Hasil gambar untuk ketimpangan Gender
Sumber: Google

Oleh: Rinaldi Isnawan (Sahabat Alumni Pusdima)

Hakikat Gender
Istilah gender sangat berkaitan erat dengan relasi antara posisi perempuan dan laki-laki dalam hal hak-hak, tanggung jawab dan sebagai nya. Menurut Nasaruddin Umar, gender didefinisikan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[1] Sementara menurut Mansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural.[2] Dari dua definisi tersebut maka dapat penulis simpulkan bahwa gender merupakan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang di konstruksi oleh masyarakat. Maka dari itu, karena bersifat sosial maupun kultural, dapat dipastikan bahwa istilah gender tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin (sex).
Perbedaan mendasar antara gender dan jenis kelamin dapat dilihat dari segi latar belakang maupun sifat yang menaungi kedua nya. Hal tersebut dapat dijelaskan pada tabel 2.1
Tabel 2.1
Perbedaan gender dan jenis kelamin
JENIS KELAMIN
GENDER
Kodrati (berasal dari Tuhan)
Konstruksi sosial dan budaya masyarakat
Biologis
Sosial dan kultural
Tidak dapat dirubah
Dapat berubah
Sumber: hasil analisis penulis (2018)
Dari tabel 2.1 dapat dijelaskan bahwa dari segi latar belakang, jenis kelamin sifatnya kodrati (berasal dari Tuhan), seperti misal nya penis pada laki-laki, vagina pada perempuan. Sementara gender bersifat konstruksi dari masyarakat sesuai dengan norma dan nilai yang dianut, misal nya sebagai seorang laki-laki bertugas sebagai kepala rumah tangga dan wajib mencari nafkah sementara perempuan bertugas untuk mengurus keperluan rumah tangga. Lalu dari segi sifat, jenis kelamin bersifat biologis, seperti misal nya laki-laki ketika baligh akan tumbuh jakun nya sehingga suara nya lebih menggelegar, sedangkan perempuan memiliki payudara yang berfungsi untuk menyusui. Gender lebih bersifat sosio-kultural seperti misal nya laki-laki berada di sektor publik dalam beraktivitas sementara perempuan berada di sektor domestik. Terakhir dari segi fungsi, jenis kelamin tak dapat merubah fungsi selama-lama nya meskipun pelaku nya telah merubah jenis kelamin nya, contoh nya adalah meskipun Dorce yang dilahirkan sebagai laki-laki merubah kelamin nya menjadi perempuan, namun sepanjang hayat nya Dorce tak akan pernah bisa menstruasi maupun melahirkan seorang anak dari rahim nya. hal ini berbanding terbalik dengan gender yang dapat berubah, misal contoh dahulu di masa Raden Ajeng Kartini, status perempuan dianggap lebih rendah dibanding laki-laki (tidak mendapat pendidikan dan sebagai nya), namun kini setelah terjadi perlawanan-perlawanan maka status perempuan dapat sederajat dengan laki-laki di ruang publik.
Pada akhirnya perbedaan antara peran laki-laki dan perempuan ini melahirkan sebuah peran gender yang mencoba mengklasifikasikan peran antara laki-laki dan perempuan di ranah yang berbeda (laki-laki di ruang publik, perempuan di ruang domestik). Akibat dari peran gender tersebut terhadap relasi sosial laki-laki dan perempuan menciptakan relasi sosial hierarkis yang bersifat dominatif yang kerap disebut diskriminasi gender. Diskriminasi gender menyebabkan posisi perempuan cenderung “di anak tirikan” ketimbang posisi laki-laki di berbagai bidang baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun pendidikan. Di ranah pendidikan misalnya, perempuan kerap dianggap tak lazim jika menjadi pemimpin upacara, perempuan kerap diposisikan sebagai pengibar bendera ataupun sebatas pembawa acara dalam kegiatan upacara bendera.

