Hasil gambar untuk education for freedom
Sumber: educationforfreedom.org.uk

Oleh Raihan Ghilman 

Pengantar     

Bagi sebagian orang pendidikan merupakan suatu hal yang wajib dan bila dikaitkan dengan prinsip kebutuhan, bagi mereka pendidikan merupakan suatu hal yang bersifat primer, dan untuk yang sebagian lainnya banyak yang memahami bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang mereka maknai sebagai yang bukan bagian daripada skala preferensi yang harus mereka utamakan. Berkaitan dengan fungsi dari pendidikan, penulis mengarahkan pandang terhadap perspektif K.H. Dewantara sebagai bahan reflektif atas kerangka dalam struktur penulisan ini, pendidikan sendiri memiliki tujuan sebagai internalisasi kebudayaan yang berkembang secara beriringan dengan kodrat hidup suatu individu terkait upaya pemeliharan maupun pengembangan atas nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Pendidikan dalam hal ini memiliki peran atas pembentukan rasio, rasio ini memiliki fungsi sebagai media dalam proses penimbangan terkait tindakannya. Inti dasar dalam pendidikan mengandaikan suatu bentuk kepribadian berdasarkan prinsip-prinsip manusia berkebudayaan yang menjunjung tinggi aspek humanitas melalui metode-metode yang disuguhkan dalam sistem pendidikan. Berhasil tidaknya suatu pendidikan, bergantung bagaimana sistem pendidikan itu bekerja. Sistem dalam hal ini digambarkan sebagai platform yang memiliki sifat etis-normatif sebagai acuan dalam proses kerjanya itu.

Dalam perjalanannya bangsa Indonesia perihal memandang pendidikan itu tak lepas dari peranan bangsa asing terkait cara pandang penduduk pribumi yang terbilang masih ‘primitif’ mengenai suatu gejala yang mungkin dapat diterangkan melalui proses pendidikan. Proses afiliasi antara bangsa pribumi dengan asing terkait pendidikan menghasilkan akulturasi kebudayaan yang termanifestasikan dalam sistem pendidikan. Indonesia kerap mengalami perubahan sistemik, yang secara fundamental di akibatkan oleh pengaruh pendudukan pihak kolonial terhadap bangsa pribumi, semisal pendudukan bangsa portugis abad ke-16, berlanjut pada era kolonialisme belanda, dan terakhir adalah masa pendudukan jepang yang berdampak pula terhadap konstelasi pendidikan di Indonesia. Berikut merupakan beberapa catatan historis terkait pendidikan di Indonesia berdasarkan pola pendidikan bangsa kolonial dari masa ke masa, yang mungkin tidak dapat menjadi representasi atas keutuhan sejarah, namun setidaknya memberi sedikit gambaran terkait hal itu.

Analisis sejarah mengenai pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan, namun pada realitanya pendidikan itu tidak di maknai sebagai pendidikan atas tuntutan ilmu pengetahuan. Pendidikan tentang; kebudayaan, bertani, pelayaran, strategi, dan perang, termasuk bahan didik bagi masyarakat pada zaman tersebut, namun juga dengan coraknya yang feodalistis itu tidak memungkinkan bagi kalangan bawah untuk mendapat pendidikan yang sama. Sejak kedatangan bangsa portugis pada abad ke-16 pendidikan dengan makna yang luas diberikan oleh orang-orang pribumi di Maluku saat itu. Terkait upaya missionaries yang juga merupakan tujuan invasi bangsa portugis, Pendeta Fransiscus Xaverius memandang bahwa pendidikan perlu di berikan kepada masyarakat, terutama pendidikan agama.

Politik etis yang dipelopori oleh Van Deventer dan disahkan oleh Ratu Wilhelmina merupakan suatu pintu bagi masuknya pendidikan di Indonesia era kolonialisme Belanda. Sejak saat itu bukan hanya kaum priyayi yang mendapatkan pendidikan, masyarakat umum pun juga mendapat pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama sekolah rakyat. Berkat kebijakan politik etis itulah kemudian berdiri perguruan tinggi pertama di Indonesia, perguruan tinggi tersebut awalnya didirikan dengan fokus terhadap studi kesehatan yang dikenal dengan nama STOVIA.

