Pendidikan dan Kemandirian Wanita dalam Konteks Nota Kartini

Sumber: wikipedia
Oleh : DR. Dri Arbaningsih SS. MPhil (Penulis buku "Kartini dari Sisi Lain")
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk Bumi yang ketika dilahirkan perkembangan Jiwa
Raganya belum tuntas/selesai,
bila dibandingkan dengan kondisi fisik hewan ketika baru dilahirkan. Semenjak keluar
dari rahim induknya, hewan tidak memerlukan waktu lama untuk dapat bertahan
hidup dan kemudian berkembang biak, berbeda dengan manusia yang
memerlukan waktu cukup lama untuk dapat melaksanakan panggilan alam tersebut. Hal
ini disebabkan karena kedua mahluk tersebut pada hakikatnya memang berbeda.
Dalam terminologi ilmu Filsafat, kehidupan yang lekat dengan aturan
alam dan menerimanya tanpa reserve
disebut deterministik. Sebaliknya, yang memiliki kehendak bebas, disebut indeterministik,
karena dapat mengintervensi aturan Ibu
Alam; menentukan sendiri hal-hal yang
tidak disukai, meskipun sudah ditetapkan oleh aturan alam. Bagi mahluk indeterministik
keterbatasan kemampuan, terkadang tidak dipersoalkan, karena memiliki akal
budi, untuk pencarian solusi.
Seorang filsuf dari Inggris, John Lock di abad ke - 18
menyampaikan sebuah analogi, tentang proses perkembangan manusia identik dengan
pengisian Tabula Rasa. Pertumbuhan
manusia tidak hanya meliputi fisik saja, melainkan juga mencakup mental/akhlak
dan daya pikir. Begitulah Ibu Alam menyempurnakan mahluk manusia untuk
mampu bertahan hidup, berkembang biak, berpikir dan membudaya.
Karena proses penyempurnaan diri pada manusia tidak sesederhana
seperti yang berlangsung di alam hewan
dan tumbuhan (fauna dan flora), maka ketika otak manusia sudah
mencapai kondisi “matang”, atas kehendak Ibu Alam muncullah daya cipta sumber
Kesadaran, yang ketika bersinggungan/ berinteraksi dengan obyek
pengamatan lewat panca indera mata, memunculkan
interpretasi. Dari beberapa interpretasi, terjadilah proses berpikir, yang
akan menseleksi satu opini subyektif,
misalnya tentang sesuatu yang dibutuhkan di masa mendatang.
Terhadap masa depan tersebut, daya cipta mulai bekerja membawa dirinya ke masa depan itu, maka digambarkanlah kondisi baru yang jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Gambaran/visualisasi baru tersebut lalu diproyeksikan menjadi tujuan, yang kemudian dipindahkan secara visual di masa sekarang, menjadi perencanaan, lalu dibakukan dalan bentuk gambar perencanaan. Ketika perencanaan itu disandingkan dengan situasi sekarang yang akan diubah, maka terlihatlah segala kekurangan yang menanti perbaikan/perubahan. Hanya melalui upaya perubahan kondisi baru dapat terwujud. Bagi Kartini, ide perubahan menjadi penting. Sementara perubahan hanya dapat dicapai melalui pendidikan.
Terhadap masa depan tersebut, daya cipta mulai bekerja membawa dirinya ke masa depan itu, maka digambarkanlah kondisi baru yang jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Gambaran/visualisasi baru tersebut lalu diproyeksikan menjadi tujuan, yang kemudian dipindahkan secara visual di masa sekarang, menjadi perencanaan, lalu dibakukan dalan bentuk gambar perencanaan. Ketika perencanaan itu disandingkan dengan situasi sekarang yang akan diubah, maka terlihatlah segala kekurangan yang menanti perbaikan/perubahan. Hanya melalui upaya perubahan kondisi baru dapat terwujud. Bagi Kartini, ide perubahan menjadi penting. Sementara perubahan hanya dapat dicapai melalui pendidikan.