Citra Perempuan dalam sebuah Iklan
Tak dapat dipungkiri, perempuan merupakan komoditas utama dalam memasarkan sebuah produk kepada masyarakat. Dalam sebuah iklan-iklan, tubuh perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki kerap di eksploitasi dengan tujuan untuk menarik konsumen (baik laki-laki maupun perempuan) dalam membeli produk yang mereka perjual belikan. Dalam sosiologi gender, terdapat lima citra yang menjelaskan mengenai eksploitasi tubuh perempuan di ranah iklan yaitu citra pilar, citra pigura, citra peraduan, citra pinggan, citra pergaulan.
Citra pilar dalam iklan adalah perempuan digambarkan sebagai sosok penyangga keutuhan rumah tangga, bila tak ada perempuan maka keharmonisan rumah tangga akan sedikit “kacau”. Hal ini tergambar pada iklan sariwangi yang menampilkan perdebatan antara ayah dengan anak. Ketika anaknya ingin izin ke ayahnya untuk bermain dengan teman-temannya namun ayahnya melarang dengan nada tinggi. Setelah itu sang ibu menenangkan sang ayah sembari memberikan sang ayah teh sehingga suasana kembali kondusif dan sang ayah pada akhirnya mengizinkan anak nya untuk bermain dengan teman-temannya. Bentuk diskrimnasi disini adalah dimana perempuan seolah-olah hanya diindikasikan untuk berada di ruang domestik saja sebagai penjaga stabilitas keutuhan rumah tangga, karena bila tak ada perempuan di sektor domestik maka rumah tangga akan kacau.
Citra pigura, maksudnya adalah perempuan sebagai sosok yang sempurna apabila memiliki tubuh yang ideal. Hal ini biasa terdapat pada iklan-iklan kecantikan seperti obat pelangsing badan, iklan sabun muka atau misal nya iklan shampo. Dalam iklan sabun muka misalnya, digambarkan perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki wajah berwarna putih, sehingga pada akhirnya mensugesti perempuan untuk membeli sabun muka tersebut supaya wajah nya menjadi lebih putih. Hal ini seolah mendeskreditkan bahwa perempuan adalah sosok yang hanya gemar bersolek saja. Padahal kecantikan tidak hanya dari segi paras melainkan dari segi pikiran maupun hati atau kebermanfaatannya terhadap masyarakat.
Citra peraduan adalah perempuan dianggap hanya sebagai objek seksual. Hal ini terapat pada iklan-iklan yang lebih menonjolkan tubuh perempuan seksi dengan pakaian minim meskipun produk yang dipasarkan tak ada kaitannya sama sekali dengan tubuh perempuan. Misal contohnya iklan segar sari susu soda, dalam iklan tersebut digambarkan bahwa almarhumah Julia Perez memakai pakaian ketat dan memberikan minuman segar sari tersebut kepada orang di sekitarnya dengan suara yang menumbuhkan birahi bahkan dengan sebuah slogan “sampai tumpeh-tumpeh”.
Citra pinggan adalah perempuan sebagai sosok yang identik dengan dapur, hal ini biasanya tercermin dalam iklan-iklan yang berbau bahan-bahan masakan seperti kecap, minyak dan sebagainya. Misal dalam iklan kecap bango, disana digambarkan bahwa perempuan hanya memiliki kehalian dalam masak memasak saja sehingga menyempitkan peran mereka di ruang publik. Maka tak heran apabila di masyarakat terdapat kelakar 3UR (sumUR dapUR kasUR) untuk perempuan.
Citra pergaulan adalah perempuan digambarkan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam pergaulan di ruang publik. Hal ini tercermin pada iklan-iklan deodoran maupun iklan pembersih jerawat. Misal iklan biore, perempuan tidak berani beraktivitas di ruang publik ketika wajahnya memiliki jerawat sehingga dirinya membutuhkan obat atau produk yang dapat menghilangkan jerawat di wajah mereka.