Pendidikan di era pendudukan Jepang, tujuannya tak lain adalah untuk menghasilkan pekerja terdidik dan terampil untuk kemudian dipekerjakan oleh jepang demi keperluan perang. Sistem atas pendidikan dengan skema 6 tahun untuk sekolah dasar –Gokumin Gakko- 3 tahun untuk sekolah menengah –Shoto Chu Gakko- 3 tahun sekolah lanjutan –Chu Gakko-, setelah itu ada pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi. Sistem pendidikan seperti itulah yang kemudian menjadi orientasi sistem bagi pemerintahan pasca kemerdekaan, orde baru, dan pemerintahan saat ini, tentu disertai dengan perubahan kurikulum disetiap era.

Dalam hal proses pembangunan, Indonesia sebagai Negara yang baru merdeka tentu membutuhkan model pembangunan yang tepat untuk sekiranya dapat diaplikasikan kedalam proses pembangunannya, tak terkecuali pendidikan. Melalui analisis fakta sejarah yang telah terpapar diatas, memberikan suatu konklusi terkait bagaimana sistem pendidikan Indonesia mengadopsi sistem pendidikan era jepang. Dengan skema 6 tahun sekolah dasar (SD), 3 tahun sekolah menengah (SMP) dan 3 tahun sekolah menengah kejuruan (SMA) yang diterapkan di mulai saat pemerintahan pasca kemerdekaan sampai dengan saat ini.

Sebagai aspek yang dapat menunjang kebahagiaan dan upaya peningkatan mutu SDM, pemerintah dengan model pendidikan seperti itu mencoba melakukan pemerataan ke seluruh wilayah Indonesia. Berbasis pada fakta di lapangan menunjukan bahwa masih terdapat adanya ketimpangan perihal pemerataan pendidikan itu. ada beberapa hal yang membuat ketimpangan itu terjadi, bersamaan dengan itu di bawah akan dijelaskan mengenai analisis data yang berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya ketimpangan tersebut.

Analisis Data Ketimpangan Pendidikan di Indonesia

Bila melihat data statistik mengenai tingkat pendidikan masyarakat desa-kota terang bahwasanya tingkatan kepedulian masyarakat atas pendidikan itu banyak di dominasi oleh masyarakat kota, sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan cenderung ‘acuh tak acuh’ terhadap pendidikan. Bukan sekedar perkara desa-kota dalam status provinsi, faktor geografis merupakan aspek yang cukup menjadi kendala atas pemerataan pembangunan yang dalam hal ini pendidikan. Data statistik mengenai Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang penulis dapatkan melalui Badan Pusat Statistik menjadi acuan dalam melakukan analisis terkait persoalan ketimpangan pendidikan.

Penekanan penulis dalam mencermati data tersebut lebih terfokus untuk menganalisis bagaimana kedua provinsi yang memiliki Indeks tertinggi dan terendah yang dalam hal ini D.I. Yogyakarta sebagai provinsi dengan indeks APS tertinggi yaitu 99,77% pada tahun 2016 dan 99,79% di tahun 2017, dan Provinsi Papua sebagai daerah yang memiliki indeks di bawah rata-rata atas keseluruhan indeks APS Provinsi di Indonesia ialah 80,43% tahun 2016 dan 80,96% di tahun 2017 dari rata-rata APS se-Indonesia berkisar 97,73% di tahun 2016 dan 97,81% tahun 2017 (Sumber: Badan Pusat Statistik, Angka Partisipasi Sekolah Tahun 2016 – 2017).

Dengan metode pengkajian atas fenomena tersebut terkait dengan bagaimana proses yang memungkinkan adanya eskalasi dalam hal prosentase APS, terlepas dari adanya isu kontestasi ideologi- analisis kajian yang kemudian menjadi bahan deskriptif terarah pada konsep teoretis melalui paradigma modernisasi baru untuk diskursus masyarakat Jogja, dan Papua dengan modernisasi klasik sebagai sebuah media guna menyusun kerangka analitis perihal pengajuan eksposisi atas penyusuna dalam tulisan ini.

D.I. Yogyakarta, kota ini memiliki indeks prevalensi APS yang terbilang paling tinggi diantara provinsi lainnya di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, lantas bagaimana provinsi itu dapat menempati posisi teratas. Modernisasi baru sebagai sebuah teori pembangunan memandang bahwa – secara ringkas penulis mengerucutkan perihal generalisasi atas teori tersebut- faktor budaya yang menjadi satu dari sekian aspek yang menjadi stimulus atas pertumbuhan serta perkembangan pembangunan yang terlaksana di daerah tersebut. Faktor budaya seperti apa yang kemudian menjadi stimulasi pertumbuhan tersebut? kita mengenal Jawa sebagai pusat segala aktivitas perekonomian, sosial dan politik, baik pada era kolonial maupun saat ini. Melalui kebudayaan tersebut orang jawa terkenal akan keuletannya dalam bekerja-walaupun corak feodalistis yang represif tak dapat lekang begitu saja. Tak heran dalam suatu kesempatan Soekarno pernah mengatakan, Berpikirlah seperti orang Minang, berbicaralah seperti orang Batak, dan bekerjalah seperti orang Jawa, begitu tandansya.

