Hasil gambar untuk matinya demokrasi
Sumber: NusantaraNews

Oleh : Maulana Malik Ibrahim

            Kabar duka menyelimuti iklim demokrasi Indonesia, kebebasan berekspresi diredam lewat aturan-aturan janggal yang bertabrakan dengan konstitusi. Peraturan-peraturan yang ada dalam balutan hukum organik rasanya cacat dan mengapa hal itu bisa terjadi?
            Berkaca pada kasus Robertus Robet, seorang aktivis dan juga akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang ditangkap atas dasar penghinaan terhadap instansi negara dan jeratan UU ITE (Infomasi dan Transaksi Elektronik), hal ini bisa diperdebatkan aturan-aturan mana saja yang digunakan untuk menjerat ataupun menghambat kebebasan berekspresi di negara yang katanya “demokrasi” ini. Bila kita bedah pasal yang menjerat Robet, selayaknya mungkin dapat dikatakan bahwa aparatur negara telah mempermainkan demokrasi dan mengakali konstitusi demi menjaga muruahnya dihadapan publik. Robet dianggap telah melanggar pasal 45 (2) Jo pasal 28 (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No.11 tahun 2008 tentang ITE dan/atau pasal 14 (2) jo pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP.[1]
            Tak hanya Robertus Robet, Waisul (seorang nelayan dadap) juga dipolisikan akibat mengkritik dampak pembangunan jembatan pulau C. Beliau dianggap melakukan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media elektronik yang ditujukan kepada PT. Kapuk Naga Indah (KNI), dan dijerat pasal 27 (3) Jo pasal 45 (3) Jo pasal 28 (2) Jo pasal 45 A (2), Jo pasal 36, UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 14, 15 UU No. 1 Tahun 1946, Pasal 310, 311 KUHP[2]. Pasal-pasal yang ada diatas barangkali sudah menjadi kepastian tetap ihwal merepresi kebebasan dalam fungsi warga negara menjalankan kontrol memberikan saran, kritik, serta menyampaikan aspirasi didepan publik.
            Kebebasan berpendapat ialah hak konstitusional yang dimiliki oleh seluruh warga negara dalam menyuarakan kehendaknya dan telah diatur secara telak dalam konstitusi. Pembatasan-pembatasan yang ada secara masif merupakan bentuk delegitimasi terhadap aturan fundamental bangsa yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Tidak bisa di pungkiri setelah di legalkannya UU ITE yang penuh kontroversi, kebebasan berekspresi seakan-akan redup. Sebelum di revisi pada tahun 2016, pelaporan atas dugaan delik pidana yang berkaitan dengan UU ITE hanya terdapat 77 aduan. Sedangkan gejolak pelaporan menggunakan UU ITE mengalami eskalasi yang cukup besar, sekitar 385 laporan (naik 5 kali lipat) dengan berbagai dugaan pelanggaran dengan rincian: 363 kasus berkaitan dengan pencemaran nama baik, 21 kasus tentang pornografi dan agama, dan satu kasus lain mengenai pengancaman[3]. Begitu mudahnya pasal-pasal karet yang digunakan untuk menjerat para pelaku pelanggaran UU ITE.

·         Pasal-pasal Karet UU ITE sebagai “Momok Mengerikan” 
            UU ITE merupakan sebuah regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam membendung arus teknologi informasi yang sangat santer perkembangannya pada era kini. Sejauh ini efektivitas dari undang-undang ini masih dipertanyakan, karena sejauh peraturan ini diabsahhkan banyak bermunculan konotasi negatif seperti “undang-undang anti kebebasan berkekspresi”, “undang-undang terserah pemakai”, hingga “produk gagal demokrasi”. 
          Ada 2 pasal yang sangat disoroti dan bisa saja digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk memidanakan seseorang yang hanya ingin menyampaikan kritik. Dilihat dari pasal 27 (3) dan pasal 28 (2) UU ITE[4], peraturan ini rasanya janggal dan bertabrakan secara langsung oleh Undang-undang Dasar 1945, BAB X, Pasal 28.
            “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
            Dalam hal ini 2 pasal yang terdapat pada UU ITE langsung gugur dan tidak bisa ditetapkan sebagai aturan hukum yang bersifat rigid. Ketentuan perundang-undangan hanya dapat diterapkan apabila peraturan yang ada tidak berbenturan dengan aturan yang lebih tinggi sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Penjelasan kerangka hukum yang kompleks mengisyaratkan bahwa terjadi disfungsi penggunaan pasal-pasal UU ITE yang menyebabkan pasal tersebut berubah menjadi “momok mengerikan” bagi iklim demokrasi negara saat ini. Harus segera ada penyusunan kembali gagasan serta pola dalam mengatur kebebasan berekspresi yang memungkinkan dapat menimbulkan kegundahan bagi masyarakat.
             


[1] https://tirto.id/penangkapan-robertus-robet-penghinaan-terhadap-hukum-amp-demokrasi-diEG?utm_source=internal&utm_medium=stoppress. Diakses pada 13 Maret 2019. Pukul 07.31.
[2] https://m.cnnindonesia.com/nasional/kritik-jembatan-reklamasi-nelayan-dadap-ditangkap-polisi. Diakses pada 13 Maret 2019. Pukul 07.56
[3] https://m.detik.com/inet/law-and-policy/uu-ite-direvisi-kriminalisasi-diinternet-semakin-melonjak. Diakses pada 14 Maret 2019. Pukul 22.38.
[4] Dilihat dari naskah asli UU ITE No. 11 Tahun 2008 (Sebelum Revisi)

0 Komentar