Preman-Preman Intelektual
PREMAN-PREMAN
INTELEKTUAL
oleh : Nu’man Nafis Ridho
Pelajaran
telah usai. Tak lupa kusapa mahasiswa-mahasiswi, diikuti
langkah keluar kelas. Saatnya pulang ke rumah dan berjumpa dengan keluarga.
Ketika sudah di luar kelas dan sedang menuruni beberapa anak tangga kemudian
menuju ke lobi dengan tergesa-gesa. Tersentak, kulambatkan langkahku. Entah apa
yang mempengaruhi otak sehingga langkahku melambat setelah
keluar lobi. Tak lama aku menemukan penjual kopi di tepi jalan.
“Pak,
indocaffe satu sama rokok filternya satu,” pintaku pada lelaki tua itu.
“Siap, bos,” jawabnya.
Sejenak
kuambil aba-aba untuk duduk di dekat sang penjual kopi dan menunggu pesanan. “Enak
juga ya jadi mahasiswa, meskipun jadi mahanya dari para siswa tapi kehidupan
tetap otoritas diri sendiri dan bukannya institusi.”
“Mas,
rokok sama kopinya nih udah jadi. Jangan
ngelamun melulu,
nanti kesambet,
lho.”
Sambil memberikan kopiku dari tangannya.
“Oh
iya,
Pak.
Terima kasih,” jawabku
tersenyum.
Bikin
kacau aja nih tukang kopi. Baru melamun sebentar, sudah
diganggu. Gatau apa susah memfokuskan diri
untuk melamun,
gerutuku
dengan sedikit senyum. Kuseruputnya kopi itu sedikit.
Panas memang, namun terasa nikmat. Sepuluh tahun sudah aku mengajar. Berbeda
saat aku menjadi
mahasiswa dulu. Bisa bebas melakukan apa saja. Seperti layaknya berbolos tidak
masuk kelas karena ada jatah bolos,
mengikuti seminar-seminar di mana-mana, meskipun jamnya bertabrakan dengan jam
masuk kelas, beristirahat di sekretariat organisasi
kemudian berbincang-bincang dengan para tetua di sana. Namun realita berkata
lain. Kali ini, di sini. Di tempat aku duduk,
ditemani kopi dan sepuntung rokok. Aku bukan lagi mahasiswa melainkan pengajar
mereka.
Mahasiswa.
Memang, cara mereka menjalankan hidup di dalam dunia pendidikan berbeda dengan
para siswa. Ilmu-ilmu serta pengetahuan mereka tidak hanya didapat dari dalam
kelas saja yang notabene memang harus diberikan oleh para dosen. Tetapi bisa
didapat oleh pencarian sendiri melalui buku-buku. Dan buku-buku ini bisa saja
menyimpang dari ilmu yang mereka pelajari di jurusan. Budaya ini dapat timbul
pada diri mahasiswa karena mugkin faktor lingkungan mereka. Dan juga mungkin
dari sistem pengajaran andragogik yang mengharuskan mereka menjadi mandiri.
Bukannya pedagogik, yang ada pada pengajaran di sekolah dasar sampai sekolah
menengah atas.
Namun,
tidak semua mahasiswa ialah seperti yang kukatakan tadi. Menurutku, tipe
mahasiswa sejak aku kuliah sampai saat ini sudah menjadi pengajar, ada dua
jenis mahasiswa. Satu, mahasiswa yang necis pakaiannya dan kedua adalah
mahasiswa yang pakaiannya urak-urakan tidak karuan dan selalu menyimpang dalam
kaidah-kaidah berpakaian. Aku selalu suka pada yang nomor
dua. Hal ini mungkin berbanding terbalik dari para dosen-dosen yang menjunjung
tinggi kerapian serta kaidah-kaidah dalam berpakaian. Kebanyakan dosen berkata bahwa jika dalam berpakaian saja
tidak baik, maka tidak baik pula perilakunya. “Gimana bisa menangkap
pelajaran, jika dalam berpakaian saja mereka sembrono,” inilah pendapat
kebanyakan dosen. Namun, tidak denganku.
Ilmu
atau pengetahuan seseorang tidak dapat dinilai dari penampilannya. Atau dapat
dikatakan bahwa penampilan tidak dapat menjadi sebuah tolak ukur ilmu serta
pengetahuan seseorang. Tak terasa kopiku sudah habis. Kupesan lagi satu kopi
kepada pak tua itu.
“Pak,
kopi satu lagi,” teriakku.
“Doyan
apa haus, Mas?
Minum
kopi kok kayak
minum air mineral,” sambil tertawa dia bertanya.
“Haus, Pak. Haha,”
balasku dengan sumringah.
Saat
menjadi mahasiswa baru, pendapatku sama dengan para dosen yang
berkata bahwa kerapian atau necisnya seorang mahasiswa dapat dinilai lebih baik
dalam segala aspek. Terutama pengetahuannya. Namun pendapat ini
berubah di kemudian hari. Perubahan itu terjadi tidak
dengan begitu saja. Melainkan ada sebab-sebabnya.
Rasa
penasaranku muncul, karena jarang kutemui orang-orang necis ini duduk-duduk di
tempat terbuka di lingkungan kampus sampai larut sore bahkan sampai malam.
Mayoritas dari mereka adalah mahasiswa dengan tipe nomor dua.