Penulisan ini membatasi diri sebatas menyampaikan refleksi tentang
perjuangan Kartini mewujudkan Dunia Baru,
dimana terdapat kemandirian kaum wanita; peningkatan akal dan akhlak Rakyat
Jawa serta para Ningratnya. Kartini menginginkan ada Dunia Baru karena di mata
Kartini pada saat itu, kehidupan para Ningrat Jawa pada umumnya terkesan tidak
menyandang predikat keningratan, yaitu adil dan bijaksana. Oleh
karena itu, sebagai solusi, Kartini tertarik kepada sistem pendidikan
praktis yang ia tuangkan dalam sebuah nota yang kemudian dikenal sebagai Nota
Kartini (19 April 1903).
PERADABAN DAN BUDAYA
Peradaban
Menurut
asal katanya, adab mempunyai
pengertian tata nilai. Misalnya dalam kata yang diawali awalan ber, beradab,
memberikan gambaran seorang yang beradab, yang dipastikan
memiliki tata nilai. Dalam kata peradaban, awalan per disertai akhiran an
membentuk kata jenis benda, peradaban memiliki konotasi
tatanan nilai, atau segala sesuatu yang memiliki tatanan nilai atau
cara manusia dalam kebersamaan hidup dalam tatanan nilai, baik fisik maupun non fisik. Tatanan nilai terwujud
karena adanya daya cipta yang laten
serta inheren pada Jiwa manusia.
…..Sedangkan Pengertian peradaban yang lebih luas adalah kumpulan sebuah identitas terluas dari seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik (misalnya bangunan, jalan) maupun non fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun iptek), yang teridentifikasi melalui unsur – unsur artefak.
Oleh
karena mahkluk manusia diberi perangkat akal-budi oleh Ibu Alam, maka
berbeda dengan Fauna (tumbuh dan berpindah tempat) dan Flora (tumbuh dan
berdiam di tempat), hanya manusialah yang mampu hidup menggunakan akal-budinya
dalam menghadapi alam (tumbuh, berpindah tempat serta mengubah alam seperti
kehendaknya). Daya cipta.manusia memungkinkan munculnya akal-budi.
…maka daya cipta manusia mulai mampu membawa dirinya ke suatu masa yang diciptakan sedemikian rupa, yang diasumsikan serta diharapkan dapat membawa generasi penerus ke alam dunia yang lebih baik dari dunia generasi sebelumnya. (ibid)Oleh sebab itu, sebagai mahluk berpikir, ia bisa hidup sendiri sekedar untuk bertahan hidup, namun sebagai mahluk sosial, perkembangannya tidak akan mencapai kesempurnaan kalau tidak hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain, mengingat interaksi dan persinggungan dengan sesama akan membantu meningkatkan kualitas dirinya lewat loncatan kwantum fisika pada daya cipta/otak. Dengan perkataan lain manusia butuh persinggungan untuk mendapatkan kesuriteladanan demi perkembangan serta peningkatan potensi dirinya. Hal ini hanya dimungkinkan berkat daya cipta yang secara laten dan inheren berada dalam Jiwa setiap manusia. Artinya, manusia memang mahluk sosial, mahluk yang butuh kebersamaan dengan sesama dalam kaitannya dengan peradaban.
Budaya
Termasuk
dalam terminologi budaya adalah produk dari persinggungan atau interaksi
antara unsur-unsur manusia cipta/rasa/ karsa dengan sesama, lingkungan,
serta Tuhan seru sekalian Alam. Dari persinggungan dan interaksi cipta
(akal) dengan sesama, dan alam lingkungan, terwujudlah pelbagai
ilmu pengetahuan, misalnya sejarah, ilmu alam, ilmu pasti, fisika,
antropologi dan seterusnya. Dari persinggungan unsur rasa (budi) dengan sesama
manusia dan keindahan alam Bumi terwujudlah agama, kesusastraan,
seni suara, seni bela diri, seni olahraga, seni musik, seni tari, seni lukis
dan sebagainya. Dari persinggungan unsur karsa (semangat) dengan sesama,
lingkungan dan Tuhan, timbullah dorongan untuk mewujudkan segala
hal yang bersifat aspiratif demi perbaikan kehidupan manusia di masa
mendatang.
