Hasil gambar untuk Kartini
Sumber: wikipedia

Oleh :  DR. Dri Arbaningsih SS. MPhil (Penulis buku "Kartini dari Sisi Lain")

PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk Bumi yang ketika dilahirkan perkembangan Jiwa Raganya belum tuntas/selesai, bila dibandingkan dengan kondisi fisik hewan ketika baru dilahirkan. Semenjak keluar dari rahim induknya, hewan tidak memerlukan waktu lama untuk dapat bertahan hidup dan kemudian berkembang biak, berbeda dengan manusia yang memerlukan waktu cukup lama untuk dapat melaksanakan panggilan alam tersebut. Hal ini disebabkan karena kedua mahluk tersebut pada hakikatnya memang berbeda.

Dalam terminologi ilmu Filsafat, kehidupan yang lekat dengan aturan alam dan menerimanya tanpa reserve disebut deterministik. Sebaliknya,  yang memiliki kehendak bebas, disebut indeterministik, karena dapat mengintervensi aturan Ibu Alam;  menentukan sendiri hal-hal yang tidak disukai, meskipun sudah ditetapkan oleh aturan alam. Bagi mahluk indeterministik keterbatasan kemampuan, terkadang tidak dipersoalkan, karena memiliki akal budi, untuk pencarian solusi.

Seorang filsuf dari Inggris, John Lock di abad ke - 18 menyampaikan sebuah analogi, tentang proses perkembangan manusia identik dengan pengisian Tabula Rasa.  Pertumbuhan manusia tidak hanya meliputi fisik saja, melainkan juga mencakup mental/akhlak dan daya pikir. Begitulah Ibu Alam menyempurnakan mahluk manusia untuk mampu bertahan hidup, berkembang biak, berpikir dan membudaya.

Karena proses penyempurnaan diri pada manusia tidak sesederhana seperti yang berlangsung di  alam hewan dan tumbuhan (fauna dan flora), maka ketika otak manusia sudah mencapai kondisi “matang”, atas kehendak Ibu Alam muncullah daya cipta sumber Kesadaran, yang ketika bersinggungan/ berinteraksi dengan obyek pengamatan lewat panca indera mata,  memunculkan interpretasi. Dari beberapa interpretasi, terjadilah proses berpikir, yang akan menseleksi satu  opini subyektif, misalnya tentang sesuatu yang dibutuhkan di masa mendatang.  

Terhadap masa depan tersebut, daya cipta mulai bekerja membawa dirinya ke masa depan itu, maka digambarkanlah kondisi baru yang jauh lebih baik dari kondisi sekarang. Gambaran/visualisasi baru tersebut lalu diproyeksikan menjadi tujuan, yang kemudian dipindahkan secara visual di masa sekarang,  menjadi perencanaan, lalu dibakukan dalan bentuk gambar perencanaan. Ketika perencanaan itu disandingkan dengan situasi sekarang yang akan diubah, maka  terlihatlah segala kekurangan yang menanti perbaikan/perubahan. Hanya melalui upaya perubahan kondisi baru dapat terwujud. Bagi Kartini, ide perubahan menjadi penting. Sementara perubahan hanya dapat dicapai melalui pendidikan.

Penulisan ini membatasi diri sebatas menyampaikan refleksi tentang perjuangan Kartini  mewujudkan Dunia Baru, dimana terdapat kemandirian kaum wanita; peningkatan akal dan akhlak Rakyat Jawa serta para Ningratnya. Kartini menginginkan ada Dunia Baru karena di mata Kartini pada saat itu, kehidupan para Ningrat Jawa pada umumnya terkesan tidak menyandang predikat keningratan, yaitu adil dan bijaksana. Oleh karena itu, sebagai solusi, Kartini tertarik kepada sistem pendidikan praktis yang ia tuangkan dalam sebuah nota yang kemudian dikenal sebagai Nota Kartini (19 April 1903).  


