Opini
Pemuda, Sepak Bola dan Revolusi
Sumber: Mereka.com
Oleh: Raihan Ghilman
“Football is not just a simple
game, it’s a weapon of the revolution!” –Che Guevara
Sepak
bola merupakan cabang olahraga yang memiliki peminat cukup banyak di dunia.
Dalam ranah domestic, melalui penelitian yang dilakukan oleh Nielsen Sport,
tercatat bahwa Indonesia menempati peringkat dua dunia sebagai Negara penggila
sepak bola dengan presentase 77%
penduduk Indonesia memiliki ketertarikan pada cabang olahraga ini, setelah
Nigeria dengan presentase 83% penduduknya yang antusias terhadap sepak bola.[1] Ihwal kemunculan awal sepak bola membawa kita pada suatu perdebatan yang
mempertanyakan tentang kapan dan dimana permainan ini dimulai, bagaimana
permainan itu dilakukan, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Belum
ada kesepakatan yang pasti diantara para ahli sejarah mengenai persoalan
tersebut, namun pada kenyataanya sepak bola sendiri telah menunjukan eksistensinya
sejak abad ke-2 dan 3 sebelum masehi, misalnya yang terjadi pada saat acara-acara
keagamaan dan pesta-pesta yang di selenggarakan oleh para bangsawan. Di
Tiongkok sendiri permainan ini disebut Tsu
Chiu, Jepang menyebut olah raga ini dengan sebutan kemari yang telah di mainkan sejak 500 tahun yang lalu, beralih ke
daratan Eropa bangsa Yunani menyebutnya Harpastum
dan di Romawi disebut Epyskiros.[2]
Kelahiran
sepak bola di Indonesia sendiri diilhami oleh peranan bangsa Imperialis yang membawa
pengaruh sepak bola dari Eropa menuju Asia, terkhusus Indonesia. Melalui para
pekerja –karyawan, dan tenaga-tenaga ahli- Belanda, mereka menggunkan sepak
bola sebagai sarana pelepas penat selama bekerja. Oleh karena kegiatan ini
berlangsung secara intens, pada akhirnya mereka membentuk sebuah bond-bond [3]sepak
bola untuk mewadahi hobi mereka dan kemudian terbentuklah NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond). Namun
karena sifat bangsa koloni yang diskriminatif membuat orang-orang selain dari
golongan mereka tidak dapat mengakses organisasi tersebut, tercatat bahwa
anggota yang mengisi organisasi tersebut
di dominasi oleh orang kulit putih dan menyisakan segelintir orang-orang
Cina dan Pribumi yang dianggap setara dengannya.
Selain
NIVB sebagai organisasi sepak bola bangsa kulit putih, orang-orang Cina yang
menetap di Indonesia pun membentuk bond sepak bolanya sendiri yang dikenal
dengan sebutan HNVB (Hwa Nan Voetbal
Bond). Pendirian bond ini di latar belakangi oleh ketidakpuasan orang-orang
cina terhadap NIVB yang dinilai tidak memberikan perhatian yang sama terhadap
potensi yang dimiliki orang-orangnya, selain itu juga pendirian bond ini
dimaksudkan untuk mempererat jaringan persaudaraan bangsa Cina, baik yang telah
menetap di Indonesia maupun pendatang yang biasanya sanak kerabat dari
orang-orang Cina tersebut.
Indonesia yang dapat dikatakan masih belum
mampu memiliki kekuatan untuk membentuk suatu organisasi yang mantap meski
kenyataanya sudah banyak berdiri klub-klub lokal bumiputra pada gilirannya
mencoba untuk perlahan membentuk bond. Usaha itu dimulai ketika gagasan yang di
prakarsai oleh Reksohadiprojo, Soetarman, dan Sastrosaksono berdirilah Vortstenlandsche Voetbal Bond (VVB) pada tahun 1924 di
Surakarta yang beranggotakan kesebelasan sepak bola bumiputra. Alasan di
bentuknya organisasi ini hampir sama dengan apa yang melatar belakangi pendirin
HNVB.
Pembentukan
organisasi tersebut sebagian besar atas prakarsa para tokoh intelektual yang
memiliki kesadaran dan persatuan akan kebangsaan. Hal ini tak terlepas dari di
terapkannya politik etis sebagai wujud kemanusiaan yang di lakukan Belanda dan
pada kenyataanya hanya bersifat politis dan cenderung mempertahan status quo daerah jajahannya. Meski
demikian, hal tersebut memberi dampak positif bagi putra bangsa yang kemudian
mendapat pengajaran tentang pendidikan dan tiba pada saatnya ketika timbul bagi
mereka kesadaran akan kemerdekaan. Hal itu terwujud dalam pembentukan
organisasi kepemudaan seperti Budi Utomo dan yang lebih penting menurut penulis
adalah dibentuknya volkstraad atau
dewan rakyat pada 1916 yang dimana organisasi tersebut merupakan representasi
akan suara rakyat dan dengan mereka pula akses untuk penyaluran aspirasi kepada
penguasa terwujud.
