Kajian
Ketidakadilan terhadap Wanita
Sumber: Liputan6.com
Oleh: Henny Kurnia dan Desia
Fenomena
ketidakadilan terhadap wanita merupakan sebuah permasalahan yang masih sering
terjadi di Negara tercinta kita ini yaitu Indonesia. Mengapa saya mengangkat
kasus ini untuk di diskusikan lebih mendalam? Ya jawabannya karena saya
terinsipirasi dari buku yang dikarang oleh sastrawan Indonesia yang terkenal
yaitu Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Gadis Pantai”. Pada saat saya
membaca buku ini, saya tersadar masih banyak sekali kasus-kasus serupa yang
menimpa kaum wanita seperti yang ada di buku Gadis Pantai yakni pada masa
Feodalisme Jawa tersebut di masa modern sekarang. Terkadang dimasa sekarang
masih banyak yang beranggapan bahwa derajat seorang wanita masih dianggap lebih
rendah daripada laki-laki. Seperti yang terdapat di dalam buku Gadis Pantai
ini. Gadis Pantai mendapatkan perlakuan tidak adil dari suaminya sendiri yang
merupakan seorang pembesar di tanah Jawa. Dimana ketidakadilan tersebut
terlihat paling mencolok pada saat Gadis Pantai melahirkan anaknya, sesudah
melahirkan anaknya dia dibuang oleh suaminya dan dikembalikkan kepada orang
tuanya, bahkan yang lebih parahnya dia tidak boleh untuk menemui anaknya
sendiri. Sungguh miris perlakuan tersebut bila dibayangkan dengan menggunakan
akal sehat.
Memang ketidakadilan terhadap wanita
pada masa Feodalisme Jawa bisa dikatakan sangat miris untuk dibicarakan.
Dikarenakan paham Feodalisme Jawa itu sendiri yang tidak memiliki adab dan jiwa
dalam kemanusiaan. Pertama saya akan membahas sekilas tentang istilah
feodalisme. Istilah feodalisme tak lain adalah istilah perbudakan atas manusia
terhadap manusia. Istilah ini sebenarnya dipakai abad ke -17, tapi oleh
pelakunya sendiri tidak pernah dipakai/diakui, atau diekspresikan secara
tertutup lantaran konotasinya yang negatif: kekuasaan sosiopolitik yang
dijalankan kaum bangsawan untuk mengendalikan suatu daerah yang diklaim sebagai
kepunyaannya; selalu ingin dihormati, atau tetap mempertahankan nilai-nilai
lama yang sebenarnya sudah usang demi menjaga kepentingan pribadi atau
golongannya.[1]
Dari penjelasan istilah itu sendiri sudah terlihat dengan jelas bagaimana kejam
nya perlakuan terhadap wanita di masa feodalisme jawa. Contoh lain yang menurut
saya juga merupakan suatu ketidakadilan terhadap wanita terjadi pada masa itu
ialah yang menimpa R. A. Kartini. Ya, R. A. Kartini yang hari kelahirannya baru
saja kita peringati beberapa hari yang lalu, yaitu pada tanggal 21 April. R. A.
Kartini merupakan seorang pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati
kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah
mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak
disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia
mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. [2]Lalu ketidakadilan seperti
apa yang menimpa R. A. Kartini? Mungkin diantara pembaca masih ingat dengan
penjelasan-penjelasan dalam mata pelajaran sejarah Indonesia dulu pada saat
SMA, di usia yang masih belia sama dengan Gadis Pantai, R.A Kartini sudah harus
menikah dengan tuntutan tradisi yang masih sangat kental pada saat itu. Menurut
saya ini merupakan suatu ketidakadilan, di mana pada usia yang masih belia
tersebut, Kartini yang seharusnya mengenyam pendidikan yang layak dan mengejar
cita-cita yang di impikannya menghilang karena perubahan statusnya menjadi
seorang istri. Sehingga telah
menghilangkan hak-haknya sebagai anak. Mereka harus mulai memikul tanggung
jawab yang amat berat mengurus rumah tangga. Tetapi adat-istiadat tidak bisa dirubah.
Setelah melihat dari penjelasan
diatas lalu saya timbul pertanyaan, lantas bagaimana bentuk ketidakadilan
terhadap wanita dimasa modern sekarang ini?
Sebagai contoh nyata dari polemik
ini adalah sebuah fenomena yang terjadi di Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang, Jawa
Tengah. Di mana di daerah tersebut terjadi fenomena yang cukup memprihatinkan
karena telah terjadi ‘ketidakadilan’ yang ditujukan kepada kaum wanita.
Di daerah
tersebut, banyak sekali anak perempuan usia 14-16 tahun yang terpaksa harus
menikah muda demi menghindari stigma “Perawan Kasep” yang melekat erat di
daerah tersebut. Perawan Kasep itu sendiri merupakan istilah yang diberikan
kepada anak perawan yang belum menikah di usia 16 tahun atau lebih. Hal inilah
yang membuat para orang tua akan merasa kebingungan jika anak perawannya belum
kunjung dipersunting orang. Adanya stigma tersebut membuat penduduk desa yang
mayoritas adalah petani itu memiliki rasa kebanggan jika anak perempuannya
dipersunting oleh orang lain. Selain mendapatkan mahar berupa emas, para orang
tua juga merasa bangga bahwa anaknya ‘laris’.