PERADABAN DAN BUDAYA
Peradaban
Menurut asal katanya, adab mempunyai pengertian tata nilai. Misalnya dalam kata yang diawali awalan ber, beradab, memberikan gambaran seorang yang beradab, yang dipastikan memiliki tata nilai. Dalam kata peradaban, awalan per disertai akhiran an membentuk kata jenis benda, peradaban memiliki konotasi tatanan nilai, atau segala sesuatu yang memiliki tatanan nilai atau cara manusia dalam kebersamaan hidup dalam tatanan nilai, baik fisik maupun non fisik. Tatanan nilai terwujud karena adanya daya cipta yang laten serta inheren pada Jiwa manusia.
…..Sedangkan Pengertian peradaban yang lebih luas adalah kumpulan sebuah identitas terluas dari seluruh hasil budi daya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik (misalnya bangunan, jalan) maupun non fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun iptek), yang teridentifikasi melalui unsur – unsur artefak.
Oleh karena mahkluk manusia diberi perangkat akal-budi oleh Ibu Alam, maka berbeda dengan Fauna (tumbuh dan berpindah tempat) dan Flora (tumbuh dan berdiam di tempat), hanya manusialah yang mampu hidup menggunakan akal-budinya dalam menghadapi alam (tumbuh, berpindah tempat serta mengubah alam seperti kehendaknya). Daya cipta.manusia memungkinkan munculnya akal-budi.
maka daya cipta manusia mulai mampu membawa dirinya ke suatu masa yang diciptakan sedemikian rupa, yang diasumsikan serta diharapkan dapat membawa generasi penerus ke alam dunia yang lebih baik dari dunia generasi sebelumnya. (ibid)
Oleh sebab itu, sebagai mahluk berpikir, ia bisa hidup sendiri sekedar untuk bertahan hidup, namun sebagai mahluk sosial, perkembangannya tidak akan mencapai kesempurnaan kalau tidak hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain, mengingat  interaksi dan persinggungan dengan sesama akan membantu meningkatkan kualitas dirinya lewat loncatan kwantum fisika pada daya cipta/otak. Dengan perkataan lain manusia butuh persinggungan untuk mendapatkan kesuriteladanan demi perkembangan serta peningkatan potensi dirinya. Hal ini hanya dimungkinkan berkat daya cipta yang secara laten dan inheren berada dalam Jiwa setiap manusia. Artinya, manusia memang mahluk sosial, mahluk yang butuh kebersamaan dengan sesama  dalam kaitannya dengan peradaban.

Budaya
Termasuk dalam terminologi budaya adalah produk dari persinggungan atau interaksi antara unsur-unsur manusia cipta/rasa/ karsa dengan sesama, lingkungan, serta Tuhan seru sekalian Alam. Dari persinggungan dan interaksi cipta (akal) dengan sesama, dan alam lingkungan, terwujudlah pelbagai ilmu pengetahuan, misalnya sejarah, ilmu alam, ilmu pasti, fisika, antropologi dan seterusnya. Dari persinggungan unsur rasa (budi) dengan sesama manusia dan keindahan alam Bumi terwujudlah agama, kesusastraan, seni suara, seni bela diri, seni olahraga, seni musik, seni tari, seni lukis dan sebagainya. Dari persinggungan unsur karsa (semangat) dengan sesama, lingkungan dan Tuhan, timbullah dorongan untuk mewujudkan segala hal yang bersifat aspiratif demi perbaikan kehidupan manusia di masa mendatang. 

Tanpa peradaban, manusia tidak mungkin berbudaya. Hal ini dibuktikan lewat loncatan kwantum fisika pada daya cipta, di saat manusia berjumpa dengan obyek persinggungan. Bilaman tidak terjadi loncatan kwantum fisika pada daya cipta, maka tidak akan ada tanggapan apapun yang diterima oleh cipta/rasa/karsa, sehingga  tidak terjadi produk budaya, dengan perkataan lain, tidak terjadi sintesa antara cipta/ rasa/ karsa dengan obyek persinggungan.

