Rohiman Bintang Opera Sabun
Oleh : Nila Rosyidah

            Rohiman duduk diatas dipan kayu, merasai angin yang melukis sore, kosong. Dirasai tubuhnya bagaikan seongok batu yang berongga dilewati angin, hampa. Merasai nasib sendiri, tak bisa dikata, hanya agak ngilu di dada. Dipandanginya batu nisan itu satu-satu, hatinya mengeja, “Dison Maradian.. telah beristirahat dengan tenang.. Daruma Kristiani...” berpindah lagi Ia pada nisan yang lain..”Telah beristirahat dengan tenang.. Ijazah Ijazah SMP..hahahahha” lalu dia diam lagi.
            Dalam tubuh kecilnya terperangkap sebuah luka yang berkoreng, yang disayat bapak tirinya, 3 tahun yang lalu. Ketika itu baru saja pengumuman kelulusan SD, dia tidak termasuk sebagai murid yang cerdas, tapi juga tidak bodoh. di hari yang terik itu, takdir bercerita bahwa nilai rohiman tidak memuaskan. dilemparkanlah kertas hasil nilai itu oleh ayah tirinya. dijewerlah telinga rohiman. rohiman hanya bisa meringis. “ gimana kamu bisa sekolah negri kalau nilai kamu begini ?” . akhirnya rohiman tidak bisa sekolah negeri, tapi bukan karena nilainya memang tidak memenuhi, tapi karena sang ayah tiri tidak bisa menyingkap, kegelapan yang menutup pikir ayahnya, bahwa kenyataan berkata memang ada penurunan nilai rata-rata nasional.
            Dan anginpun bergeming lagi mendesir luka. Ketika orang-orang tertentu masih bergulat melawan jaring senja dia terpaku dalam kebisuan malam yang belum juga datang. bedeng-bedeng kayu yang tempatnya berlindung, berdiri persis disamping pekuburan masal tengah kota. ketika orang-orang bergulat dengan aroma kematian disaat akan tidur, dia—dan keluarganya sudah mengakrabi nya. dimana tempat berlabuh ini bagian dari tepian keputusasaan.
            Lalu diputar-putar sapu kecil ditangannya. hujan gerimis turun. hari senin. siapa pula yang mau berziarah di sore yang gerimis ini ?. kakinya mengayun-ayun seakan dapat mengayuh takdir. dia ditelantarkan. Dari bilik tipis dibelakang Rohiman, terdengar suara. agak gaduh.
            “Sudah pak, jangan tat tit tut terus, saya ini sedang mikirin utang, panjenengan malah sms-an dengan Diana”
“Ini beda urusannya, kamu ga paham”
            “ istri mana yang tidak sakit hatinya kalau suami nya berhubungan dengan wanita lain, Ya Allah Pak, dia itu jauh, panjenengan ndak pernah tahu aslinya, disini ada istri yang benar-benar berwujud tiba-tiba ditinggal ya Allah’’
            “Ini demi kesembuhan dia”
            “Kamu berusaha nyembuhkan orang tapi dibiarkan istrinya sakit hati. aku sudah hapus nomornya, tapi percuma, nomornya sudah tercatat di hati. Panjenengan ganti nama kontaknya, panjenengan telpon di dalam. aku dikunci diluar.  Ya Allah, disini pusing hutang suami malah asik-asikan. ”
            “mana buktinya, kamu ndak bisa asal nuduh”
            Ibu Rohiman terdengar terus bicara seakan bicara pada nasibnya sendiri, kenaifannya, anak-anaknya, mantan suaminya, bilik rumahnya, dengan pernikahan siri nya.
            “ya Allah, Dul.. Dul.. abdul Aziz..aku ini sudah nikah keempat kali, panjenengan juga empat kali, anak kita sudah besar, yang satu sudah mau nikah ya Allah, Dul.. kita sudah tua Dul, aku sudah tua Dul, Ya Allah, bunuh saja aku Ya Allah, Bunuh saja aku”
            “kamu apa-apaan sih, ini utang juga karna anak-anak kamu kan ?”
            “Mana hasil Panjenengan solat tiap hari ?  panjenengan solat setiap hari, pakai bacaan panjang-panjang, subuh-subuh, tengah malam, mana ya Allah. Mana hasilnya ?! Istrinya sendiri ndak pernah diajarin beragama yang baik, yang diajak orang lain.....Aduh mas, sakit mas, kepala saya rasanya di cengkram mas, ditarik-tarik mas... perut saya rasanya ditusuk-tusuk mas... halah. bohong semua mas, Diana itu bohong, akal-akalan dia saja mas. Mbah Anto sialan, diajari suamiku untuk solat benar diajari menyembuh kan orang, tapi sekali nya dapat pasien diajak nikah.”
            “Allah Humma... ”
            “Allah humma... “
            Terdengar bacaan doa dari suara ayahnya, dan suara ibu nya yang mengikuti.  Dia tak begitu paham. bahasa-bahasa itulah yang sering digunakan ayahnya untuk mendinginkan ibunya. yang kadang-kadang jadi terniang hingga seperti cacing-cacing di telinganya, dan menggeliat. semacam doa-doa yang dilempar dari tepian liang lahat untuk memendam luka. Cinta yang luka.
