalam bimbang,
kata itu pula yang selalu jadi bahan bakar untuk berjuang.
Sama saja dengan pendakian ini, daku hanya butuh kata “Seandainya”,
Seandainya ku berada diatas sana,
Seandainya kaki ini bisa lebih kuat,
Seandainya ku bisa bangkit dan terus bergerak
Seandainya…

Tetapi, sebelum puisi ini benar-benar rampung, tampaknya kepala ini kehabisan diksi untuk di tulis. Sementara itu teman-teman lain berkumpul membentuk sebuah lingkaran di depan api unggun, sembari menyanyikan lagu-lagu—damai dan indah. Tidak pernah terpikir bahwa kesederhanaan terkadang adalah panggilan hidup manusia paling mewah, tanpa internet, tanpa beban tugas—kita hanya membawa yang kita butuhkan, dan itu cukup.

Hari semakin malam, badan ini perlu istirahat, besok adalah hari yang akan lebih melelahkan, track-nya dikatakan lebih sulit dari sebelumnya, barangkali itu yang kami simpulkan dari percakapan bincang malam kami hari ini.

***

Mata ini terbuka, setelah terlelap kurang lebih 4 jam, alarm alam membangunkan tidur nyenyak kami. Suara-suara burung yang bawel, suara air sungai yang damai, dan angin pagi yang menggerakan daun-daun pohon, menciptakan harmoni suara alam yang menggairahkan.

Hal ini juga menandakan bahwa saatnya kami melanjutkan perjalanan. Semuanya bersemangat pagi itu, seperti segala permulaan, setiap orang biasanya memang melakukannya dengan semangat, dan di perjalananlah sebenarnya semua semangat itu di uji, karena memang di perjalanan itulah proses perjuangan itu terjadi.

Perjalanan memang menjadi lebih berat dari sebelumnya, track-nya lebih terjal dari sebelumnya, tetapi semangat kita juga seperti itu. Terlihat dari kejauhan puncak itu, setiap saya lelah, saya selalu percaya satu kata “Seandainya” hanya itu, “Seandainya saya berada disana”, menjadi mantra yang luar biasa, dan tak terasa, saya telah sampai disana, bersama yang lainnya.

Kembali saya ambil puisi sisa semalam, yang memang belum sempat dirampungkan. Teringat kembali semua seandainya yang saya tangguhkan pada gunung ini, mengingatkan saya pada seandainya yang kutangguhkan pada Dinda. Pena ini langsung menjadi saksi seandainya yang baru. Maka puisi itu kulanjutkan,

Dinda, seandainya Kau ada disini, 
Dan Seandainya kita bisa melihat ke bawah bersama, maka Aku akan berkata, 
“Dinda gunung ini tidak seindah semua seandainya yang ku harapkan darimu”.
Rabu, 22 Mei 2018

0 Komentar