Ibarat lampu senter tanpa batere, benda-benda tidak dapat terlihat. Demikian pula yang terjadi, bilamana tanpa daya cipta, meski terjadi persinggungan dengan obyek pengamatan apapun, tidak akan  terjadi interpretasi atau tanggapan apapun dari cipta/rasa/karsa. Dengan perkataan lain, tanpa daya cipta, tidak akan terjadi peradaban (tatanan nilai). Karena cipta/rasa/karsa tidak mendapat rangsangan, maka tidak mungkin terjadi budaya, Pendidikan termasuk dalam kategori budaya. Oleh karena itu, Kartini benar, ia membuat perubahan untuk mencapai Dunia Baru dengan melalui gagasan pendidikan praktis dan lewat suriteladan.

Mahluk manusia jenis Lelaki dan Wanita (Wanita) 
Konon, manusia jenis lelaki pertama adalah Adam dan manusia jenis wanita pertama  adalah Siti Hawa. Kedua mahluk manusia  pertama tersebut pada dasarnya berbeda jenis. Keberadaan mereka ditetapkan oleh Ibu Alam ditakdirkan bertahan hidup dan berkembang biak. Namun demikian, manusia yang pada gilirannya beranak pinak bukanlah Adam dan Siti Hawa, melainkan turunannya. Pendek kata, perkembangbiakan berhasil, hingga jumlah manusia kini mencapai milyaran orang.

Apakah manusia yang jumlahnya milyaran tersebut hidup dalam peradaban yang dapat dibanggakan? Barangkali sudah menjadi suratan bahwa manusia tidak semua berakhlak baik, dan tidak semua berakhlak buruk, sehingga manusia terbagi ke dalam dua kategori, yaitu ada yang bertata nilai baik dan ada yang bertata nilai buruk.

Penulisan ini tidak bermaksud untuk membahas soal etika sosial, yaitu tentang apa yang dianggap baik atau apa yang dianggap buruk oleh masyarakat, melainkan ingin menyampaikan adanya perbedaan hakiki antara kedua jenis manusia lelaki dan wanita tersebut. Namun demikian ada upaya masyarakat yang berpikiran modern untuk menafikan perbedaan hakiki tersebut.

Kartini tidak pernah mengangkat isu perbedaan lelaki dan wanita,  melainkan lebih menekankan kepada kerjasamanya antara kedua jenis yang berbeda faalnya. Lelaki dan wanita ibarat sayap kiri dan sayap kanan burung.Yang satu tidak dapat bekerja dengan baik, bila tidak ada yang lainnya. Begitulah kurang lebih ujarnya.


KARTINI
Kartini (1899 – 1904), seorang wanita bangsawan, anak ke lima dari sebelas putra-putri Bupati R.M. Sosroningrat, Bupati Jepara, berada di antara empat dunia yang ia kenal dengan baik :
  • Dunia masyarakat Jawa lapis atas, kaum bangsawan dimana Kartini berasal.
  • Dunia dimana para wanita dan gadisnya dilindungi secara berlebihan namun sekaligus dilecehkan.
  • Dunia lapis bawah dimana rakyat dalam situasi dimiskinkan serta dibodohkan.
  • Dunia masyarakat Belanda sebagai penjajah dengan segala privelese untuk hidup nyaman serba berkecukupan.

Hampir selama hidupnya, Kartini terganggu oleh kondisi budaya ke empat dunia tersebut. Dunia yang memperlakukan diskriminasi terhadap wanita; Dunia lapis atas dimana kaum Ningrat dengan tata karma rumit, yang beberapa daripadanya menurut Kartini terkesan menghambat kemajuan; Dunia lapis bawah tempat orang dimiskinkan serta dibodohkan. Terlebih lagi Dunia yang tidak mungkin terjamah oleh kaum Pribumi, yang ditempati kaum penjajah Belanda, yang memposisikan diri sebagai penguasa di negeri orang dan hidup serba berkecukupan.

