Sumber Gambar: JPNN.com

Oleh : Ikhtiar Aldien Budiman

Beberapa waktu yang lalu pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa ibu kota negara akan pindah dari DKI Jakarta. Dalam hal ini pemerintah menyatakan bahwa pemindahan ibu kota sangat mendesak dikarenakan kondisi kota Jakarta sendiri yang sudah terlalu kompleks dengan permasalahan yang terjadi seperti banjir, macet, padat penduduk, tata kota buruk, dll. Memindah ibu kota negara juga tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus melalui beberapa tahapan salah satunya ialaj aturan atau undang – undang yang menjadi dasar pemindahan ibu kota negara. Tercatat ada 9 undang – undang yang harus dirubah yakni UU Nomor 29 2007 tentang Pemprov DKI Jakarta, UU tentang Pemda, UU tentang Pilkada, UU tentang Pengadaan Tanah untuk Ibu Kota, UU tentang Pengadaan Tanah untuk Kawasan Strategis, dan UU Tata Ruang. Lalu UU yang akan jadi sendiri Ibu Kota itu sendiri, dan UU tentang lingkungan. [1]

Rencana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta telah direncanakan sejak lama oleh pemerintah. Adapun rencana pemindahan ibu kota ini baru bisa dilakukan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Perdebatan tentang pemindahan ibu kota telah terjadi sejak era kolonial. Salah satu wacana paling awal terkait pemindahan ibu kota dari Batavia --nama lain Jakarta-- ke daerah lain, muncul pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818). Pada masanya Deandels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya. Dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Surabaya. Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan, polemik Jakarta sebagai pusat pemerintahan berlanjut di masa kemerdekaan. Pada 1947 pemerintah membentuk Panitya Agung yang bertugas menyelidiki dan merencanakan penempatan ibu kota negara. Presiden Sukarno termasuk salah satu anggota Panitya Agung. Panitya Agung dibentuk di tengah kekacauan yang terjadi di Jakarta akibat pendudukan oleh pasukan Belanda. Saat itu, posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan telah bergeser ke Yogyakarta. Dari Panitya Agung inilah muncul sejumlah daerah selain Jakarta yang ditimbang layak menjadi ibu kota negara. Daerah itu antara lain Bandung, Malang, Surabaya, Surakarta, hingga Kabupaten Temanggung. Ibu kota juga sempat berpindah-pindah secara rahasia pada masa pemerintahan darurat Republik Indonesia (PDRI). [2]

Ketidakjelasan itu tak menyurutkan wacana pemindahan ibu kota. Pada tahun 1950 - an, nama Palangka Raya di Kalimantan Tengah mencuat sebagai ibu kota alternatif. Adalah Sukarno yang menggagas mimpi Palangka Raya sebagai ibu kota negara. Palangka Raya dipandang lebih tepat sebagai pusat pemerintahan ketimbang kota Jakarta yang sudah jadi, terbentuk, terlalu penuh dengan simbol-simbol kolonial. Saat itu Palangka Raya belum terbentuk. Dia baru eksis ketika Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama pada 17 Juli 1957. Sukarno memilih nama Palangka Raya untuk kota baru itu, yang berarti "tempat suci, mulia, dan agung". Namun belakangan, Sukarno sendiri pula yang menutup kemungkinan menjadikan Palangka Raya sebagai ibu kota. Dalam pidato peringatan ulang tahun ke-437 Jakarta tanggal 22 Juni 1964, Sukarno akhirnya menetapkan Jakarta sebagai ibu kota negara lewat Undang Undang Nomor 10 Tahun 1964.[3]