Penekanan teori modernisasi secara garis besar menempatkan aspek kebudayaan sebagai substani atas objek yang akan dikaji. Modernisasi klasik memandang kemandekan yang di alami oleh Papua, cenderung disebabkan oleh budaya yang masih terbilang primitif. Budaya primitif inilah yang kemudian membuat demarkasi bagi terlaksananya pembangunan, serta implikasinya terhadap kemacetan pembangunan tersebut. Pendidikan secara objektif tidak terdapat dalam kamus kebudayaan mereka. Penekanan hidup yang sangat bergantung dengan alam dan jauh dari penguasaan IPTEK membuat nyata bahwa daerah ini terbilang cukup terbelakang dari daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun tak juga dapat dikatakan keseragaman atas keterbelakangan ini dialami oleh seluruh masyarakat Papua, banyak masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan yang sudah maju pola pikirnya.

Kritik Atas Pendidikan Indonesia Kontemporer

Pendidikan pada hakikatnya memiliki tanggung jawab atas pembebasan manusia terhadap belenggu ketidaktahuan dan memiliki peran emansipatif terkait pembentukan daya kognisi atas humanisasi sebagai landasan perihal proses pembentukan mental seseorang dalam kehidupannya yang nyata dengan nuansanya yang rasional komunikatif dalam lingkup inteligibilitas (suasana emansipatif atas dasar saling memahami) yang menutunnya ke arah suasana diskursif.

Merefleksikan dengan apa yang disampaikan Paulo Friere terkait gagasannya tentang pendidikan kritis, Ia membagi setidaknya terdapat tiga tahapan perkembangan kesadaran manusia melalui pendidikan sebagai media dalam mobilisasi masa transisi tersebut. Pertama kesadaran magis (Magical Consciousness) tahapan ini ditandai dengan adanya suatu bentuk kesadaran mengenai suatu fenomena dengan pemahaman yang disakralkan atas moral dan simbol-simbol dalam keagamaan yang mereka yakini memiliki daya magis tersendiri. Kedua kesadaran naïf (false/naival consciousness), manusia dalam proses ini seakan terlena dengan sesuatu yang bersifat materialis (sesuatu yang materil atau merujuk kepada benda). Kesadaran ini mengejawantahkan dirinya atas dasar konsumsi, sifat konsumerisme yang merupakan buah daripada kesadaran ini membuka kemungkinan adanya keterasingan akan nilai-nilai moral disamping kebutuhannya itu, dan disinilah tahapan belenggu perbudakan dan penindasan terjadi yang bermanivestasikan pada tindakan-tindakan tidak bermoral dan menjerumuskannya pada tindak kriminal, situasi seperti ini dikenal dengan pola masyarakat anomie yang fatalistik. Ketiga kesadaran kritis (critical consciousness) pada tahapan ini manusia sudah mulai dapat memilah baik buruknya suatu tindakan melalui rasio yang menjadi skala pengukur terkait segala tindak-tanduknya dalam situasi riil lingkup kehidupan sosialnya, melalui transformasi yang demikian manusia kemudian lahir dalam keadaan akil balig dan siap mental.