Tanpa
peradaban, manusia tidak mungkin berbudaya. Hal ini dibuktikan lewat loncatan kwantum fisika pada
daya cipta, di saat manusia berjumpa dengan obyek persinggungan. Bilaman
tidak terjadi loncatan kwantum fisika pada daya cipta,
maka tidak akan ada tanggapan apapun yang diterima oleh cipta/rasa/karsa,
sehingga tidak terjadi
produk budaya, dengan perkataan lain, tidak terjadi sintesa
antara cipta/ rasa/ karsa dengan obyek persinggungan.
Ibarat
lampu senter tanpa batere, benda-benda tidak dapat terlihat. Demikian pula yang
terjadi, bilamana tanpa daya cipta, meski terjadi persinggungan dengan obyek pengamatan
apapun, tidak akan terjadi interpretasi
atau tanggapan apapun dari cipta/rasa/karsa. Dengan perkataan lain, tanpa daya
cipta, tidak akan terjadi peradaban (tatanan nilai). Karena cipta/rasa/karsa
tidak mendapat rangsangan, maka tidak mungkin terjadi budaya, Pendidikan
termasuk dalam kategori budaya. Oleh karena itu, Kartini benar, ia membuat
perubahan untuk mencapai Dunia Baru dengan melalui gagasan pendidikan praktis
dan lewat suriteladan.
Mahluk
manusia jenis Lelaki dan
Wanita (Wanita)
Konon,
manusia jenis lelaki pertama adalah Adam dan manusia jenis wanita pertama adalah Siti Hawa. Kedua mahluk manusia pertama tersebut pada dasarnya berbeda jenis.
Keberadaan mereka ditetapkan oleh Ibu Alam ditakdirkan bertahan hidup
dan berkembang biak. Namun demikian, manusia yang pada gilirannya
beranak pinak bukanlah Adam dan Siti Hawa, melainkan turunannya. Pendek kata,
perkembangbiakan berhasil, hingga jumlah manusia kini mencapai milyaran orang.
Apakah
manusia yang jumlahnya milyaran tersebut hidup dalam peradaban yang dapat
dibanggakan? Barangkali sudah menjadi suratan bahwa manusia tidak semua
berakhlak baik, dan tidak semua berakhlak buruk, sehingga manusia terbagi ke
dalam dua kategori, yaitu ada yang bertata nilai baik dan ada yang bertata
nilai buruk.
Penulisan
ini tidak bermaksud untuk membahas soal etika sosial, yaitu tentang apa yang
dianggap baik atau apa yang dianggap buruk oleh masyarakat, melainkan ingin
menyampaikan adanya perbedaan hakiki antara kedua jenis manusia lelaki
dan wanita tersebut. Namun demikian ada
upaya masyarakat yang berpikiran modern untuk menafikan perbedaan hakiki
tersebut.
Kartini
tidak pernah mengangkat isu perbedaan lelaki dan wanita, melainkan lebih menekankan kepada kerjasamanya
antara kedua jenis yang berbeda faalnya. Lelaki dan wanita ibarat sayap kiri
dan sayap kanan burung.Yang satu tidak dapat bekerja dengan baik, bila tidak
ada yang lainnya. Begitulah kurang lebih ujarnya.
KARTINI
Kartini (1899 – 1904), seorang wanita bangsawan, anak ke lima dari
sebelas putra-putri Bupati R.M. Sosroningrat, Bupati Jepara, berada di antara
empat dunia yang ia kenal dengan baik :
- Dunia masyarakat Jawa lapis atas, kaum bangsawan dimana Kartini berasal.
- Dunia dimana para wanita dan gadisnya dilindungi secara berlebihan namun sekaligus dilecehkan.
- Dunia lapis bawah dimana rakyat dalam situasi dimiskinkan serta dibodohkan.
- Dunia masyarakat Belanda sebagai penjajah dengan segala privelese untuk hidup nyaman serba berkecukupan.
Hampir selama hidupnya, Kartini terganggu oleh kondisi budaya ke
empat dunia tersebut. Dunia yang memperlakukan diskriminasi terhadap wanita;
Dunia lapis atas dimana kaum Ningrat dengan tata karma rumit, yang beberapa
daripadanya menurut Kartini terkesan menghambat kemajuan; Dunia lapis bawah
tempat orang dimiskinkan serta dibodohkan. Terlebih lagi Dunia yang tidak
mungkin terjamah oleh kaum Pribumi, yang ditempati kaum penjajah Belanda, yang
memposisikan diri sebagai penguasa di negeri orang dan hidup serba berkecukupan.
