Kami Sebut Civitas Akademika
Kami Sebut
Civitas Akademika
Oleh: N. H. Eddart
Lembaga pendidikan sejak dahulu dijadikan
sebagai wadah masyarakat dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan. Proses
transformasi berupa hasil pemikiran-pemikiran dari maha guru lalu disampaikan
kepada murid-muridnya, seperti ketika Aristoteles belajar dari Plato dan ketika
Plato belajar dari Socrates. Meski Socrates dimasanya tidak menerbitkan sebuah
karya, namun dia tetap dikenang dalam tulisan murid-muridnya.
Proses internalisasi ilmu pengetahuan
antara guru dan murid adalah bentuk beradaan diri. Rene Descartes, sang filsuf
Perancis mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku
ada” ditafsirkan bahwa seseorang harus berfikir akan kehendak yang diinginkan,
sehingga keinginan tersebut dapat diwujudkan sesuai dengan kehendaknya. Hal ini
tentu sama dengan konsep nilai sosial akan sebuah perasaan-perasaan yang
diinginkan dan mempengaruhi perilaku tersebut. Adapun hasil pemikiran seseorang
sangat mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukan, jika berfikir akan nilai
yang sederhana maka perilaku kita hanya sebatas tindakan yang sederhana pula.
Keinginan seseorang dengan konsep yang
besar dengan mencakup banyak individu sosial, maka akan mewujudkan sebuah hasil
karya yang besar. Jika dalam satu wadah lembaga pendidikan memiliki pemikiran
besar tentu akan melahirkan sebuah kota pendidikan, bukan hanya sekedar
transformasi ilmu, bukan semata-mata mencetak lulusan-lulusan baru, tapi sebuah
peradaban besar akan muncul di wadah lembaga pendidikan ini.
Peradaban dalam bahasa Latin, yaitu
civitas yang artinya kota. Kota sendiri dideskripsikan sebagai wilayah yang
memiliki karakteristik tata ruang yang baik dan rapih, sistem sosial dengan
norma sosial yang dipatuhi oleh warganya, masyarakat yang memiliki ragam
pekerjaan serta telah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju
ketimbang wilayah lainya.
Civitas dalam lembaga pendidikan merupakan
wadah aktivitas pendidikan dengan proses melahirkan, mengembangkan, dan
mewariskan sistem pengetahuan agar bertahan dari krisis degeneratif pendidikan.
Karena kita tahu, maju-mundurnya sebuah peradaban disebabkan pewarisan
nilai-nilai pendidikan oleh guru kepada muridnya. Aktivitas yang berkelanjutan
dan sinergi dengan nilai-nilai kebangsaan harus dipatuhi oleh seluruh elemen
sekolah, baik itu guru, murid, pegawai, dan orang tua. Maka keseluruhan elemen
yang bersatu padu untuk mewujudkan peradaban pendidikan, kami sebut Civitas
Akademika.
Sekolah atau kampus sebagai salah satu
unit lembaga pendidikan, bertanggungjawab atas keberlangsungan nasionalisme
bangsa Indonesia. Untuk menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa harus
diwujudkan dalam aktivitas pendidikan di unit sekolah dalam bentuk
aktivitas-aktivitas bernafaskan kebangsaan. Nilai-nilai kebangsaan yang telah
tertanam kuat akan rapuh seperti bangunan rumah kayu diserang rayap. Maka
penguatan kebangsaan harus semaksimal mungkin dirawat agar tetap kokoh.
Secara konteks historis, kesadaran
kebangsaan ditandai dengan dibentuknya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang
pada saat itu digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo kemudian didirikan oleh Dr.
Soetomo dan para mahasiswa STOVIA. Budi Utomo menjadi pelopor organisasi awal
pergerakan nasional, kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi seperti
Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dll. Kehadiran
organisasi ini secara massif melawan kolonial Belanda dengan cara berbeda
sebelum tahun 1908, yaitu dengan peranan pers dan pendidikan.
STOVIA yang merupakan sekolah kedokteran
era Belanda, menjelma menjadi civitas akademika yang menyadarkan akan
pentingnya kebangsaan. Konstribusinya jelas untuk mewariskan kepada generasi
selanjutnya untuk bersatu secara ideologis dan menyuarakan melalui
tulisan-tulisan bahwa masyarakat nusantara harus bangun bersatu. Padahal
sekolah ini merupakan sekolah kedokteran, menyadari tugas kedokteran begitu
berat tapi tidak menurunkan semangat nasionalisme organisasi ini.
Belajar dari kisah sejarah, mari
refleksikan hari kebangkitan nasional dalam unit sekolah. Apakah selama ini
sudah membangun Civitas Akademika? Bagaimana bentuk Civitas Akademika yang
menyumbang kesadaran kebangsaan di unit sekolah? Dan apakah hasil yang telah
dilakukan bisa dirasakan oleh seluruh elemen Civitas Akademika?
Untuk menutup tulisan ini, jangan jadikan
sekolah hanya sebagai proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar
hanya mengejar nilai semata. Tapi jadikan sekolah sebagai pusat peradaban dalam
meregenerasi muridnya untuk memegang estafet Budi Utomo. Hari Kebangkitan
Nasional adalah titik awal Indonesia merdeka.
*lulusan sosiologi UNJ 2012, pernah aktif
di Pusdima Fis UNJ, sekarang mengabdi di SMA Global Prestasi Kalimalang Bekasi.
0 Komentar