Penekanan atas kritik pendidikan ini menekankan beberapa aspek yang berkaitan dengan bagaimana sistem pendidikan itu dijalankan. Realitanya makna pendidikan itu pada praktisnya jauh dari segala pengandaian yang ada, teknik pengajaran yang seharusnya menuntut pengajar agar dapat merasuki pikiran peserta didik terkait ilmu pengetahuan berdasarkan konsep nyata tentang nilai-nilai luhur suatu epistemologi, sebaliknya suasana represif yang justru menjadi acuan bilamana proses pendidikan itu mengalami distorsi terkait timbulnya situasi yang disebabkan oleh karena satu dua hal yang dianggap sepele. Justru karena sikap dari pengajar inilah yang mereduksikan atas proses pembelajaran itu. Pendidik yang dalam hal ini berperan sebagai subjek yang menutun subjek lainnya menuju pada arah pencerahan justru malah mengobjektifikasikan subjek di depannya. Akibat pola mengajar dengan coraknya yang subjek terhadap objek, menjadikan hilangnya daya kreatifitas subjek tersebut yang telah terobjektifikasi. Akibatnya bukan hanya tumpulnya daya kreatifitas yang ada dalam diri manusia, melainkan terjadinya penguraian atas berbagai dimensi yang dimiliki manusia dalam tataran subjektivitasnya. Fenomena yang begitu kronis sebagai implikasi dari terlaksananya sistem pendidikan itu merupakan konsekuensi dari adanya doktrin pembangunan yang mengesampingkan aspirasi berbagai disiplin yang dinilai tidak kredibel dalam hal keabsahan pengajuan rancangannya (bisa dikatakan implikasi dari adanya kepatuhan moral atas ilmu-ilmu alam).

Alih-alih modernisasi, sekolah pun terkesan mengikuti sistem pasar, dimana yang terbaik adalah dia yang mendapatkan nilai tertinggi. Hitam diatas putih bak harga mati yang harus diperjuangkan. Sehingga yang terjadi logika pasar telah merasuk kedalam struktur bangunan pendidikan itu, yang maju teruslah maju dan yang terbelakang seakan hanya menjadi penonton akan kerakusan nilai hitam diatas putih tersebut. Suasana demikian terlihat didalam kelas, yang pintar –tidak bisa dibilang cerdas- berkongsi dengan yang pintar, tinggal yang malang yang termarjinalkan baik oleh teman-temannya maupun dengan gurunya sendiri yang notabene berperan sebagai patron dalam menuntun seluruh peserta didik menuju tujuan luhur dari pendidikan sebagai emansipasi atas pembebasan. Inti daripada logika tersebut berlandaskan dengan adanya liberalisasi pendidikan yang secara diam-diam memainkan perannya di dalam struktur bangunan pendidikan yang merubah keseluruhan tatanan atas fondasi kerangka bangunan tersebut.

Sebagai dampak dari adanya logika tersebut, pendidikan yang seharusnya membentuk peserta didik menjadi manusia yang utuh dengan segala dimensi kebudayaan dan kemanusiaannya yang beragam itu malah membentuk siswanya sebagai insan dengan keseragaman atas tujuan-tujuan instrumental sebagai dalih pencapaian atas hasil usahanya yang mereka raih dengan kungkungan berbagai belenggu indoktrinasi yang menyelimuti usahanya tersebut. Pembekuan rasio kognisi sebagai hasil dari kegiatan eksplorasi pengetahuan terjadi akibat adanya reduksi atas klaim ilmu pengetahuan tersebut yang berlangsung secara metodis.

Rasio kritis sebagai hasil dari pendidikan itu hanya menjadi bayangan utopis saja, fungsi pendidikan sebagai emansipasi merubah dirinya menjadi sesuatu yang beku akibat dari adanya logika tersebut. Dalam logika tersebut menghasilkan suatu objektifitas yang berorientasikan pada sistem pasar dengan suasananya yang fluktuatif bergantung bagaimana kondisi perekonomian peserta didik. Terang bahwasanya komersialisasi dalam pendidikan merupakan hal yang utama perihal implikasi dari adanya sistem tersebut.

Pendidikan dengan nuansanya yang holistis seharusnya menjadi santapan pokok bagi masyarakat, justru yang terjadi ke’pokok’an tersebut mengalami fragmentasi dengan klasifikasinya berdasarkan kemampuan ekonomi. Bila hal tersebut dijadikan sebuah patokan, tidak semua masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, konsekuensinya pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite (mapan secara ekonomi). Suasana yang holistik dalam pendidikan berubah menjadi suasana eksklusif dengan kalangan atas yang hanya dapat menikmati akses pendidikan tersebut.

Solusi Atas Pendidikan Indonesia Kontemporer

Sebelum memasuki dimensi objektif terkait solusi atas sistem pendidikan, lebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran tentang apa yang ada dalam pikiran penulis terkait solusi atas kegamangan yang di alami masyarakat mengenai orientasinya terhadap pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan sistem yang tengah berjalan saat ini. Adanya pertautan antara sistem dengan situasi yang terjadi dalam masyarakat terkait kriteria orientasi pandangannya, memberikan suatu gambaran mengenai pola pembentukan sifat masyarakat yang secara artifisial terbentuk oleh sistem dan mendapat legitimasi olehnya dalam rangka menyuburkan sistem itu sendiri. Bila dicermati secara jeli, masyarakat modern dalam hal ini menjadi objek kungkungan atas cara kerja sistem tersebut. Pola pembentukannya yang beragam menghasilkan suatu kebudayaan baru bagi masyarakat tersebut, yang salah satu bentuk justifikasi penulis atas budaya tersebut adalah konsumerisme.