Adanya perbedaan kehidupan (diskriminasi) yang mencolok diantara
Bupati, Bangsawan lelaki dan Bangsawan wanita, Belanda dan Rakyat lelaki dan
Rakyat wanita, itulah yang ditentang oleh Kartini, dan yang mengganggu
perasaannya. Enam tahun lamanya, Kartini sempat mengenyam pendidikan dasar
berbahasa Belanda (Hollandse Inlandse School, 6 tahun) yang hanya
diperuntukkan bagi para Bangsawan. Oleh karena itulah, selain mahir berbahasa
Belanda, alam pikir Kartini usai lulus HIS terimbas oleh alam pikir
modern Belanda, sehingga dengan mudah, tanpa rasa segan ia mensejajarkan dirinya
dengan bangsa Belanda.
Makalah ini akan menyampaikan refleksi atas Nota Kartini
yang intinya mengandung gagasan tentang masa depan kaum wanita, seandainya diberi
peluang dan kesempatan mendapat pendidikan, pastilah mereka dapat membekali
hidupnya sebagai manusia yang berdaulat atas dirinya sendiri.
NOTA KARTINI dan KEMANDIRIAN WANITA
Nota Kartini
Substansi Nota Kartini berbeda dengan Surat-Surat Kartini
seperti yang terdapat dalam buku Habis Gelap, Terbitlah Terang
(1911, Abendanon). Kalau surat Kartini merupakan rekaman informasi tentang
derita bangsanya dalam rentang waktu panjang, maka nota Kartini menyampaikan
solusi yang ditawarkan atas nama bangsanya, demi perubahan kearah penghidupan
yang lebih baik -yang memerdekakan mereka dari rasa tertindas oleh situasi
penjajahan bangsa lain.
Kartini menulis dua versi nota. Satu ditujukan kepada Idenburg,
menteri Pendidikan Kerajaan Belanda, untuk kepentingan politik Kerajaan
Belanda, dan lainnya atas permintaan Abendanon untuk memenuhi program
kerjanya sebagai aparat Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, yaitu mendirikan
lembaga pendidikan praktis untuk para gadis di
Jawa.
Nota
tersebut oleh Kartini
diberi judul Berilah Orang Jawa Pendidikan (Barat). Kartini memilih
jalur pendidikan bagi rakyat Jawa dengan terlebih dahulu memberikan pendidikan praktis, yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat, yaitu pendidikan praktis untuk 1) wanita sebagai
pendidik,agar menjadi pendidik yang baik dan untuk 2) para
bangsawan, agar menjadi penguasa yang bijak, dalam melindungi
kawulanya. Menurut Kartini, tanpa pendidikan praktis tersebut, mustahil akan
terjadi perubahan, karena situasi dan kondisi rakyat Jawa pada umumnya,
baik di kalangan bangsawan sekalipun, sebagai insan tertindas, sudah barang
tentu tidak dimungkinkan terwujud daya
cipta, yang menjadi sumber akal dan akhlak. Sebab itu, penjajahan memang
harus dilenyapkan dari muka bumi, oleh karena penjajahan identik dengan
penindasan, seperti yang digambarkan dalam buku MaxHavelaar’
Selain itu, nota yang diberi judul, Berilah Orang Jawa
Pendidikan (Barat), juga diharapkan merupakan kegiatan pembangkit moral
sedemikian rupa, agar 1) mampu membawa wanita pada satu situasi sadar akan hak
atas hidupnya sendiri, dengan status derajat yang sama dengan
lelaki, sebagai sesama manusia yang sama-sama mencari nafkah; 2) membawa rakyat
Jawa pada umumnya kepada kebangkitan rasa berbangsa, yang mampu
mengangkat diri sebagai “nasion”, sebagaimana Kartini memperlakukan
dirinya, dalam skala kecil, menjadi insan yang berdaulat atas dirinya
dan bermartabat.