Mahasiswa-mahasiswa yang berpenampilan urak-urakan. Orang-orang
ini kusebut “preman” karena penampilannya yang urakan. Sebenarnya apa yang
dilakukan orang-orang ini yang suka duduk-duduk di lingkungan kampus sampai
sore atau bahkan sampai larut malam?
Karena
tingginya rasa penasaranku, saat itu aku mendekat ke salah
satu kerumunan yang berkumpul di bawah pohon. Dengan ditemani penjual kopi di dekat mereka. Lebih tepatnya duduk di
dekat mereka dan bukannya menyatu dengan
mereka. Kuperhatikan satu per satu dari mereka. Dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Memang benar tidak ada satupun mahkluk necis di
tempat ini. “Yuk, ngelingker yuk,” teriak salah seorang dari mereka.
Sambil berteriak, dia memberikan dua lembar kertas yang dipenuhi dengan
huruf-huruf yang memenuhi kertas itu kepada yang lain. Mereka
membuat lingkaran dan setiap orang memegang dua lembar kertas. Tak lama
dipanggilnya aku.
“Bang,
bang,” diayunkannya pergelangan tangannya tanda memanggilku.
Kugelengkan
kepalaku ke kanan dan ke kiri, namun tak ada orang selain diriku. “Aku?” Kuarahkan
telunjukku ke hadapanku.
“Iya
bang, sini gabung aja,” pintanya.
Bergegas
kuhampiri mereka. Kudapatkan dua lembar kertas dan kubacanya tulisan
itu sampai selesai. Perempuan dengan rambut hampir menyentuh pinggang ialah
sang penulisnya. Dengan seksama ia membaca tulisannya. Yang
lain mulai berbicara dan berkomentar tentang apa yang dituliskan. Pria dengan rambut terurai,
kira-kira panjang sampai sebahu berkata. “Sorry, yang tertulis di selembar kertas
ini kan mengenai pendidikan. Dari kalian ada yang merasa bosan dengan
pembahasan kali ini?” Tatapan kebingungan terarah kepadanya. Cukup lama
keheningan hadir.
“Kenapa
harus bosan? Bukannya
apa yang kita bicarakan di tempat ini
adalah suatu masalah-masalah yang tak juga terselesaikan?” Jawab perempuan berpakaian
kaos oblong. Sahut menyahut terus terjadi. Ada yang sependapat namun ada juga
yang tidak sependapat. Ketika matahari tidak memunculkan sinarnya, saat itulah
lingkaran ini selesai. Dan aku malah dibuat bingung dengan ucapan-ucapan
mereka. Dengan istilah-istilah yang jarang aku dengar dari
teman-teman necisku. Bagaimana mereka dapat berbica selancar itu dan didukung
dengan dasar-dasar yang baik? Apa iya orang-orang seperti mereka yang katanya
lebih sering berbolos dari pada kaum necis, lebih memahami apa yang
dilontarkan dari mulut-mulut para dosen?
Banyak
dari teman sekelasku adalah kaum necis. Mereka berpakaian rapi dan modis bak
seorang model. Pelajaran sejarah yang diberikan dosen saat itu mengenai
sejarah G30S. Aku
dan para necis hanya mendengarkan apa yang dosen kami berikan. Tidak adak
sanggahan atau terjadinya suatu dialektis yang aku alami saat bersama dengan
sekumpulan preman-preman kemarin. Apa
yang salah dan menyebabkan tidak terjadinya sebuah diskusi?
Pelajaranpun
selesai. Teman-temanku berbincang-bincang sebentar. Tak sengaja aku menguping
dan mendengar yang mereka bicarakan.
“Mau
kemana nih kita?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Nonton!”
Jawab
yang lain dengan berteriak.
Keputusan
telah diambil, dengan diikuti gincu merah dan segumpal
bedak, bergegas keluarlah mereka.
Kulihat
tempat kemarin kaum preman-preman itu berkumpul. Ada beberapa orang.
Tapi, tidak sedang melakukan diskusi. Kuhampiri mereka. Duduk
ditemani segelas
indocaffe yang baru kupesan tadi. Kudengarkan perbincangan mereka. Ngalur-ngidul memang.
Tapi ada sebuah pembahasan menarik yang mereka bicarakan. Pembahasan mengenai
buku. Sahut-menyahut mengenai buku-buku apa saja yang
telah mereka baca maupun yang sedang dibaca. Menarik.
Mengapa tidak terjadi suatu diskusi atau dialektis di
kelasku yang berisi para necis? Dan mengapa terjadi suatu diskusi
antara preman-preman itu? Satu poin yang kudapat:
kaum
necis jarang sekali membaca buku. Dan bukan toko buku yang mereka senangi.
Melainkan tempat makan yang hits atau toko-toko pakaian.
Sedangkan para preman, mereka mambicarakan mengenai buku
yang sedang dibaca dan yang telah dibaca.
Inilah
mengapa pendapatku berbeda dengan pendapat dosen lain. Mengenai pengetahuan
seseorang yang dapat dinilai melalui gaya berpakaian seseorang. Aku lebih suka
dengan kaum preman-preman ini dibandingan dengan kaum necis. Kaum preman ini,
ku sebut dengan “preman-preman
intelektual”.
Ku
lihat arlojiku. Ternyata jarum sudah menunjukan pukul 16.30. Kuhentikan
lamunanku karena sudah waktunya pulang
ke rumah dan berjumpa dengan istri. Saat duduk beralaskan jok kulit, aku
ingat bahwa aku akan mampir sebentar ke toko buku untuk melihat-lihat apakah
stok buku yang aku mau sudah ada.
0 Komentar