Berkaitan dengan solusi sebagai sebuah wacana pembaruan, penulis mencoba menelaah perspektif Herbert Marcuse sebagai refleksi atas wacana tersebut. Melalui bukunya yang berjudul One Dimensional Man, Marcuse bermaksud menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang menurut kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak atas kebahagiaan tersebut. Perwujudan kebahagiaan justru bergantung pada pemuasan kebutuhannya yang sebenar-benarnya. Dalam masyarakat industri modern, manusia tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya karena terdapat suasana represif yang menandai masyarakat dimana ia hidup, Aholiab Watloly (2013: 184). Interpretasi atas kalimat tersebut memberi suatu gambaran terkait sumber daripada permasalahan mengenai adanya suasana represif yang mencirikan masyarakat industri modern. Pada hakikatnya mengenai kebutuhan itu masyarakat berhak atasnya, namun dengan suasana represif yang menjadi penghalang terpenuhinya kebutuhan tersebut menjadikan masyarakat mulai terbelenggu dengan adanya suasana tersebut.

Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasariyah manusia sebagai faktor elementer yang mendorongnya pada suasana bahagia menjadi penting. Sebab dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut akan menghadirkan suasana bahagia dalam diri manusia. Dengan logika seperti itu menjadi nyata bahwa kebahagiaan merupakan hal yang penting disebabkan perwujudan dalam kebahagiaan itu menjadi stimulus akan kepekaan dalam bidang lainnya. Melalui hal itu bukan semata-mata kebahagiaan menjadi hal yang sifatnya final terkait wacana atas pembaruan ini, justru tahapan tersebut merupakan permulaan bagi keberlanjutan tahap selanjutnya.

Suasana demikian harus berjalan seiring dengan berlangsungnya tahapan pembentukan pribadi terkait perannya dalam masyarakat. Proses tersebut dalam kajian sosiologis merangkap setidaknya terdapat empat tahapan yang dilalui manusia sebagai proses menuju pemahaman tentang perannya atas posisi dan kedudukannya di dalam masyarakat. Tahapan itu ialah prepatorized stage, play stage, game stage, dan generalized stage (Tahapan Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, Menurut George Herbert Mead). Disetiap masa transisi tersebut, harus disertai pula dengan pengayoman atas pendidikan. Sehingga pada tahapan akhir tersebut manusia dapat berperan sebagaimana mestinya dalam struktur lapisan masyarakat yang di harapkan dalam tataran norma maupun nilai. Dalam mekanisme proses tersebut perlu ditegaskan bahwa mengenai pelaksanaanya harus tetap berada dalam kriteria-kriteria yang menyangkut makna pendidikan secara utuh yang penulis telah paparkan sebelumnya. Metodologi atas pola pendidikan tersebut harus berkaitan dengan kebutuhan riil individu maupun masyarakat, yang dengannya akan menghasilkan output berupa suasana dialogis dengan penekanan terkait pertautan antara teori dengan praxis.

Melalui hasil tersebut manusia kemudian keluar dalam keadaan berakal serta mandiri dengan segala macam rasio yang telah terbentuk bersamaan dengan proses pendidikan yang ia jalani. Dengan kemandirian itu memungkinkan individu untuk bereksplorasi ke berbagai dimensi pengetahuan yang luas sebagai bentuk realisasi dirinya atas ilmu pengetahuan. Untuk dapat mencapai suasana yang demikian, diperlukan adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat melalui hubungannya yang harmonis. Kedekatan pemerintah terhadap rakyat dalam hal ini penting guna mencapai suasana yang kondusif sehubungan dengan pencapaian cita-cita bersama.


Kepustakaan:

Watloly, A. (2013). Sosio-Epistemologi. Yogyakarta: Kanisius.
·         Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
·         Suwarsono & SO. Y Alvin. (1994) Perubahan sosial dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES
·         www.wikipedia.com
·         www.kompasiana.com
·         www.websitependidikan.com
·         Badan Pusat Statistik, Indeks Angka Partisipasi Sekolah Tahun 2016 - 2017

0 Komentar