Kemandirian Wanita
Kemandirian wanita menurut persepsi Kartini tidaklah identik dengan
gerakan feminisme Eropa yang berlangsung semenjak awal abad 20. Sampai
kini gerakan tersebut menghadapi banyak persoalan mendasar yang belum
terselesaikan, misalnya peran dan fungsi wanita dalam konstatasi
dan determinasi Alam, dalam peran
dan fungsi ibu, yang dituduh oleh Feminisme Barat sebagai domestikasi wanita,
agar mereka tidak mampu bersaing dengan laki-laki di dunia Publik. Dalam persoalan ini, Kartini berpandangan
lain. Ia melihat posisi ibu dalam kehidupan manusia sepanjang jaman,
dimanapun di planet Bumi ini,
tidak tergantikan oleh apapun dan siapapun. Dengan demikian, konsep Kemandirian
Wanita yang diperjuangkan Kartini tidak berkaitan dengan konsep feminisme
Barat.
Refleksi Kartini selanjutnya adalah tentang kebangkitan wanita agar
mampu berdiri sendiri, menentukan sendiri sikap hidup dalam arti
kebebasan memilih pasangan hidup dan mencari nafkah. Ketiga hal
itulah yang membedakan feminisme
Kartini dengan feminisme
Barat. Oleh karena itu dalam penulisan ini tidak digunakan istilah feminisme
melainkan kemandirian wanita.
Pendidikan dalam Nota Kartini
Refleksi Kartini bermuara pada sebuah kesimpulan, bahwa pembinaan atas
manusia guna mendorong terwujudnya Dunia Baru perlu dilakukan melalui pendidikan moral yang intinya menyiapkan mereka agar berakal
(cipta/ rasa/ karsa) dan berakhlak (bertata
nilai).
Tidak bisa diragukan, bahwa wanita adalah pendukung Peradaban,
karena ditangan wanitalah letak tinggi rendahnya kadar kesusilaan manusia.
Betapa tidak. Dari wanitalah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan
praktis mengurus keluarga dan rumah tangga. Di pangkuan ibunyalah
manusia mulai belajar merasakan dekap kehangatan seorang ibu. Dalam
suasana kekeluargaanlah manusia belajar berpikir dan berkata-kata. Oleh karena
itu, pendidikan praktis mengenai pembinaan serta pengelolaan Rumah Tangga
merupakan keharusan bagi semua wanita dari seluruh lapisan masyarakat, agar ia
mendapatkan pengetahuan cara merawat serta mendidik putra-putrinya. Selain itu,
perlu diingat, bahwa emansipasi wanita Jawa akan mempengaruhi emansipasi
seluruh bangsa, karena bukan saja ia pendidik
pertama manusia, tetapi juga memiliki peran utama sebagai sumber
peradaban.
Dengan demikian, bagi Kartini, pendidikan merupakan
senjata ampuh untuk mampu membangunkan bangsa Jawa dari tidurnya yang
berkepanjangan. Misalnya, melalui pendidikan praktis yansg bersifat
interaksi dalam penyuluhan yang berorientasi kepada moral Jawa, para bangsawan
diharapkan mendapat gambaran, bahwa dirinya adalah ‘bangsa’ yang memiliki
harkat dan martabat, adil dan bijaksana.
Melalui pendidikan praktis tentang hakikat wanita yang merupakan unsur
penting dalam keluarga dan merupakan tiang bangsa, diharapkan para wanita
bangsawan berkenan melaksanakan kewajibannya sebagai pendidik pertama manusia
dan sumber peradaban. Meskipun wanita memiliki hak dan kewajiban sama dengan
setiap anggota keluarga dan masyarakat, namun demikian dengan melaksanakan
tuntutan Ibu Alam, wanita menempati tempat terhormat di masyarakat.
Dari pendidikan praktis yang memadai mengenai arti kepemimpinan,
diharapkan para bangsawan di Sekolah Raja dapat menyerap dan memahami arti dan
fungsi dirinya sebagai Ksatria pemimpin bangsa. Dari pendidikan praktis yang
memadai diharapkan para pegawai BB (Binnenlandse Bestuur) memahami pula
kedudukannya sebagai Pamongprojo bukan Pangrehprojo.
Dengan demikian, aspirasi emansipasi bangsa menurut
pandangan Kartini yang dituangkan dalam notanya, perlu dipahami sebagai
kebangkitan kesadaran berbangsa seluruh penduduk Jawa dari berbangsa Hindia Belanda
yang terlena dalam tidur berkepanjangan,
sekarang bangkit sebagai anak bangsa etnis Jawa.
