Opini
Petjoek Bahasa Gaul Tempo Doeloe
Oleh: Bunga Rosalina
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 13.667 pulau besar
dan kecil. Selain itu, tanah Indonesia yang subur serta masyarakatnya yang terbuka
terhadap bangsa lain menjadi daya tarik bagi bangsa Asing untuk datang ke
Indonesia khususnya Belanda.
Sebelum
kedatangan Belanda di Kepulauan Indonesia, orang India, Cina, Arab, dan
Portugis telah hadir di Pulau Jawa.[1] Kedatangan
bangsa Asing tersebut memberikan banyak pengaruh bagi Indonesia khususnya dalam
hal kebudayaan.
Kehadiran
bangsa Belanda pada abad ke-16 sampai abad ke-20 menyebabkan terjadinya
pertemuan antara budaya barat dengan budaya Jawa dan menghasilkan budaya yang
khas sebagai hasil akulturasi, yang disebut dengan kebudayaan Indis.
Salah
satu hasil dari akulturasi budaya tersebut adalah Bahasa, Bahasa hasil campuran
orang-orang Belanda dengan orang Jawa ini lazimnya disebut bahasa petjoek atau peetjoek. Bahasa petjoek adalah bahasa yang digunakan
oleh golongan orang-orang papa atau miskin dan orang Belanda yang tidak diakui,[2] yang menariknya adalah bahasa ini populer
digunakan pada tahun-tahun sebelum perang dunia ke-2 (sekitar abad 19 sampai
abad 20 awal).
Bahasa petjoek ini merupakan bahasa percampuran
(kreol) antara bahasa Belanda dengan
bahasa Jawa atau Melayu, bahasa ini muncul dari Lingkungan karena kehidupan
orang-orang Belanda yang sudah lama tinggal di Indonesia serta adanya
perkawinan campuran bangsa Belanda dan bangsa pribumi, bahasa ini banyak digunakan
dikalangan anak-anak Indo-Eropa dengan ibu pribumi, atau anak-anak Eropa yang diasuh
oleh para pembantu, hal itu disebabkan karena mereka tinggal dan besar dalam
lingkungan orang Jawa, dan setiap hari mereka mendengar bahasa Jawa. Selain itu
anak-anak tersebut setiap hari juga mendengar bahasa Belanda dari ayah atau
keluarga mereka, hal tersebut kemudian bercampur sehingga mereka mengucapkan bahasa
Belanda dengan lafal dan logat Jawa.[3]
Bahasa petjoek ini sangat menarik karena banyak
dikenal di pulau Jawa dengan berbagai dialeknya, tergantung bahas petjoek itu digunakan. Percakapan bahasa
petjoek di Batavia atau Jakarta
berbeda dengan bahasa petjoek di
Bandung, dan didaerah lainnya. Di Jakarta bahasa petjoek mengandung unsur bahasa Melayu dan Bahasa Cina, sedangkan
di Bandung mengandung unsur bahasa Sunda, kemudian di Surabaya bahasa petjoek berpangkal dari bahasa Jawa
tetapi bercampur dengan tambahan bahasa Madura. Akan tetapi meskipun berada
diberbagai daerah, bahasa petjoek tetap
mendapat pengaruh dari bahasa Melayu karena bahasa Melayu telah digunakan
sebagai Lingua Franca (bahasa
pengantar),[4]
sebelum Belanda datang ke Indonesia.
Adapun
contoh bahasa petjoek, yang dikutip
dari Het Javido, de verboden taal,
oleh V.E. de Gruiter, Uitgeverij Moesson, Den Haag, t.t., halaman 44.[5]
Bahasa petjoek di Semarang dalam bentuk
percakapan :
“Hallo lien, jij naar waar?”
“Naar kamp sinees.”
“Soeken ivaat?”
“Water Eropees.”
Adapun
bahasa Belanda yang benar adalah :
“Hallo Lien, waar ga jij heen?”
“Naar het Chinezen-kamp.”
“Wat zoek je dan?”
“Mineraal water.”
Jika
percakapan tersebut disalin dalam bahasa Jawa
“Hallo Lien, kowe menyang endi?”
“Menyang Kampung Cina.”
“Ngolek apa?”
“Banyu Landa.”
Oleh
orang Belanda bahasa petjoek dianggap
sebagai bahasa hina karena dipengaruhi oleh bahasa orang kulit berwarna atau pribumi,
dan bangsa pribumi dianggap berderajat rendah didalam kehidupan masyarakat
Hindia-Belanda sehingga bahasa ini tidak boleh digunakan dirumah, mereka harus
menggunakan bahasa Belanda sopan (baku), dan anak yang tidak menggunakan bahasa
Belanda dengan sopan dianggap tidak beradab atau tidak sopan. Bahkan penggunaan
bahasa petjoek dikalangan orang Indo-Eropa
jelas menjadi ejekan dan tertawaan orang Belanda tulen, baik karena logatnya
maupun karena struktur bahasanya yang nekat dan dianggap norak. Akan tetapi
pada akhirnya bahasa petjoek terus
berkembang dan menjadi semacam bahasa gaul
pada saat itu.
Bahasa petjoek dapat berkembang menjadi bahasa
gaul pada saat itu karena semakin banyak dan berkembang masyarakat pribumi
serta anak-anak Indo-Eropa yang menggunakan bahasa petjoek untuk berkomunikasi, bahasa petjoek merupakan bahasa santai
sehingga membuat pergaulan menjadi lebih nyaman.[6] Ditambah
karena pada awal penjajahan, Belanda tidak mewajibkan masyarakat pribumi menggunakan
bahasa Belanda sehingga bahasa percampuran (kreol)
sangat mudah berkembang, bahkan pemerintah Belanda sempat membuka sekolah berbahasa Belanda dan
ternyata bahasa Belanda para siswa tidak mengalami kemajuan.[7] Penggunanaan bahasa Belanda
yang baku dan sopan dianggap kurang santai dan terlalu kaku sehinnga anak-anak
dari golongan terpandang juga ikut menggunakan bahasa petjoek.
Sampai
runtuhnya kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda, bahasa petjoek masih tetap eksis digunakan, bahkan pada akhir abad-20 penyanyi
dari Belanda yaitu Wieteke van Dort atau
yang sering dipanggil Tante Lien[8] banyak
membuat lagu yang menggunakan bahasa petjoek,
sejak saat itu bahasa petjoek mulai
muncul kembali dan kemungkinan masih digunakan sampai saat sekarang ini. Namun,
mungkin hanya beberapa orang saja yang menggunakan sebagai bentuk nostalgia
pada jaman Indis. Sampai suatu saat nanti mungkin pada akhirnya bahasa Petjoek akan musnah, padahal bahasa
tersebut termasuk sebagai khasanah budaya negara dan bangsa yang turut
mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.
[1]
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, (Depok:
Komunitas Bambu, 2011), hal. 1.
[4] Joss Wibisono, Saling
Silang Indonesia-Eropa, (Jakarta: Marjin Kiri, 2012), hal. 76.
[6] Agus R. Sarjono, Petjoek,
(Rubik Bahasa: Majalah Tempo, 2010), http://rubikbahasa.wordpress.com/2010/01/25/perjoek/, diambil pukul 23.11.
[8] Tante Lien tidak pake bahasa
“ollanda, file:///C:/Users/Asus/Downloads/%281%29%20Tante%20Lien%20tidak%20pake%20basa%20%20Ollanda%20.htm, (23 Oktober 2011), diambil
pukul 22.17.
0 Komentar