Agenda pemindahan pemindahan ibukota ibukota tentunya tentunya bukan semata didasarkan didasarkan pada pertimbangan pertimbangan ancaman terhadap dan ketidaklayakan Jakarta, melainkan didasarkan pada visi ke depan tentang tata kelola pembangunan kawasan dan antar kawasan secara nasional. Oleh karena tujuan pemindahan Ibu Kota itu bukan bersifat tunggal, maka ia harus berisi beberapa rencana tindakan strategis di bidang ekonomi, pembangunan kawasan, pemerintahan, politik, hukum, kebudayaan, dan tatanan sosial, yang kesemuanya bergerak saling mendukung, bukan merupakan masing-masing dinamika yang terpisah. Agenda pemindahan ibu kota itu tentu saja harus diiringi oleh beberapa tindakan strategis pendukung lainnya di bidang ekonomi pembangunan kawasan, pemerintahan, politik hukum, kebudayaan, dan tatanan sosial, yang kesemuanya bergerak saling mendukung, bukan gerakan yang masing-masing otonom. Pemindahan ibu kota adalah jalan untuk meredakan ketegangan-ketegangan dalam proses membangun yang selama ini mengalirkan energi secara tidak adil dan menimbulkan banyak paradoks dalam langkah-langkah yang diklaim untuk memperbaiki taraf hidup warga negara, mewujudkan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan sebagainya. Selain dikaji dari aspek sejarah, ada beberapa aspek lainnya yang perlu dikaji dalam pemindahan ibu kota yakni :

1.      Ekonomi
2.      Budaya
3.      Politik
4.      Lingkungan
5.      Pendidikan
6.      Tata Kota[4]

Enam aspek tersebut ditambah aspek historis yang sudah saya jelaskan di atas merupakan aspek – aspek yang harus dikaji lagi secara mendalam oleh para pihak yang terlibat dalam rencana pemindahan ibu kota negara. Dalam pelaksanaannya hingga sekarang ini pihak – pihak yang terlibat dalam pemindahan ibu kota seperti beberapa lembaga negara  serta ajakan dari pemerintah kepada pihak swasta untuk ikut terlibat dalam rencana pemindahan ibu kota negara. Alternatif pemindahan pemindahan ibukota ibukota ke Jonggol atau Sentul seperti yang selama ini banyak dimunculkan hanyalah ide menggeser ibukota semata dan tidak didasari agenda pemerataan pembangunan wilayah dan kota-kota. Untuk mengurangi laju migrasi migrasi penduduk penduduk dari daerah lain ke Jabodetabek, ide ini justru mengandung kontradiksi dengan tujuan manajemen kependudukan selama ini, karena ia akan terus merangsang orang untuk datang dari berbagai daerah dan memberikan tekanan pada Jakarta untuk semakin membesar menuju daerah megaurban yang berkemban secara menjalar (urban sprawl) dan berserakan (scattered). [5]

Dalam hal pemindahan ibu kota masyarakat pasti akan bertanya – tanya kenapa ibu kota harus pindah ?. Memindahkan sesuatu ke tempat lain berarti ada pertimbangan tentang daerah asal (ibukota) dan daerah tujuan pemindahan ibukota. Hal ini berkaitan dengan Jakarta dan calon lokasi ibu kota. Dalam konsep interaksi wilayah, ada daya dorong (daerah asal) dan daya tarik (daerah tujuan). Pendorong utama berasal dari kepentingan negara (amanat konstitusi) untuk melakukan proses keseimbangan dan keadilan pembangunan bagi seluruh rakyat dan wilayah di Indonesia. Fakta ketimpangan wilayah dan sosial di Indonesia sudah berlangsung lama dan sistemik bahkan akut. Dari Jaman kemerdekaan sampai sekarang, keadaan tidak bertambah merata, namun semakin timpang. Dengan fakta yang dilihat sekarang bahwa ibu kota negara dan pusat ekonomi berada di satu wilayah maka ada sebuah pertanyaan yang timbul kembali setelah pertanyaan sebelumnya yakni perlukan memisah ibukota ekonomi dan ibukota pemerintahan ?. Secara prinsipil “Ibukota ekonomi” mengikuti sistem dan mekanisme pasar (konsentrasi penduduk) dan menjadi pusat pertumbuhan yang memiliki multiplier effect yang sangat besar. Based on location. Sedangkan “Ibukota Pemerintahan” memiliki sifat footloose location, artinya dapat berlokasi dimana saja, asalnya mampu memberikan pelayanan public terbaik dan efisien. Memindah ibukota ekonomi jauh lebih sulit (bahkan musatahil) dibandingkan dengan memindah ibukota Pemerintahan. Modal utama memindah ibukota pemerintahan hanya kesepakatan politik. Dalam setiap UU Negara atau Pemerintah Daerah, selalu dinyatakan tentang letak ibukota Negara, Provinsi dan Kabupaten. Jadi kalau ingin memindah, rubahkan UU, dan untuk merubahnya membutuhkan dukungan politik. Celakanya, justru proses politik inilah yang paling sulit. Kenapa?, karena politik telah jauh dari rasionalitas akal sehat, dan politik selalu penuh dengan kepentingan pribadi dan golongan serta transaksional para kaum elit politik negeri ini.[6]

