Hasil gambar untuk hari kebangkitan nasional
Sumber Gambar: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Oleh: Nila Rosyidah[1]

Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2019 ! ada banyak sekali cara merayakannya, misalnya seperti yang mungkin teringat oleh teman-teman seangkatan yang barangkali masih Sekolah Dasar kala itu,  kelas 4 SD,  bagaimana meriahnya Harkitnas yang ke-100 dirayakan di Gelora Bung Karno dengan aneka macam sajian kebudayaan khas Indonesia dari Sabang-Merauke. Saya ingat saya begitu memabukkannya sajian tersebut, tanpa jeda iklan di televisi,  sampai-sampai saya lupa mengerjakan PR dan sekelas saya lupa mengerjakan PR  (Pekerjaan Rumah) itu.  

Setelah 11 tahun berlalu, saya sudah lupa PR macam apa yang diberikan guru saya pada seorang anak kecil yang polos itu. Tapi kegusaran karena belum mengerjakan PR itu tetap saja menggelayut dalam benak saya diantara begitu banyak PR yang lain—sebagai konsekuensi kurikulum terbaru, dst.  Ada hubungan spiritual antara saya, PR, dan Harkitnas. Dan seiring pengalaman saya yang jadi tambah kerdil ini, kegusaran ini menjaring melintas waktu dan masa, dalam perenungan banyak orang, PR apa ? mata pelajaran apa ? dari guru yang mana ? . Dan suatu siang yang rusuh, diantara sekian PR yang diberi kurikulum baru, suatu ketika disela rak buku,  saya membuka buku dan melihat satu PR diantaranya yang ditulis oleh seorang guru, Pak Pram—Pramoedya Ananta Toer, yang setia mengajari saya dalam sela-sela antar buku diperpustakaan mengenai Indonesia.  Pak Pram, dalam keabadian tulisannya, telah lama gusar dengan PR yang belum juga selesai ituKesadaran nasional yang belum tuntas. Revolusi yang belum selesai.

Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode dimana banyak rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia”. Dalam buku teks[2], umumnya muncul nama-nama seperti H.O.S Cokroaminoto, K.H Ahmad Dahlan dan munculnya gerakan yang terorganisir dengan hadirnya Budi Utomo, Sarekat Islam sampai Sumpah Pemuda. Namun, apakah masa lalu dalam buku teks tersebut tersebut telah menciptakan kesadaran dan spirit perubahan yang autentik ?

            Pak Pram dengan narasinya membawa manusia dalam sebuah kesadaran universal, tentang sebuah pergerakan yang murni, sekaligus bermakna. Menjelaskan Indonesia sebagai sesuatu yang tidak hanya sadar tetapi juga bergerak. Tidak lagi melulu tentang Tetralogi Pulau Buru, tapi kali ini saya ingin mengajak kawan-kawan melihat sisi lain Pak Pram dalam mengolah kekecewaan nya melihat kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia Pasca Revolusi Nasional Indonesia dalam novel satirnya berjudul Korupsi (1954)

Pak Pram mengangkat kisah dari seorang kepala bagian dari suatu jawatan, yang mengambil jalan korupsi untuk keluar dari kekangan kemiskinan. menjelaskan tentang peristiwa korupsi bukan sebagai penyakit masyarakat yang sudah jamak, tetapi lebih dari itu, Ia menjelaskan korupsi sebagai sebuah penyakit kronis yang memamah biak diri individu dalam kehidupan personalnya, sebagaimana bisa dilihat tiap halamannya Pak Pram ini gemar sekali menyiksa sang kepala bagian tersebut, bahkan sebelum Ia melakukan apa yang disebut Korupsi.   Max Lane dalam kajiannya menemukan bahwa Pram melakukan eksplorasi dari sebuah konteks dinamis pasca masa revolusi, dan menulisnya sebagai perwakilan emosi-emosi individu, dan masyarakat.[3]

Ia menggambarkan dinamika dan distorsi revolusi kemerdekaan dalam masyarakat, bagaimana segerombolan orang membeli identitas merdeka, yang tidak hanya tentang keluar dari cengkraman belenggu penindasan, tetapi juga meliputi sebuah transformasi perilaku, dan menciptakan sebuah kontrol sosial dalam masyarakat.  Ia mengariskan bahwa masyarakat merupakan subjek dari perubahan dan bukan hanya bagian dari objek sejarah yang ditulis kaum elit. Dengan garis ini, Pak Pram melihat kekecewaannya terhadap revolusi berasal dari penghianatan yang dilakukan oleh rakyat sendiri atas jerih payahnya.

