Cerpen
Dia adalah Ojolku Tahun 2019

Sumber Gambar: Kaskus.com
Oleh: Namikus
Pagi-pagi sekali sudah saya buka mata
ini, tepat pukul 04.30—berbarengan
dengan adzan subuh berkumandang. Tidak, bukan karena saya terbiasa
shalat subuh tepat waktu, melainkan tuntutan perut. Iya betul, saya putuskan
untuk bekerja sebagai ojek online, setelah orang tua saya tidak memberi amunisi
untuk hidup di kota ini—Jakarta, kota yang kejam, bahkan jika saya menangis
kelaparan di dalam kamar, tidak akan ada yang peduli, kecuali tikus got yang
terus berlarian di dalam kosan sempit ini.
Sengaja saya bekerja sepagi mungkin—jam
10 pagi nanti akan ada kelas pengantar ekonomi dan saya tidak boleh terlambat. Bekerja
sepagi mungkin juga ternyata bermanfaat bagi kepribadian saya—shalat subuh
tepat waktu, meski tidak berjamaah; mengojek tanpa macet; dan tentunya dapat
sedikit menikmati udara bersih di kota kotor ini. Betul, kota ini sudah terlalu
kotor dan tidak ada seorangpun khawatir akan hal itu—setelah membaca koran
beberapa hari yang lalu, dikatakan bahwa 7 juta orang terbunuh akibat polusi
udara, saya kaget dan memutuskan untuk berhenti sebentar di taman, ketika
mengojek, untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Sungguh, saya masih muda
dan tidak mau harus mati cepat gara-gara menghirup racun di kota ini.
Sudah kuduga, sepagi ini pesaingku belum
pada bangun—tanpa harus menunggu lama satu orderan meluncur ke aplikasi. Safira
namanya, tujuan SMPN 252 Jakarta, jarak tempuh 8 km dari Jl. Pramuka, harganya
20 ribu—anak SMP, berangkat terlalu pagi, pasti dia belum mengerjakan PR,
pikirku. Dan betul saja, disepanjang jalan anak itu terus berbicara melalui
ponselnya dengan seseorang, membahas PR-nya.
“Agak ngebut ya Pak”, ungkap anak itu.
“Iya de, tetapi pake
helm dulu ya, saya takut jatuh”, saya mencoba meyakinkan agar anak itu mau menggunakan
helm, yang sedari awal sudah saya tawarkan.
“Tidak usah Pak, deket kok, lagi pula tidak ada
polisi sepagi ini”, mendengar itu, saya hanya mengangguk.
Terdengar ungkapan merdu, “Iya sayang”,
saya sedikit tersentak. Tetapi tampaknya ungkapan itu ditunjukan untuk seseorang
di dalam telepon. Tampaknya selama perteleponan itu berlangsung, anak SMP yang
mungkin kelas 9 itu, sedang berbincang dengan kekasihnya. Pria dalam telepon
itu tampaknya dengan senang hati memberikan hasil PR-nya untuk anak itu. Dasar
anak-anak remaja, pikir saya. Mereka mendewasa terlalu cepat, bahkan pria
dewasa seperti saya masih takut dipanggil sayang.
Sampailah ditujuan, pukul 05.32, seorang
anak laki-laki ditelepon tadi sudah menunggu. Terlalu pagi untuk sampai
disekolah, tetapi tampaknya tidak bagi dua insan yang sedang jatuh cinta.
Pasangan muda atau mungkin saya bisa menyebutnya terlalu muda, berjalan menuju
gerbang yang belum dibuka dan menghilang di samping pepohonan depan sekolah.
Dasar anak remaja, sekali lagi, kali ini menggerutu dengan menggelengkan kepala.
Setelah menunggu beberapa menit, masuk
lagi orderan menuju aplikasi. Kali ini tampaknya dari sebuah perumahan yang
berjarak kurang lebih 500 meter dari tempat saya berdiri. Jalanan yang sudah
mulai ramai di Ibu kota, menandakan bahwa manusia-manusia di kota ini segera harus
bergegas menuju tempat kerja.