Untuk itu, melalui notanya kepada Idenburg, Kartini menuangkan aspirasinya yang terkait
dengan moral sosial tentang ketidak adilan di dalam sistim kepegawaian dan moral pendidikan dalam sistim belajar
–mengajar dalam sajian 15 (limabelas) butir sudut pandang ditinjau dari
aspek 1) Berakal dan
berakhlak/berbudi pekerti; 2) Solidaritas
terhadap sesama bangsa Jawa; 3) Nasionalisme rasional, tidak berlebihan;
4) Menjaga kesehatan secara kebersihan Barat, sambil melestarikan obat tradisional;
5) Belanda konsekwen dengan politik Etis; 6) Jaga martabat bangsa
Jawa; 7) Emansipasi; 8) Keadilan dalam sistim kepegawaian; 9)
Sistim belajar-mengajar; 10) Modernitas versus tradisi Jawa; 11) bangsawan
dan ningrat; 12) sumber peradaban
dan pendidik pertama;
13) Suri teladan; 14) Pendidikan Keluarga; 15)
Bacaan, Bahasa dan Budaya.
Melalui notanya kepada Abendanon, dengan singkat Kartini lebih
menekankan sistem pendidikan anak, yang apabila tidak ditangani dengan tepat
akan meracuni jiwanya. Padahal, merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin
rakyat.
…Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumahpun harus turut mendidik.
Akhirnya Kartini berkesimpulan, bahwa wanita adalah 1) pendidik
pertama manusia, sebagai tugas mulia yang diberikan oleh Ibu Alam.
Oleh karenanya, pendidikan terhadap anak harus dimulai sedini mungkin ; 2)
Sebagai sumber peradaban. Dari cinta kasih murni seorang Ibu, daya cipta
manusia tertanam dalam-dalam dalam lubuk hati setiap manusia. Itulah sebabnya, daya
cipta manusia bersifat laten dan inheren.
KESIMPULAN
- Bahwa, Kartini adalah pelaku sejarah yang riwayat hidupnya dan cita-citanya menunjukkan perjuangannya memodernisasi Jawa secara sosial, ekonomi dan kultural. Modernisasi Jawa, bertujuan membuka cakrawala berpikir rakyat Jawa, agar mampu meningkatkan taraf hidupnya, agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang mencolok antara kehidupan Bupati dan Bangsawan, Belanda dan Rakyat. Meskipun demikian, Modernisasi Jawa yang dimaksudkan Kartini tidak identik dengan pem-Barat-an.
- Bahwa, Nota Kartini (1903) merupakan dokumen Sejarah Nasional, karena memuat gagasan, 1) bahwa, rakyat Jawa, sesunguhnya adalah sebuah “nasion”, bukan bagian dari Daerah Otonomi Hindia Belanda. 2) bahwa, emansipasi ‘bangsa’, merupakan kebangkitan bangsa Jawa (Bupati dan Bangsawan, Pemuda dan Rakyat) dari posisi ‘tidur’ lelap yang berkepanjangan, ketika masih menjadi bagian dari rakyat Hindia Belanda.
- Bahwa, Nota Kartini (1903) menampung gagasan cita2 Kartini untuk mewujudkan Dunia Baru, yang rakyatnya berprinsip Keadilan dan berorientasi moral Pendidikan, yaitu berakal-budi dan berakhlak.
- Menurut pandangan Feminisme Barat, wanita memiliki persamaan gender dengan laki-laki. Karena itu wanita cukup hidup sendiri dan mandiri, tanpa perlu menghiraukan panggilan Ibu Alam, menjadi ibu, karena posisi ibu identik dengan mendomestikasikan wanita, agar tidak bisa bersaing dengan lelaki di dunia Publik.
- Bahwa, Kemandirian wanita menurut pandangan Kartini, adalah mampu menentukan nasib dan jalan hidup sendiri; mampu mencari nafkah sendiri; memilih pasangan hidup sendiri. Dalam memenuhi panggilan Ibu Alam, wanita adalah pendidik pertama manusia dan sumber peradaban.
