Sumber: BEMP PPKN

Oleh : Maulana Malik Ibrahim

“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”-Franz Magnis Suseno

Pemilihan Umum (Pemilu) dianalogikan sebagai sebuah wadah taruhan untuk memilih calon pemimpin yang dapat memimpin bangsa ini kelak. Dinamika, arus, serta dampak dari Pemilu dapat kita rasakan sebelum, sesaat, hingga sesudah masa pencoblosan sampai penetapan Real Count (penghitungan tetap) dari KPU. Beragam agenda disusun sedemikian ketatnya oleh KPU untuk menyeleksi kelayakan dan ketahan ujian dari tiap-tiap pasangan calon. Dari banyaknya agenda yang diadakan, ada 1 agenda yang menjadi sorotan paling menarik untuk bisa dijadikan acuan untuk memilih, yaitu debat kandidat yang dilaksanakan sebanyak 5 kali dalam kontestasi pemilu tahun ini.

Dalam debat yang sudah terselenggara kemarin banyak narasi-narasi yang dilemparkan oleh masing-masing calon untuk meyakinkan dan memantapkan audiens untuk memilih calon tersebut, akan tetapi dilihat dari segi kualitas debat yang sudah ditampilkan banyak argumentasi yang dibangun berdasar sentimen personal, hoaks, dan masih banyak data yang dipertanyakan validitasnya. Kedua belah pihak yang hendak berdebat sudah meneken perjanjian bahwa tidak akan membahas kasus-kasus masa lalu yang dapat memicu perpecahan dan perdebatan panjang.[1] Ada beberapa tema menarik yang akan dibahas dalam tulisan ini, mengenai aspek ideologi, isu-isu HAM, dan juga lingkungan. Baik Jokowi maupun Prabowo mencoba bermain aman dengan gagasan ringan yang kerap dilontarkan dengan gaya sopan khas Jokowi, sedangkan Prabowo menyampaikannya secara tegas.

Aspek Ideologi
Dalam debat kemarin kita sama-sama menyaksikan, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menginginkan pengukuhan kembali Pancasila sebagai ideologi yang moderat dan akan terus melakukan program-program internalisasi Pancasila pada setiap golongan. Permasalahan yang terjadi era kini nyatanya bukan hanya sebatas kurangnya implementasi nilai-nilai substansial Pancasila, akan tetapi negara sebagai institusi besar gagal dalam prakteknya menjalankan konfigurasi dari Pancasila itu sendiri (baik dari segi politik, ekonomi, dan sosial-budaya). Sepanjang debat, tidak terdengar gagasan bagaimana cara mereduksi sistem hegemonik yang berusaha menggerogoti tubuh Pancasila.

Aspek HAM
Tidak terdengar secara seksama gagasan atau inovasi yang akan dijalankan ketika pasangan calon akan berkuasa nantinya. Lagi-lagi konteksnya jauh dari harapan publik yang tengah menanti upaya apa yang efektif dalam penegakan HAM di republik ini. Jokowi hanya menjelaskan masalah ratifikasi Undang-undang penyandang disabilitas dan “bagi-bagi” bonus kepada atlet Asian paragames yang sama dengan bonus atlet Asian games. Sedangkan dari Prabowo sendiri dengan tegas menyatakan untuk menatar aparat penegak hukum yang masih memberikan diskriminasi terhadap segelintir orang dan juga siap memecat aparat hukum yang menyimpang. Hampir dari setiap jawaban yang dilontarkan oleh pasangan calon membuat masyarakat berpikir bahwa tidak ada langkah jelas dalam upaya menegakan Hak Asasi Manusia. Negara memiliki fungsi kontrol terhadap masyarakat yang mana juga negara harus memberikan alternative solusi bagi permasalahan yang ada, bukan semakin memberikan ancaman ketakutan bagi warga negara.
           
Aspek Lingkungan
Pada aspek lingkungan banyak kejanggalan-kejanggalan yang didapati, berbicara masalah lingkungan hidup Jokowi meng-klaim bahwa selama di masa kepemimpinannya tidak pernah ada kebakaran hutan, akan tetapi faktanya menurut data yang disadur dari BPBD sekitar 1.052 hektar laha dan hutan di Provinsi Riau ludes terbakar pada tahun 2017[2]. Keketatan hukum terjamin dengan adanya 11 perusahaan yang dikenakan denda sebesar 18,3 Triliun akibat pencemaran lingkungan dan kebakaran, pada tahap reforma agraria, Jokowi menjelaskan telah membagikan konsensi tanah seluas 2,6 juta hektar selama 2 tahun terakhir, dan membagikan sertifikat tanah sebanyak 12 juta (2017-2018). Angka-angka ini yang dilegitimasi Jokowi dalam hal reforma agrarian, yang rasanya tidak cocok ataupun tidak sesuai dengan tujuan dari UUPA No.5 tahun 1960.

Dilain sisi, Prabowo menguraikan langkah-langkah preventif untuk mengupayakan pengurangan pencemaran lingkungan seperti pengetatan pembayaran pajak soal pencemaran lingkungan, birokratisasi AMDAL, dll. Dari kedua pasangan calon yang berdebat mengenai bagaimana Indonesia nanti kedepan sama sekali tidak membahas masalah koorporasi kelapa sawit yang sudah membabak hutan secara liar, anggaran nasional mengenai bencana, dan kerusakan-kerusakan lingkungan hidup. Sebanyak 9.000 hektar area hutan produksi disulap menjadi area koorporasi kelapa sawit, seluas 70.368 hektar wilayah dataran rusak akibat tambang, dan terdapat 8.683 titik tambang illegal yang tidak sesuai dengan AMDAL. Lantas mengapa debat hanya membahas masalah-masalah yang tidak konkret? Betul-betul sebuah masalah apabila pemimpin kedepan menafikan hal-hal diatas.

Sulit nampaknya ketika adu gagasan dalam debat hanya dijadikan sebagai panggung framing bagi kedua belah paslon. Masyarakat Indonesia tidak akan pernah bisa melihat kerangka berpikir utuh yang dimiliki oleh tiap-tiap calon pasangan. Hanya demi menjaga elektabilitas, mereka semua tidak berani dalam berkata kebenaran dan bermain data. Kiranya akan seperti ini gambaran seterusnya jika calon pemimpin mengandalkan gagasan dari konsultannya masing-masing. Masih banyak persoalan besar yang tidak dibahas dan tidak masuk dalam konten debat kali ini.



[1] https://pinterpolitik.com/debat-pilpres-haram-bicara-kasus/ diakses pada 3 April 2019, Pukul 13.41
[2] Data Statistik BPBD, Akumulasi Kebakaran Hutan Riau Tahun 2017

0 Komentar