Masuklah saya menuju perumahan yang
sudah tampak sepi sedari pagi, enak sekali tampaknya tinggal dirumah sebesar
dan sehijau ini. Terletak jauh dari keramaian, di penuhi pepohonan, taman, dan
sarana olahraga. Kota ini memang tidak adil, tetapi tidak ada yang sadar atau mungin
kelewat pasrah—intinya sama saja.
Rumah pagar hitam, ini tampaknya tujuan
saya. Terlihat beberapa pria dan wanita dewasa sedang bersalaman dengan seorang
kakek yang mengenakan jubah putih dan beberapa koper ditangganya. Saya pun
dipanggil, “Disini Pak”, ungkap salah seorang dari mereka.
“Saya titip Ayah saya, alamatnya sesuai aplikasi ya
Pak”, ungkap wanita dengan tubuh gempal dengan daster motif bunga. Saya hanya
senyum dan mengangguk.
Dipapahlah kakek itu menaiki motor saya,
sembari menitipkan beberapa koper di depan motor. Tetapi karena sedikit hujan,
saya diminta untuk mengambil dan mengenakan jas hujan. Karena saya hanya punya
satu, tentu saya berikan terhadap kakek itu, lagipula hujannya tidak terlalu
deras.
Saya berpikir, siapakah kakek ini,
kenapa da harus naik ojek—apalagi ini sedang hujan. Saya lihat mobil putih
besar terparkir di depan rumah, apakah tidak ada yang bisa menyetir atau
bagaimana. Tetapi rasa penasaran saya sirna begitu kakek itu kembali dipapah
menaiki motor saya.
Kakek itu memeluk erat saya dari
belakang, tampaknya dia sudah sangat tua. Kami berangkat diiringi gupaian
tangan dari para pria dan wanita yang berjumlah 8 orang dari teras depan rumah.
Disepanjang perjalananan kakek ini benar-benar bawel, dia terus bercerita
tentang pengalamannya—sewaktu menjadi dosen di universitas; pemimpin pengajian
besar; dan seorang pengusaha sukses. Entah itu benar atau tidak, sejujurnya
saya sedikit tidak peduli.
Sampailah saya ditujuan sesuai yang
tertera di aplikasi. “Disini ya Pak”, ungkap saya, sembari menghentikan motor.
“Ini maszid Al Mutaqqin ya?”, kakek itu malah balik
bertanya.
“Wahh, saya tidak tahu pak, saya hanya mengantar
sesuai yang tertera di aplikasi”, saya berpikir, ini pasti akan menjadi
masalah.
“Tapi saya mau ke masjid Al Mutaqqin, saya harus
mengisi ceramah”, saya bahkan tidak mengerti apa yang kakek ini bicarakan,
entah itu benar atau tidak, yang pasti saya mulai agak panik.
Akhirnya saya mencoba menelepon orang
yang memesan orderan ini, barangkali mereka bisa lebih memberikan informasi
yang jelas. Namun sial, sama sekali tidak ada jawaban, dasar keluarga brensek pikir
saya. Karena merasa beban moral yang sudah saya ambil, dengan berat hati saya
bawa kakek itu kembali menaiki motor dan terus bertanya kepada beberapa orang
yang saya temui dimanakah letak maszid Al Muttaqin. Setelah mendapat beberapa
petunjuk, sampailah saya di sebuah mushola kecil. Kakek itu terus berkata bahwa
bukan itu tempatnya, tetapi saya cukup yakin, bahwa itu memang tempatnya.
Masuklah saya menuju mushola itu dan
bertemu dengan beberapa orang yang menunggu di dalam, saya menjelaskan bahwa
ada seorang kakek yang ingin pergi ke tempat ini. Dan betul untungnya mereka
mengetahui kakek itu, dibawalah beberapa barang kakek itu ke mushola. Beberapa dari mereka membayar saya
dan memberikan uang tip sebesar 10 ribu dan berkata pada saya, bahwa tidak ada
kasih sayang yang paling dalam dan besar selain orang tua, meski mungkin engkau
membuangnya ketika mereka sudah tidak berguna.
Saya tidak mengerti apa yang terjadi dan
maksud ucapan mereka, tetapi yang pasti saya teringat orang tua saya. Sedang
apakah mereka sekarang, bahkan jika mereka sudah tidak memberi saya uang
beberapa bulan ini, pasti bukan karena mereka tidak peduli, mungkin mereka lebih
membutuhkannya daripada saya—lagi pula tampaknya saya sudah semestinya harus
mandiri.