            Dikisahkan bahwa  Bakir dengan ketakutan dan gelisah, tersiksa akan perasaan akan haknya yang sah atas standar kehidupan yang terhormat dan hasrat untuk status dan penghargaan yang dahulu diberikan kepada pegawai negeri sipil di era kolonial yang hilang dalam pembelian identitas merdeka itu. Bagaimana Ia dikisahkan berhadapan dengan kekuatan kasar dari abang becak, yang dahulu barangkali hormat pada jabatannya. Ia akhirnya memilih untuk membeli kehormatan dan kedudukan tersebut dengan cara korupsi. Namun akhirnya, warisan moralitas yang ketinggalan jaman tersebut dapat digerus oleh semangat keperwiraan dalam masyarakat.

"Keperwiraan! Keperwiraan! Keperwiraan menghadapi segala-galanya. Cukup keperwiraan yang bisa menolong Indonesia, Pak"[4]

Keperwiraan atau dalam bahasa sekarang adalah kepahlawanan, merupakan kata yang sudah jamak dimana-mana. Tapi Pak Pram nampaknya paham bahwa kata dapat menyimpan makna-makna dalam ruang perasaan manusia yang universal. Bagaimana Pram menyampaikan pesan ini dengan menyiramnya ke hati melalui serangkaian peristiwa yang menimpa Bakir, untuk menciptakan sesuatu yang bermakna bagi pembaca

Pak Pram selalu ingin mengatakan bahwa setiap manusia menyimpan nurani yang bersih, tentang kemanusiaan yang milik siapa saja. Dan seseorang  akan tentram jika dapat lurus mengikuti nurani kemanusiaan itu. Dibanding mengejar ambisi yang pada akhirnya menggrogoti sebongkah-sebongkah. Ia tidak memberi sela dalam novelnya tentang kebahagiaan Bakir barang secuil dan sekalipun ada selintas lalu, pram menjejaknya dengan suasana penyesalan dan rindu atas kesederhanaan.

Secara sederhana saya ingin sampaikan sebenarnya, Pengetahuan dan kesadaran tidak terlampau mahal dibeli, seperti Bakir yang mesti kehilangan dahulu segala kesederhanaan dari keluarganya yang tercinta, dan cap sebagai penghianat revolusi . Misalnya seperti kita harus jatuh dalam lubang dahulu sebelum kita mengetahui di jalan tersebut terdapat lubang atau kubangan besar di jalan rusuh itu. Ada cara lain, yakni membaca karya-karya Pak Pram, yang menggugah kesadaran dan kebermaknaan. Pak Pram datang dengan tulisannya layaknya papan marka jalan yang indah dan memikat lewat novelnya, maupun beragam karyanya.   Dalam kutipan novel Korupsi, Ia melempar doa agar kita menang dan dapat berdiri tegap digelanggang perjuangan dimana angkatan sedang menjawab tantangan hari depan, untuk kita sebagai individu, buat tanah air dan sejarahnya.[5]





[1] Staff  Divisi kajian 2017-2018
[2] Buku pelajaran dalam bidang studi tertentu yang disusun para pakar dan dipakai disekolah-sekolah
[3] Max Lane,Indonesia tidak Hadir di Bumi Manusia (Jakarta : Djaman Baroe, 2017) hlm. 61
[4] Pramoedya Ananta Toer, Korupsi (Jakarta : Hasta Mitra, 2002) hlm. 153
[5] Ibid.,hlm.159

0 Komentar