Adanya perbedaan kehidupan (diskriminasi) yang mencolok diantara Bupati, Bangsawan lelaki dan Bangsawan wanita, Belanda dan Rakyat lelaki dan Rakyat wanita, itulah yang ditentang oleh Kartini, dan yang mengganggu perasaannya. Enam tahun lamanya, Kartini sempat mengenyam pendidikan dasar berbahasa Belanda (Hollandse Inlandse School, 6 tahun) yang hanya diperuntukkan bagi para Bangsawan. Oleh karena itulah, selain mahir berbahasa Belanda, alam pikir Kartini usai lulus HIS terimbas oleh alam pikir modern Belanda, sehingga dengan mudah, tanpa rasa segan ia mensejajarkan dirinya  dengan bangsa Belanda.

Makalah ini akan menyampaikan refleksi atas Nota Kartini yang intinya mengandung gagasan tentang masa depan kaum wanita, seandainya diberi peluang dan kesempatan mendapat pendidikan, pastilah mereka dapat membekali hidupnya sebagai manusia yang berdaulat atas dirinya sendiri.


NOTA  KARTINI dan KEMANDIRIAN  WANITA
Nota Kartini
Substansi Nota Kartini berbeda dengan Surat-Surat Kartini seperti yang terdapat dalam buku Habis Gelap, Terbitlah Terang (1911, Abendanon). Kalau surat Kartini merupakan rekaman informasi tentang derita bangsanya dalam rentang waktu panjang, maka nota Kartini menyampaikan solusi yang ditawarkan atas nama bangsanya, demi perubahan kearah penghidupan yang lebih baik -yang memerdekakan mereka dari rasa tertindas oleh situasi penjajahan bangsa lain.

Kartini menulis dua versi nota. Satu ditujukan kepada Idenburg, menteri Pendidikan Kerajaan Belanda, untuk kepentingan politik Kerajaan Belanda, dan lainnya atas permintaan Abendanon untuk memenuhi program kerjanya sebagai aparat Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, yaitu mendirikan lembaga pendidikan praktis untuk para gadis di Jawa.

Nota tersebut oleh Kartini diberi judul Berilah Orang Jawa Pendidikan (Barat). Kartini memilih jalur pendidikan bagi rakyat Jawa dengan terlebih dahulu memberikan pendidikan  praktis, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pendidikan praktis untuk 1) wanita sebagai pendidik,agar menjadi pendidik yang baik dan untuk 2) para bangsawan, agar menjadi penguasa yang bijak, dalam melindungi kawulanya. Menurut Kartini, tanpa pendidikan praktis tersebut, mustahil akan terjadi perubahan, karena situasi dan kondisi rakyat Jawa pada umumnya, baik di kalangan bangsawan sekalipun, sebagai insan tertindas, sudah barang tentu tidak dimungkinkan terwujud  daya cipta, yang menjadi sumber akal dan akhlak. Sebab itu, penjajahan memang harus dilenyapkan dari muka bumi, oleh karena penjajahan identik dengan penindasan, seperti yang digambarkan dalam buku MaxHavelaar’

Selain itu, nota yang diberi judul, Berilah Orang Jawa Pendidikan (Barat), juga diharapkan merupakan kegiatan pembangkit moral sedemikian rupa, agar 1) mampu membawa wanita pada satu situasi sadar akan hak atas hidupnya sendiri, dengan status derajat yang sama dengan lelaki, sebagai sesama manusia yang sama-sama mencari nafkah; 2) membawa rakyat Jawa pada umumnya kepada kebangkitan rasa berbangsa, yang mampu mengangkat diri sebagai “nasion”, sebagaimana Kartini memperlakukan dirinya, dalam skala kecil, menjadi insan yang berdaulat atas dirinya dan bermartabat.

Kemandirian Wanita
Kemandirian wanita menurut persepsi Kartini tidaklah identik dengan gerakan feminisme Eropa yang berlangsung semenjak awal abad 20. Sampai kini gerakan tersebut menghadapi banyak persoalan mendasar yang belum terselesaikan, misalnya peran dan fungsi wanita dalam konstatasi dan determinasi Alam, dalam peran dan fungsi ibu, yang dituduh oleh Feminisme Barat sebagai domestikasi wanita, agar mereka tidak mampu bersaing dengan laki-laki di dunia Publik.  Dalam persoalan ini, Kartini berpandangan lain. Ia melihat posisi ibu dalam kehidupan manusia sepanjang jaman, dimanapun di planet Bumi ini, tidak tergantikan oleh apapun dan siapapun. Dengan demikian, konsep Kemandirian Wanita yang diperjuangkan Kartini tidak berkaitan dengan konsep feminisme Barat.