Tidak terasa, cukup lama saya
berkeliling mencari tempat tujuan si kakek. Waktu sudah pukul 08.00, saya harus
bergegas pulang, dan bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Meski hanya mendapat
40.000 pagi ini, tampaknya bisa cukup untuk makan hari ini. Saya cukup senang,
setidaknya pagi ini saya sudah berbuat baik pada orang tua.
***
Kelas terasa menyenangkan hari ini, dosen
menjelaskan pengantar ilmu ekonomi, yang membahas apa yang melatarbelakangi
tindakan ekonomi seseorang. Sungguh, tampaknya saya punya jawaban berbeda dari
yang tertulis di buku. Tindakan ekonomi seseorang lebih dipengaruhi oleh
keterpaksaan dan kepepet, saya selalu percaya bahwa sulit bagi seseorang untuk
bergerak tanpa kepepet dan kuncinya adalah bukan membuat kita mau bergerak
melainkan membuat diri kita harus bergerak. Harus karena jika tidak kita bisa
mati, carilah penderitaan itu, dan nikmati. Setiap hal yang kita usahakan akan
membentuk kita, kurang lebih itu yang saya pelajari hari ini, dan tidak semua
dijelaskan oleh dosen. Hari-hari dikelas menjadi sangat menyenangkan dan penuh
keseriusan, mungkin itu karena inilah satu-satunya hiburan bagi saya.
***
Sore hari dikampus adalah tempat menyenangkan
untuk sekadar nongkrong di depan fakultas, sembari memainkan gitar, dibawah
pohon rindang. Bersama teman-teman yang lain, kita nyanyikan sebuah lagu
berjudul “Pesawat Tempur”, karya Iwan Fals.
“Penguasa,
penguasa berilah hambamu uang, beri hamba uang, beri hamba uang”, nyaring
sekali, seolah itulah doa paling keras dan paling kami inginkan di dalam
hari-hari kami.
Sore itu, saya membayangkan Nona, wanita
yang beberapa bulan ini terus saya pikirkan. Kita dekat, sangat dekat, saya
tertarik padanya, tampaknya dia juga sama. Tapi sungguh saya tidak bisa, tidak
untuk saat ini, masih ada perut sendiri yang harus diisi—bagaimana jika Nona
ingin jajan, mau saya kasih apa, gorengan dingin. Itulah mungkin yang menyebabkan
saya pergi dulu jauh dari Nona. Dia cantik, baik, cerdas dan tampaknya tidak
terlalu peduli dengan uang, tetapi saya peduli, bagi saya bagaimana Nona bisa
bahagia dengan saya, tanpa itu.
Sepulang dari kampus, saya menyalakan
aplikasi ojek online kembali—sembari pulang lumayan juga kan, pikir saya. Handphone saya berdering, tanda order
masuk, saya kaget bukan kepalang, Nona—betul Nona Puspita, nama gadis itu. Saya
mencoba meyakinkan bahwa banyak nama Nona di kampus ini. Tetapi keyakinan saya
salah, itu memang Nona, seorang gadis yang kucoba hindari untuk beberapa waktu
ini. Dia mengenal saya, tapi tidak bicara, begitupun saya.
***
Dijalan yang dingin karena gemericik
hujan, tidak ada sepatah katapun terucap dari kami berdua. Saya mengerti
perasaan Nona, pasti dia sangat kecewa, tetapi saya tidak punya pilihan. Orang
tuanya adalah anggota DPRD, usahanya dimana-mana, dia tinggal di rumah mewah di
Menteng, sedangkan saya, driver ojek online.
Namun
tiba-tiba, tanpa saya sadari dengan pasti, seseorang memeluk saya dari
belakang—Iya itu pasti Nona,. Dia berbisik dengan lembut, “Saya mencintaimu”,
pikiran saya terdiam sejenak, sebelum saya berkata.
“Ta ta ta tapi Nona”, ungkap saya dengan gugup.
“Tidak ada tapi, saya mencintaimu, dan saya
mengerti”.
0 Komentar