            Senja tak terasa turun perlahan, menurunkan magrib pelan-pelan ketika ada suara gaduh dari atas. langit, suara teriakkan, raungan.  bukan, bukan suara Tuhan. suara manusia. semua orang di lapang parkiran terdongak. suara dari salah satu lantai apartemen. dua manusia kecil beradu mulut dalam cekungan pencakar langit yang putih keabu-abuan itu  dan salah satu manusia memegangi tepian balkon seakan bersiap melompat. Sang lelaki yang berteriak itu mendekap perempuan yang akan melompat. pertengkaran bisu. gambar bergerak yang bisu. Dan aktvitas di lapangan bergerak seperti semula. pedagang warteg kembali mengibas makanannya agar tak kena kaki-kaki lalat. Pedagang soto membenahi tendanya yang bocor. Dan roda-roda menggelinding mencari teduhan.
            Angin mengaduk siang dan malam jadi warna oranye keemasan. Begitu aneh merasai pertengkaran seharihari-hari.  Kadang nikmat senikmat senja yang turun diatas dipan. Ia rasai seakan sedang menonton opera sabun di televisi. hanya saja tidak bisa sekonyong-konyong Ia ganti salurannya. iklannya adalah orang-orang yang lewat dengan kendaraannya, peziarah, bunga kamboja, aster dan nisan berwujud salib, atau nisan dengan Dison Maradian, burung gereja yang mencucuki aspal agak basah. Kadang desing ambulance, iringan keranda, bendera-bendera kuning jadi figuran.
            Membayangkan menonton televisi dengan kenyataan bahwa Ia tidak memiliki televisi memberikan sensasi keinginan, kerinduan. Tapi, untuk apa punya televisi kalau sehari-hari juga sudah dinikmati ? Untuk apa bersekolah kalau pada kenyataannya hidup ini memberikan banyak pelajaran ? Jika mereka, orang tuanya adalah drama, lalu yang ingin melompat dari balkon juga drama, tangisan raungan kehilangan adalah drama, dan juga diri rohiman adalah drama yang ditulis Tuhan ? Oh, ya, Rohiman si bintang Opera Sabun. 
            Bukan karena tidak mampu orang tuanya membeli, zaman sudah mengizinkan televisi dijual murah. tapi lokasi rumahnya yang liar, penggunaan listrik yang dengan akal-akalan dibagi beberapa kepala, membuat pemasangan televisi tidak memungkinkan. dan akhirnya sang ayah tiri lebih memilih menyicil motor. menambah hutang. menambah panjang episode opera sabun.
            senja ditelan magrib, lampu besar ditengah kuburan menyala. lampu jalanan menyala. lalu bayangan Rohiman menyala.
            “mas, kamu ini masih aja kutak kutik hape nya mas, sudah mas, sudah”
             “kamu juga saya bilangi kamu juga harusnya memperbaiki diri”
            “memperbaiki gimana lagi sih Mas, mempercantik gimana mas, aku ini udah tua, kalah dengan Dianamu itu, aku memang kalah. Aku sudah mau antar panjenengan ke Pekalongan ketemu Diana, tapi panjenengan ga mau, tapi disini masih berhubungan dengan Diana lewat SMS, paling engga, panjenengan  berhubungan dimana, di tempat kerja, atau dimana, jangan di depanku juga mas, permintaanku sebagai istri yang mencintai itu saja mas, jangan lagi mas, sudah mas, aku ga kuat lagi mas, sudah.”
            suara tangisan ibu Rohiman, semacam raungan, semacam kepedihan, bercampur aduk dengan keringat yang asin.
            tiba-tiba ada suara gaduh, dari dalam biliknya.
            “bisa diam kamu ? diam !” suara ayah tiri Rohiman geram.
            Tiba-tiba muncul dua bayangan dari pintu kecil, terlihat ayah tiri rohiman yang rambutnya sudah beberapa yang memutih, dan tubuh besar ibu nya yang tercekik. dilempar tubuh istrinya ke tembok, dengan kepala sebagai sasarannya.
            “ Bunuh bunuh saya mas, bunuh, mas tega menyakiti istri sendiri, menyakiti anak yatim ?”
Orang-orang sekitar, para pedagang ketoprak, supir bajaj yang baru sebentar beristirahat bangun dari sandarnya. berusaha melerai tapi memaku di sekitaran.
            “Atau kamu mau usir saya dari sini  Dul Aziz ? Ingat Dul ini tanah pemerintah ini juga bukan milik kamu, ini milik pemerintah, dan aku juga warga Negara Indonesia, aku dan kamu sama-sama berhak ditempat ini.”
            Orang-orang terpaku sendiri, bukan karena tak punya kebaikan, tapi Dul Aziz terkenal dengan kenekatannya ketika dalam amarah. akhirnya Rohiman yang selama ini banyak diam, selama ini banyak memendam, mual. Dua kali berganti ayah dan nasib membawanya pada pertengkaran dengan jenis-jenis yang sama. berteriak keras. sambil memburu bapaknya dan ibunya sendiri.
            “ Sudah Mak, Bapak, Sudah !”
            Masuklah lagi Rohiman dalam episode panjang pertengkaran ayah dan ibunya.


Jakarta, 21 Februari 2018

0 Komentar