Refleksi Kartini selanjutnya adalah tentang kebangkitan wanita agar mampu berdiri sendiri, menentukan sendiri sikap hidup dalam arti kebebasan memilih pasangan hidup dan mencari nafkah. Ketiga hal itulah yang membedakan feminisme Kartini dengan feminisme Barat. Oleh karena itu dalam penulisan ini tidak digunakan istilah feminisme melainkan kemandirian wanita.

Pendidikan dalam Nota Kartini
Refleksi Kartini bermuara pada sebuah kesimpulan, bahwa pembinaan atas manusia guna mendorong terwujudnya Dunia Baru perlu  dilakukan melalui pendidikan moral  yang intinya menyiapkan mereka agar berakal (cipta/ rasa/ karsa) dan berakhlak (bertata nilai).

Tidak bisa diragukan, bahwa wanita adalah pendukung Peradaban, karena ditangan wanitalah letak tinggi rendahnya kadar kesusilaan manusia. Betapa tidak. Dari wanitalah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan praktis mengurus keluarga dan rumah tangga. Di pangkuan  ibunyalah  manusia mulai belajar merasakan dekap kehangatan seorang ibu. Dalam suasana kekeluargaanlah manusia belajar berpikir dan berkata-kata. Oleh karena itu, pendidikan praktis mengenai pembinaan serta pengelolaan Rumah Tangga merupakan keharusan bagi semua wanita dari seluruh lapisan masyarakat, agar ia mendapatkan pengetahuan cara merawat serta mendidik putra-putrinya. Selain itu, perlu diingat, bahwa emansipasi wanita Jawa akan mempengaruhi emansipasi seluruh bangsa, karena  bukan saja ia pendidik pertama manusia, tetapi juga memiliki peran utama sebagai sumber peradaban.

Dengan demikian, bagi Kartini, pendidikan merupakan senjata ampuh untuk mampu membangunkan bangsa Jawa dari tidurnya yang berkepanjangan. Misalnya, melalui pendidikan praktis yansg bersifat interaksi dalam penyuluhan yang berorientasi kepada moral Jawa, para bangsawan diharapkan mendapat gambaran, bahwa dirinya adalah ‘bangsa’ yang memiliki harkat dan martabat, adil dan bijaksana.

Melalui pendidikan praktis tentang hakikat wanita yang merupakan unsur penting dalam keluarga dan merupakan tiang bangsa, diharapkan para wanita bangsawan berkenan melaksanakan kewajibannya sebagai pendidik pertama manusia dan sumber peradaban. Meskipun wanita memiliki hak dan kewajiban sama dengan setiap anggota keluarga dan masyarakat, namun demikian dengan melaksanakan tuntutan Ibu Alam, wanita menempati tempat terhormat di masyarakat.

Dari pendidikan praktis yang memadai mengenai arti kepemimpinan, diharapkan para bangsawan di Sekolah Raja dapat menyerap dan memahami arti dan fungsi dirinya sebagai Ksatria pemimpin bangsa. Dari pendidikan praktis yang memadai diharapkan para pegawai BB (Binnenlandse Bestuur) memahami pula kedudukannya sebagai Pamongprojo bukan Pangrehprojo.

Dengan demikian, aspirasi emansipasi bangsa menurut pandangan Kartini yang dituangkan dalam notanya, perlu dipahami sebagai kebangkitan kesadaran berbangsa seluruh penduduk  Jawa dari berbangsa Hindia Belanda yang terlena  dalam tidur berkepanjangan, sekarang bangkit sebagai anak bangsa etnis Jawa.