Sistem
kolonial membentuk struktur sosial masyarakat berdasarkan warna kulit, ekonomi,
dan gelar dalam pola hierarkis yang implikasinya menimbulkan kesenjangan yang
amat timpang. Sepak bola sendiri memberi andil bagi terciptanya beberapa
perubahan yang menyangkut; relasi sosial, perubahan politik, dan ekonomi. Pada
masa kolonial melalui sepak bola semua kalangan masyarakat dapat berbaur, mulai
dari yang miskin sampai yang kaya dapat bermain bersama yang lazimnya mereka
bermain untuk klub yang ia bela dan implikasinya memperluas gerak sosial
masyarakat. Untuk hal inilah yang kemudian di manfaatkan para intelektual
progresif untuk menggelar diskusi-diskusi yang menyangkut tema kebangsaan
–nasionalisme- disamping digelarnya pertandingan sepak bola.
Oleh
karena pengaruh yang di berikan para intelektual tersebut kepada masyarakat
umum –masyarakat subordinat- memengaruhi
dan membentuk suatu ideologi kebangsaan yang manifestasinya adalah kesadaran
akan kemerdekaan. Bila melihat dari kacamata ekonomi, sepak bola yang pada
awalnya di gunakan sekadar untuk olahraga, kemudian merambah ke dalam sektor
industri. Melihat daya tarik sepak bola yang banyak peminatnya membuat para
pelaku ekonomi membuat suatu inovasi baru, yakni mengadakan sandiwara keliling lewat sepak bola
sebagai mediumnya. Keuntungan yang diperoleh melalui hasil penjualan tiket para
pelaku ekonomi tersebut mendapat profit yang cukup besar, di lain sisi para
pemain pun mendapatkan imbasnya yaitu mereka yang bermain dan mencetak gol
biasanya mendapat bonus tambahan.
Sebagai
dampak dari timbulnya rasa nasionalisme perkumpulan-perkumpulan tersebut pada
akhirnya membentuk suatu organisasi legal yang di naungi oleh lembaga semacam Vortstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang telah di bahas
sebelumnya. Pada tahapan selanjutnya karena adanya semangat nasionalisme
tersebut, VVB yang secara etimologis berakar dari bahasa asing kemudian mencari
solusi baru untuk menasionalisasikan oorganisasi tersebut. Para tokoh bangsa
yang menyadari akan situasi tersebut kemudian mengadakan pertemuan di Gedung
Handrepojo pada tanggal 10-11 April dan menghasilkan pembentukan panitia
persiapan dengan ketua: H.A. Hamid dan Sekertaris: Amirnoto serta anggota: H.
Anwar Noto, dan M. Daslam untuk kemudian membentuk suatu organisasi yang dapat
menaungi klub-klub dan bond-bond di Indonesia dan untuk mengimbangi NIVB pada
tanggal 19 April 1930. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya
PSSI.
Dengan
di bentuknya PSSI maka secara legal eksistensi dari seluruh klub-klub maupun bond-bond diakui baik secara de facto maupun de jure. Dan dengan ini mereka dapat dengan mudah menggelar
pertandingan baik nasional maupun internasional. Pada dasarnya diawal
pembentukan PSSI ini aktivitas mereka ditujukan untuk kegiatan sosial yang
diantaranya adalah; pembinaan klub-klub yang baru lahir, pembinaan pemain, dan
pada akhirnya mengarah pada kepentingan diplomasi yang menunjukan kedaulatan
suatu Negara yang ingin merdeka.
Narasi
terkait pergerakan pemuda di era kolonial tak terlepas dari pengaruh sepak
bola. Sepak bola merupakan hiburan sekaligus alat pemersatu bangsa, maka tak
berlebihan bahwa sepak bola bukan sekedar olahraga biasa ia adalah senjata dan
perantara untuk akhirnya menciptakan perubahan yang diawali dengan revolusi.
Pemuda, Sepak Bola dan Revolusi. Cheers
!
[1] Nova Arifianto, “Indonesia
Negara Penggila Sepak Bola Dua di Dunia” diakses dari https://m.cnnindonesia.com/indonesia-negara-penggila-sepak-bola-dua-di-dunia
pada 12 November 2018 pukul 01.32
[2] Srie Agustina Palupi, Politik & Sepak Bola (Jogjakarta:
Ombak, 2004), hlm. 22
[3] Bond : perserikatan atau gabungan dari klub-klub.
0 Komentar