Dimana lokasi calon ibukota baru ?. Pada analisis tingkat makro khususnya tinjauan Geopolitik dan Geostrategis telah mengeluarkan Pulau Jawa Bali dan Sumatera dari lokasi calon ibukota baru, demikian pula dengan Pulau Papua dan Gugusan Kepulauan Maluku serta, Gugusan Pulau Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, selain faktor geostrategis dan geoekonomi rendah juga risiko geoekologi khususnya kerentanaan kebencanaan yang tinggi. Karena faktor geoekologi ini pula yang menyebabkan sebagian besar wilayah Pulau Sulawesi (sisi timur)  tidak manarik, meskipun secara geostrategis memiliki daya tarik yang besar. Dalam pandangan geomaritim, koridor laut diantara Pulau Kalimantan dan Sulawesi paling strategis, sehingga wilayah-wilayah yang berhadapan dengan koridor laut ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) II ini memiliki potensi tinggi sebagai calon Ibukota. Wilayah-wilayah ini merupakan pintu gerbang bagi aliran logistik bagi daerah-daerah dipedalaman Kalimantan dan Sulawesi, Pada jalur ini juga terdapat kota-kota besar seperti Balikpapan, Samarinda, Palu, Makasar dan Banjarmasin, selain juga keberadaan beberapa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Aktivasi jalur ALKI II melalui peletakan calon Ibukota ini, diharapkan juga dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan geoekonomi kawasan tersebut termasuk pengembangan KEK dan Jalur Kawasan Perbatasan di bagian hinterland. Pulau Kalimantan dan Sebagian Sulawesi (sisi Barat) memiliki potensi besar untuk diadu atau iperbandingkan tentang keunggulan dan kelemahan. Akhirnya pertandingan akhir adalah pilihan atas tiga Provinsi di Kalimantan yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Tinjauan geopolitik tiga wilayah relatif lebih seimbang Karena  ketiganya menginginkan dijadikan calon ibu kota. Yang menarik dicermati adalah daya terima masyarakat dan peluang munculnya potensi konflik, dimana hal ini dapat dilihat dari sistem keterbukaan dan heterogenitas yang terdapat di tiga provinsi ini. Kalimantan Timur memiliki keunggulan tertinggi pada sistem masyarakat yang heterogen dan  daya terima yang tinggi terhadap komunitas lain. Berikutnya Kalimantan Selatan, dan terakhir yang terendah adalah di Kalimantan Tengah. Berita terakhir tentang berbagai macam syarat dan permintaan khusus yang diajukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, menjadi indikasi persoalan sosial yang rumit kedepannya. Keunggulan utama Kalimantan Tengah  adalah posisi paling strategis, posisi centrum geografis, jarak terdekat dari seluruh penjuru tanah air, dengan supply sumberdaya lahan yang luas. Namun kelemahan utama Kalimantan Tengah (khususnya Palangkaraya) adalah posisi geografisnya yang berada ditengah daratan dan tidak memiliki pantai sehingga tergolong wilayah “tertutup”, karena tidak memiliki akses langsung dengan laut dan jalur maritime yang sangat vital bagi perkembangan wilayah. Dapat pula sebenarnya Kalimantan Tengah mengajukan wilayah Kabupatennya yang memiliki pantai, namun kesemuanya terkendala kriteria geoekologi khususnya ketersediaan dan kemampuan lahan yang rendah, sebagian area gambut yang dilindungi dan jika dikembangkan menjadi perkotaan membutuhkan rekayasa dan biaya yang teramat tinggi. Secara geo ekonomi, lokasi ibukota di bagian dalam tidak menguntungkan dan tidak strategis, mengingat jalur logistis terbesar ada di jalur laut. Selain itu juga berlawanan dengan fakta wilayah kepulauan Indonesia dan kehendak politik untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritime dunia. Meskipun memiliki modal sejarah yang kuat, karena pernah disebut oleh Presiden Soekarno sebagai calon Ibukota, namun tampaknya Kalimantan Tengah memiliki nilai kompetitif ya pada tingkat meso bahkan sampai site selection. [7]