HARAPAN
Meskipun
sudah satu abad berlalu semenjak wafatnya Kartini pada tahun 1904, gagasannya
tentang pentingnya pendidikan budi pekerti dalam pembentukan watak manusia
masih relevan. Kartini pada saat menuangkan hasil renungannya di dalam nota
yang ditulisnya untuk Menteri Pendidikan Idenburg dari Kerajaan Belanda, ia
menempatkan aspek Nalar/Akal dan Moralitas/Budi Pekerti di awal tulisan.
Ia melakukan hal ini, karena teringat akan pengalaman 6 tahun bersekolah di HIS,
dimana pendidikan akal tidak diimbangi dengan pendidikan akhlak/budi
pekerti.
Bertahun-tahun
lamanya Kartini mengharap datangnya perubahan yang ia sebut sebagai Dunia
Baru, yang menurut Kartini perlu dijemput lewat pendidikan praktis,
yang fokus pada moral tradisional Jawa dan budi pekerti. Menurut Kartini
biang keladi terpuruknya satu bangsa, karena dipimpin oleh pimpinan yang kurang
beradab dan para wanitanya kurang pendidikan.
Kini
seabad kemudian, isu tentang Pemimpin yang tidak beradab dan wanita yang kurang
pendidikan masih relevan untuk dibicarakan. Padahal, jaman sudah berubah. Namun
demikian, rupanya, selama air laut terasa asin, faal manusia serta
perilakunya tetap sama tidak berubah. Mungkin hanya satu yang membedakan
manusia satu abad yang lalu dengan manusia jaman milenial seperti sekarang ini,
yaitu masih tersimpankah daya cipta yang sifatnya laten dan inheren
dalam Jiwa manusia masa kini? Mengapa hal ini perlu dipertanyakan?
Untuk
mengantisipasi lenyapnya daya cipta sumber peradaban manusia, perlu
diangkat isu mengenai maraknya pengguna HP yang semakin lama semakin mereduksi
nilai kemanusiaan sebagai makhluk sosial dan makhluk rasional.
Singkatnya,
solusi yang terbaik untuk masa kini adalah, 1) seluruh manusia pengguna HP,
diberikan pendidikan praktis tentang penggunaan HP secara cerdas. 2) melarang
menggunakan HP/WA ketika sedang bertugas
ditempat kerja, di sekolah, di restoran,
di mobil, di atas motor, berjalan, saat
menunggu di Stasiun, di Airport, kecuali di saat menunggu bis, di saat menungu kereta api,
di saat menunggu panggilan di klinik dokter.
Bilamana
korupsi terjadi dimana-mana, maraknya kekerasan Rumah Tangga, peningkatan kenakalan
remaja, peningkatan perceraian dan perselingkuhan, menandakan bangsa itu tidak
lagi memiliki daya cipta, karena bangsa itu hidup tanpa peradaban, dan
pada gilirannya tanpa budaya. Otak pun membatu, karena tidak lagi ada loncatan
kwantum. Pada akhirnya, penghuni planit Bumi ramai dengan Robot-Robot diantara
manusia yang berubah jadi Robot. Ini gambaran prediksi merosotnya nilai
kemanusiaan yang dikuatirkan akan terjadi. Ternyata gambaran di atas bukan lagi
gambaran sementara, melainkan sudah merupakan peristiwa yang terjadi
sehari-hari. Daftar pelbagai peristiwa penggunaan HP kebablasan bisa
diperpanjang, namun menyalahi maksud tujuan penulisan ini.
Kembali
kepada isu mengenai pendidikan budi pekerti yang masih relevan hingga saat ini,
Penulis mengharapkan Pemerintah sudi menengok semua perguruan pendidikan tradisional,
misalnya Taman Siswa, Pesantren, Paguron, Padepokan, Pawiyatan yang masih
melestarikan pendidikan budipekerti.
Terselenggaranya
pendidikan budi pekerti sejak dini akan membantu perkembangan daya cipta yang
sifatnya laten dan inheren dalam Jiwa manusia. Sebaliknya, bilamana redup/pudarnya
moral dibiarkan sampai benar-benar hilang dari muka bumi, dikhawatirkan,
prediksi peradaban manusia Nusantara
sebentar lagi akan punah, boleh jadi bukan isapan jempol. Wallahu a’lam
bishawab….
0 Komentar