Resensi
Opini Buku "Gadis Pantai"

Sumber: Google
Oleh: Henny Kurnia Asharie
Gadis
pantai merupakan sebuah buku karangan dari seorang sastrawan Indonesia yang
terkenal, yaitu bernama Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya lahir pada 1925 di Blora,
Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara.
Penjara tak membuatnya berhenti untuk menulis. Dari tangannya sudah lahir lebih
dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Buku “Gadis Pantai” mengangkat tema
yang sangat menarik bagi saya, yaitu menceritakan seorang perempuan manis yang
lahir dan tumbuh di kampung nelayan di tanah Jawa Tengah. Di kampung nelayan
tersebut sebagian besar penduduknya belum mendapatkan pendidikan yang layak, dimana
sebagian besar penduduk dari kampung tersebut tidak ada yang bisa untuk membaca
maupun mengaji. Mereka hanya memikirkan bila anak laki-lakinya sudah besar
nanti mereka akan turut serta turun ke laut untuk menangkap dan mencari ikan.
Dan untuk para perempuannya, mereka tidak jauh dari kegiatan di dapur atau
membantu pekerjaan suaminya sebagai nelayan. Selain itu juga, mereka
mengesampingkan kegiatan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan alasan
bahwa mereka terlalu disibukkan dalam kegiatan sehari-harinya.
Lain halnya dengan nasib yang
menimpa gadis pantai, karena dengan parasnya yang manis itu dapat memikat hati
seorang pembesar santri setempat; yaitu seorang Jawa yang bekerja pada
(administrasi) Belanda. Sehingga diusianya yang masih belia, dia sudah harus
menikah dengan pembesar tersebut. Gadis pantai diambil untuk dijadikan gundik
pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten;
perempuan yang melayani “kebutuhan” seks pembesar sampai kemudian pembesar
memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat
dengannya. Awalnya pernikahan ini memberikan kenaikan prestise bagi gadis
pantai karena sudah dianggap menjadi istri dari seorang pembesar. Pada saat
gadis pantai pulang ke kampungnya pun dia menjadi disegani oleh penduduk yang
lainnya. Namun, setelah gadis pantai mengandung dan melahirkan anaknya,
kehidupannya berubah sangat drastis. Dia dibuang oleh suaminya sendiri dan
dikembalikkan kepada orang tuanya. Serta yang lebih parahnya lagi gadis pantai
tidak diperbolehkan untuk menginjakkan kaki di rumah pembesar tersebut dan
tidak boleh menemui anaknya sendiri.
Disamping itu, saat membaca buku ini
harus dengan konsentrasi yang tinggi, dikarenakan jika tidak akan mengakibatkan
tidak paham dengan jalan ceritanya seperti apa, pesan moral apa yang dapat
dipetik dari cerita ini, dsb. Namun, buku ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu salah satunya penggunaan bahasa yang bagi saya sulit untuk dimengerti.
Seperti “sahaya”, “bendoro”, “kanca”, atau “Mas Nganten”. Sehingga saya
beberapa kali mencari arti dari suku kata tersebut di KBBI. Selain kelemahan,
buku ini tentunya juga memiliki kelebihan yaitu penjelasan cerita mengenai
ketidakadilan yang terjadi pada seorang wanita, dimana hal tersebut sangat
sering terjadi dan dibahas sampai sekarang sehingga membutuhkan solusi yang
tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut. Buku ini juga membahas tentang
paham Feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa dalam kemanusiaan. Hal
itu sungguh tidak benar. Maka dari itu, disini kita dapat belajar bahwa kita tidak
boleh membeda-bedakan setiap manusia dalam hal sosialnya. Baik dia berasal dari
kelas atas ataupun kelas bawah. Pada intinya semua manusia mempunyai hak yang
sama.
0 Komentar