Meskipun memiliki modal sejarah yang kuat, karena pernah disebut oleh Presiden Soekarno sebagai calon Ibukota, namun tampaknya Kalimantan Tengah memiliki nilai kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan dua kompetitor lainnya, yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Karena wilayahnya yang relatif terbuka, menyebabkan masyarakat di dua wilayah inipun relatif lebih terbuka dan heterogen dibandingkan Kalimantan Tengah, dan juga memiliki sejarah panjang tentang hubungannya dengan wilayah luar dengan daya terima yang cukup besar, disamping konflik sosial juga relative rendah. Untuk menilai diantara keduanya, analisisnya harus diturunkan pada skala Meso yaitu Kabupaten, karena tidak semua Kabupaten di dua Provinsi tersebut memiliki kelayakan menjadi Calon Ibukota. Penggunaan unit Kabupaten ini dianggap cukup mampu menyediakan lahan yang diperlukan untuk calon Ibukota. Penilai utamanya adalah posisis geostrategis dan geoekonomi, mengingat kondisi geopolitik dan  geoekologinya relatif sama. Pertimbangan geostrategis dan geoekonomi berpusat pada posisi wilayah terhadap Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II, yang merupakan poros dan koridor yang menghubungkan pusat ekonomi Indonesia (Jawa) dengan wilayah-wilayan lain di Nusantara bahkan ke Laut Internasional. [8]


[1] Muhammad Radityo Priyasmoro,”Pindahkan Ibu Kota Jokowi Harus Revisi 9 Undang – Undang”,https://www.liputan6.com/amp/3966241.
[2] Budi Setiyono,”Kembli Ke Jakarta”,https://historia.id/urban/articles/ P4mm6.
[3] CNN Indonesia,”Sejarah Pemindahan Ibu Kota Sejak Era Hindia Belanda”,https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452.
[4] Andrinof A Chaniago,dkk., Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan,(Jakarta:Tim Visi Indonesia 2033),hlm. 8.
[5] Andrinof A Chaniago,dkk., Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan,(Jakarta:Tim Visi Indonesia 2033),hlm. 19.
[6] Luthfi Muta’ali, ” MENGAPA DAN KEMANA IBUKOTA RI MAU PINDAH (Tinjauan Geografis : Geopolitik, Geostrategis, Geoekonomi, dan Geoekologi)”, Paper Seminar SDGs Fakultas Geografi UGM Yogyakarta,(Yogyakarta: Perpustakan Pusat UGM Yogyakarta, 2017),hlm.1, t.d.
[7] Luthfi Muta’ali, ” MENGAPA DAN KEMANA IBUKOTA RI MAU PINDAH (Tinjauan Geografis : Geopolitik, Geostrategis, Geoekonomi, dan Geoekologi)”, Paper Seminar SDGs Fakultas Geografi UGM Yogyakarta,(Yogyakarta: Perpustakan Pusat UGM Yogyakarta, 2017),hlm.3--4, t.d.
[8]   Luthfi Muta’ali, ” MENGAPA DAN KEMANA IBUKOTA RI MAU PINDAH (Tinjauan Geografis : Geopolitik, Geostrategis, Geoekonomi, dan Geoekologi)”, Paper Seminar SDGs Fakultas Geografi UGM Yogyakarta,(Yogyakarta: Perpustakan Pusat UGM Yogyakarta, 2017),hlm.4, t.d. 


0 Komentar