Ketimpangan Gender dalam Dunia Pendidikan
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu currere yang berarti to run (menyelenggarakan) atau to run the course (menyelenggarakan suatu pengajaran. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Ayat 19 menjelaskan kurikulum sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.[3] Sementara menurut John Dewey “curriculum should build an orderly sense of the world where the child lives”.[4] Singkatnya dalam pandangan Dewey yaitu kurikulum harus membangun rasa tertib dari dunia tempat tinggal anak-anak. Maksudnya adalah kurikulum seharusnya menghasilkan murid-murid yang mampu beradaptasi dengan dunia modern.
Kurikulum pada dasarnya mencerminkan pengetahuan sehari-hari murid yang mana itu menjadi sumber sekaligus inspirasi bagi pembelajaran yang dilakukan guru. Menurut Michael F.D Young, peran kurikulum adalah memutuskan apa yang harus dilakukan sekolah maupun hal-hal yang tidak dilakukan sekolah. Selain itu juga, kurikulum menekankan bagaimana mencari jalan alternatif untuk mengembangkan intelektual murid-murid sebagai refleksi generasi muda di negara nya.[5]
Berdasarkan definisi tersebut tujuan utama kurikulum adalah menciptakan murid yang berkompeten sesuai dengan penyelenggaraan tujuan pendidikan, namun pada dasarnya kurikulum juga dapat menjadi arena bias gender di lingkungan pendidikan. Bias gender tersebut tidak berasal dari kurikulum utama atau yang bersifat tertulis melainkan di reproduksi dari kurikulum yang bersifat tersembunyi (hidden curriculum) yang kerap melanggengkan budaya patriarki. Menurut Henry Giroux, hidden curriculum sebagai sesuatu yang tidak tertulis seperti norma, nilai, kepercayaan yang melekat/terikat serta di transmisikan kepada murid berdasarkan aturan yang mendasari struktur rutinitas dan hubungan sosial di sekolah dan ruang kelas.[6] Beberapa bentuk bias gender yang kerap terjadi di lingkungan sekolah yang bersumber dari hidden curriculum diantaranya adalah sosialisasi keyakinan gender, subordinasi, kekerasan dan sterotip gender.
Pertama, sosialisasi keyakinan gender yaitu bentuk pembelajaran yang mengarah pada hegemoni budaya patriarki sehingga pada akhirnya perempuan menganggap kondisi bias gender tersebut menjadi wajar. Contoh bentuk sosialisasi keyakinan gender yang terjadi di lingkungan sekolah adalah dari segi buku teks murid (terutama buku teks murid sekolah dasar). Dalam buku teks murid kerap ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang mencerminkan ketidaksetaraan gender seperti misalnya kalimat “ibu pergi ke pasar atau ayah pergi bekerja”, dapat juga berbentuk gambar seperti gambar “laki-laki menjadi pilot sementara perempuan sedang memasak di dapur”.[7] Dalam buku teks tersebut seolah digambarkan bahwa perempuan hanya dianjurkan untuk beraktivitas di ruang domestik saja yang lebih berkaitan dengan aktifitas yang sifatnya memenuhi kebutuhan rumah tangga, sementara posisi laki-laki cenderung bersifat maskulin dimana selalu digambarkan beraktivitas di ruang publik yang memerlukan keahlian dan kompetensi tertentu.
Kedua, Sterotip Gender yakni pandangan baik yang bersifat positif maupun negatif tanpa didasarkan pada fakta mengenai peran perempuan dan laki-laki. Contoh nyata bentuk sterotip gender dalam lingkungan sekolah adalah ketika seorang guru meminta tolong kepada murid-murid nya untuk memindahkan bangku/meja, maka baik secara sadar ataupun tak sadar pasti sang guru lebih memilih menunjuk murid laki-laki untuk melakukan nya, karena ada konstruksi di masyarakat bahwa perempuan merupakan sosok yang lemah lembut dan tak pantas untuk melakukan pekerjaan yang berat sementara laki-laki dianggap sebagai sosok yang kuat.
Ketiga, subordinasi yaitu suatu penilaian atau anggapan bahwa posisi perempuan cenderung berada di belakang/dinomorduakan dibandingkan laki-laki.[8] Contoh nyata dari subordinasi dalam lingkungan sekolah adalah ketika penunjukan petugas upacara. Jika ada laki-laki di suatu kelas, maka dia yang lebih diutamakan untuk menjadi pemimpin upacara, sementara perempuan selalu berada di belakang laki-laki seperti misal nya hanya sebatas menjadi pengibar bendera ataupun pembawa acara. Ataupun ketika dalam tugas kelompok, laki-laki selalu ditunjuk sebagai ketua sementara perempuan hanya sebatas sekretaris ataupun notulen.
Terakhir, kekerasan (violence) yaitu bentuk bias gender baik yang mengarah pada kekerasan fisik (seperti pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan) maupun kekerasan non fisik seperti pelecehan seksual (sexual harassement) ataupun kekerasan secara verbal terhadap perempuan. Contoh yang lazim ditemui di lingkungan sekolah adalah kekerasan non fisik seperti godaan yang dilakukan murid laki-laki terhadap murid perempuan berupa colekan maupun berupa ejekan yang membuat murid perempuan merasa tersinggung.



[1] Rustan Efendy, 2014, “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan”, Jurnal Al-Maiyyah, vol.07 No.2: hal. 143.
[2] Yuliana Krismonni, 2017, Gender dalam Pendidikan, https://medium.com/@monibeltim/gender-dalam-pendidikan-dd6ca967be24, dikutip pada tanggal 26 Desember 2018 pada pukul 21.48 WIB.
[3] UU RI No.20 Tahun 2003; Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
[4] Rakhmat Hidayat, 2011, Pengantar Sosiologi Kurikulum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 7.
[5] Ibid.,hal. 59.
[6] Ibid., hal. 80.
[7] Rustan Efendy, Op.Cit., hal.152.
[8] Gusmira Wita, 2017, Bias Gender dalam Pendidikan, https://www.kompasiana.com/gusmira/59008f4ff07a617f2fa71cf5/bias-gender-dalam-pendidikan?page=all, dikutip pada tanggal 26 Desember pada pukul 00.18 WIB. 

0 Komentar