Untuk itu, melalui notanya kepada Idenburg,  Kartini menuangkan aspirasinya yang terkait dengan moral sosial tentang ketidak adilan di dalam sistim kepegawaian  dan moral pendidikan dalam sistim belajar –mengajar dalam sajian 15 (limabelas) butir sudut pandang ditinjau dari aspek 1) Berakal dan berakhlak/berbudi pekerti; 2) Solidaritas terhadap sesama bangsa Jawa; 3) Nasionalisme rasional, tidak berlebihan; 4) Menjaga kesehatan secara kebersihan Barat, sambil melestarikan obat tradisional; 5) Belanda konsekwen dengan politik Etis; 6) Jaga martabat bangsa Jawa; 7) Emansipasi; 8) Keadilan dalam sistim kepegawaian; 9) Sistim belajar-mengajar; 10) Modernitas versus tradisi Jawa; 11) bangsawan dan ningrat; 12) sumber peradaban dan pendidik pertama; 13) Suri teladan; 14) Pendidikan Keluarga; 15) Bacaan, Bahasa dan Budaya.

Melalui notanya kepada Abendanon, dengan singkat Kartini lebih menekankan sistem pendidikan anak, yang apabila tidak ditangani dengan tepat akan meracuni jiwanya. Padahal, merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin rakyat.
Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumahpun harus turut mendidik.
Akhirnya Kartini berkesimpulan, bahwa wanita adalah 1) pendidik pertama manusia, sebagai tugas mulia yang diberikan oleh Ibu Alam. Oleh karenanya, pendidikan terhadap anak harus dimulai sedini mungkin ; 2) Sebagai sumber peradaban. Dari cinta kasih murni seorang Ibu, daya cipta manusia tertanam dalam-dalam dalam lubuk hati setiap manusia. Itulah sebabnya, daya cipta manusia bersifat laten dan inheren.


KESIMPULAN
  • Bahwa, Kartini adalah pelaku sejarah yang riwayat hidupnya dan cita-citanya menunjukkan perjuangannya memodernisasi Jawa secara sosial, ekonomi dan kultural. Modernisasi Jawa,  bertujuan membuka cakrawala berpikir rakyat Jawa, agar mampu meningkatkan taraf hidupnya, agar tidak terjadi ketimpangan sosial yang mencolok antara kehidupan Bupati dan Bangsawan, Belanda dan Rakyat. Meskipun demikian, Modernisasi Jawa yang dimaksudkan Kartini tidak identik dengan pem-Barat-an.
  • Bahwa,  Nota Kartini (1903) merupakan dokumen Sejarah Nasional, karena memuat gagasan, 1) bahwa, rakyat Jawa, sesunguhnya adalah sebuah “nasion”, bukan bagian dari Daerah Otonomi Hindia Belanda. 2) bahwa, emansipasi ‘bangsa’, merupakan kebangkitan bangsa Jawa (Bupati dan Bangsawan, Pemuda dan Rakyat)  dari posisi ‘tidur’ lelap yang berkepanjangan, ketika masih menjadi bagian dari rakyat Hindia Belanda.
  • Bahwa, Nota Kartini (1903) menampung gagasan cita2 Kartini untuk mewujudkan Dunia Baru, yang rakyatnya berprinsip Keadilan dan berorientasi moral Pendidikan, yaitu berakal-budi dan berakhlak.
  • Menurut pandangan Feminisme Barat, wanita memiliki persamaan gender dengan laki-laki. Karena itu wanita cukup hidup sendiri dan mandiri, tanpa perlu menghiraukan panggilan Ibu Alam, menjadi ibu, karena posisi ibu identik dengan mendomestikasikan wanita, agar tidak bisa bersaing dengan lelaki di dunia Publik.
  • Bahwa, Kemandirian wanita menurut pandangan Kartini, adalah mampu menentukan nasib dan jalan hidup sendiri; mampu mencari nafkah sendiri; memilih pasangan hidup sendiri. Dalam memenuhi panggilan Ibu Alam, wanita adalah pendidik pertama manusia dan sumber peradaban.