Bukan
hanya pernikahan usia muda yang menjadi problema, melainkan juga mengenai para
istri ini yang ditinggal oleh suaminya setelah beberapa hari menikah. Tak
jarang dari wanita yang baru saja menikah satu-dua hari harus menerima takdir
ditinggal oleh suaminya. Yang pada akhirnya mereka akan menjanda. Namun, di
daerah tersebut menjadi janda adalah semacam suatu kehormatan. Karena warga
desa tersebut menganggap ‘lebih baik menjadi janda daripada belum menikah’.
Hal
tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun dan telah melekat pada masyarakat
daerah desa tersebut. Tentunya dari fenomena tersebut, yang paling dirugikan
adalah kaum wanita. Karena wanita yang masih muda itu yang seharusnya masih
menjalankan hak-haknya untuk bersekolah dan bermain dengan teman sebayanya
serasa dirampas demi memenuhi tuntutan keluarga dan lingkungannya. Banyak dari
mereka yang masih ingin bersekolah untuk meraih cita-citanya. Namun itu semua
hanya akan menjadi mimpi belaka.
Permasalahan
mengenai ketidakadilan ini pasti tidak jauh mengacu kepada konsep
ketidaksetaraan gender. Dimana pada kenyataannya, di zaman yang “katanya”
masyarakatnya sudah terbuka dengan semua banyaknya perubahan yang terjadi di
masyarakat tetapi tetap saja kasus-kasus ketidakadilan yang menimpa wanita
masih banyak dijumpai. Selain contoh yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya,
kini saya akan memberikan sebuah contoh lagi. Di salah satu artikel berita yang
saya baca yaitu berjudul “Masih Maraknya Ketidakadilan Gender di Indonesia”, di
dalam berita tersebut berbunyi kurang lebih seperti ini “dalam rangka menyambut
Hari Perempuan Internasional (HPI) yang jatuh pada 8 Maret, empat komunitas
yang bergerak memperjuangkan hak-hak perempuan menyelenggarakan acara bertajuk
“Womens March Bandung”, menurut mereka ada lima bentuk penindasan terhadap
wanita yang marak terjadi hari ini, yakni eksploitasi tenaga perempuan dalam
bidang perburuhan Indonesia, ketidakberdayaan sistem yang membuat wanita tak
memiliki otoritas dibidang manapun, termasuk tubuhnya sendiri. Kemudian
marjinalisasi perempuan yang masih terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi,
dan budaya. Lalu imperialisme kultural yang menempatkan perempuan sebagai objek
dan yang terakhir adalah kekerasan terhadap permpuan. Dalam perihal kekerasan
terhadap perempuan, menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN)
2016 menunjukkan, satu dari tiga perempuan usia 15 – 64 tahun mengalami
kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan selama hidupnya.
Sebanyak 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan dan ditangani
selama tahun 2016. [3]
Bisa
dibayangkan dari contoh-contoh kasus di atas masih banyak sekali kasus yang
sedemikian rupa menimpa wanita. Dari yang awalnya hanya kekerasan verbal seperti
cat calling sampai yang paling miris
yaitu kekerasan seksual ataupun kekerasan fisik maupun psikis. Dengan banyaknya
kasus seperti ini, mau jadi apa bangsa Indonesia yang kita cintai ini? Masih
menganggap wanita lebih lemah daripada laki-laki, menganggap wanita tidak bisa
menjadi pemimpin yang baik atau anggapan bahwa derajat wanita lebih rendah
daripada laki-laki. Miris, satu kata yang bisa saya katakana. Tuhan yang
menciptakan makhluknya saja menganggap semua derajat baik laki-laki maupun
perempuan sama. Kita yang hanya manusia biasa bisa langsung seenaknya saja
memberikan pandangan yang seperti itu terhadap wanita. Menurut saya semua
manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama, hak untuk
hidup, hak untuk dihargai, dan hak untuk mendapatkan kesetaraan yang sama.
Sehingga
dalam kasus pernikahan muda yang terjadi di daerah Tegaldowo tersebut, telah
terjadi suatu masalah sosial yang didasarkan oleh budaya setempat yang tidak
mau terbuka dengan perubahan. Sehingga tetap mempertahankan budaya pernikahan
muda yang pada akhirnya menghilangkan hak-hak anak dan wanita tersebut sebagai
anak yang seharusnya masih menikmati masa mudanya dengan belajar dan bermain
harus menanggung beban sebagai seorang istri, atau bahkan janda. Maka hilanglah
kesempatan mereka untuk meraih cita-citanya. Hal seperti ini merupakan salah
satu penyebab yang membuat wanita Indonesia semakin terbelakang dan disepelekan
oleh kaum laki-laki.
Saran
untuk menghadapi dan mengatasi fenomena seperti yang disebutkan di atas adalah
dengan banyaknya gerakan feminisme yang dilakukan di Indonesia merupakan suatu ide yang cukup bagus untuk
sama-sama membela hak-hak kaum wanita yang selalu disepelekan oleh kaum
laki-laki. Hal ini dapat digunakan
sebagai senjata bahwa kaum wanita bisa melakukannya, bisa menunjukkan bahwa
setiap manusia itu sama walaupun secara fisik memang wanita lebih lemah dari
kaum laki-laki, namun bukan berarti kaum wanita juga tidak mampu berbuat
apa-apa. Karena hal tersebut merupakan suatu tindakan ketidaksetaraan gender.
[1] https://www.kompasiana.com/mamansuratman/5529837df17e61217dd623cf/perempuan-dalam-kekangan-feodalisme-jawa
0 Komentar