HARAPAN
Meskipun sudah satu abad berlalu semenjak wafatnya Kartini pada tahun 1904, gagasannya tentang pentingnya pendidikan budi pekerti dalam pembentukan watak manusia masih relevan. Kartini pada saat menuangkan hasil renungannya di dalam nota yang ditulisnya untuk Menteri Pendidikan Idenburg dari Kerajaan Belanda, ia menempatkan aspek Nalar/Akal dan Moralitas/Budi Pekerti di awal tulisan. Ia melakukan hal ini, karena teringat akan pengalaman 6 tahun bersekolah di HIS, dimana pendidikan akal tidak diimbangi dengan pendidikan akhlak/budi pekerti.

Bertahun-tahun lamanya Kartini mengharap datangnya perubahan yang ia sebut sebagai Dunia Baru, yang menurut Kartini perlu dijemput lewat pendidikan praktis, yang fokus pada moral tradisional Jawa dan budi pekerti. Menurut Kartini biang keladi terpuruknya satu bangsa, karena dipimpin oleh pimpinan yang kurang beradab dan para wanitanya kurang pendidikan.

Kini seabad kemudian, isu tentang Pemimpin yang tidak beradab dan wanita yang kurang pendidikan masih relevan untuk dibicarakan. Padahal, jaman sudah berubah. Namun demikian, rupanya, selama air laut terasa asin, faal manusia serta perilakunya tetap sama tidak berubah. Mungkin hanya satu yang membedakan manusia satu abad yang lalu dengan manusia jaman milenial seperti sekarang ini, yaitu masih tersimpankah daya cipta yang sifatnya laten dan inheren dalam Jiwa manusia masa kini? Mengapa hal ini perlu dipertanyakan?

Untuk mengantisipasi lenyapnya daya cipta sumber peradaban manusia, perlu diangkat isu mengenai maraknya pengguna HP yang semakin lama semakin mereduksi nilai kemanusiaan sebagai makhluk sosial dan makhluk rasional.

Singkatnya, solusi yang terbaik untuk masa kini adalah, 1) seluruh manusia pengguna HP, diberikan pendidikan praktis tentang penggunaan HP secara cerdas. 2) melarang menggunakan HP/WA  ketika sedang bertugas ditempat kerja, di sekolah,  di restoran, di mobil, di atas motor,  berjalan, saat menunggu di Stasiun, di Airport, kecuali di  saat menunggu bis, di saat menungu kereta api, di saat menunggu panggilan di klinik dokter.

Bilamana korupsi terjadi dimana-mana, maraknya kekerasan Rumah Tangga, peningkatan kenakalan remaja, peningkatan perceraian dan perselingkuhan, menandakan bangsa itu tidak lagi memiliki daya cipta, karena bangsa itu hidup tanpa peradaban, dan pada gilirannya tanpa budaya. Otak pun membatu, karena tidak lagi ada loncatan kwantum. Pada akhirnya, penghuni planit Bumi ramai dengan Robot-Robot diantara manusia yang berubah jadi Robot. Ini gambaran prediksi merosotnya nilai kemanusiaan yang dikuatirkan akan terjadi. Ternyata gambaran di atas bukan lagi gambaran sementara, melainkan sudah merupakan peristiwa yang terjadi sehari-hari. Daftar pelbagai peristiwa penggunaan HP kebablasan bisa diperpanjang, namun menyalahi maksud tujuan penulisan ini.

Kembali kepada isu mengenai pendidikan budi pekerti yang masih relevan hingga saat ini, Penulis mengharapkan Pemerintah sudi menengok semua perguruan pendidikan tradisional, misalnya Taman Siswa, Pesantren, Paguron, Padepokan, Pawiyatan yang masih melestarikan pendidikan budipekerti.

Terselenggaranya pendidikan budi pekerti sejak dini akan membantu perkembangan daya cipta yang sifatnya laten dan inheren dalam Jiwa manusia. Sebaliknya, bilamana redup/pudarnya moral dibiarkan sampai benar-benar hilang dari muka bumi, dikhawatirkan, prediksi peradaban manusia Nusantara  sebentar lagi akan punah, boleh jadi bukan isapan jempol. Wallahu a’lam bishawab….     







0 Komentar