Apa Kabar‘Full Day School’ ?


Oleh : Prayoga Dwi Wibowo – PPKN 2016
           
Selalu ada kejutan dari Presiden Joko Widodo saat melakukan Reshuffle Kabinet Kerja jilid II yang dilakukannya pada akhir 2016 lalu. Salah satu bentuk keputusan tersebut yakni digantikannya Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) oleh Muhadjir Effendy. Dengan latar belakang serta visi dan misi yang berbeda. Tentunya akan ada kebijakan baru juga yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. Pro-Kontra dalam suatu Kebijakan baru akan selalu timbul. Namun hal itu, dianggap yang biasa oleh masyarakat. Lalu, bagaimana jika suatu Kebijakan tersebut dapat memberatkan atau mungkin dapat mengorbankan Generasi penerus Bangsa di sekolah yang tidak tahu apa-apa tentang kebijakan baru tersebut.
Persoalan Kebijakan yang dapat memberatkan siswa yaitu dengan di berlakukannya Kurikulum Tambahan Waktu Belajar menjadi Delapan Jam Sehari Selama Lima Hari. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Peraturan Menteri terkait pengaturan lima hari di sekolah akan dimulai pada tahun ajaran 2017-2018 atau Juli mendatang berlaku untuk semua sekolah baik Sekolah Negeri,Sekolah Swasta ataupun Madrasah Tsanawiyah.
Pertambahan waktu belajar selama delapan jam disekolah menurut Muhadjir Effendy bertujuan untuk program penguatan karakter yang tidak melulu dilakukan di sekolah. Dengan demikian, aktivitas siswa tidak harus di kelas ataupun di sekolah, atau diajarkan oleh guru sekolah. Namun sejumlah orangtua murid menolak dengan tegas program tersebut. Selain belum terpenuhuinya sarana dan prasaran sekolah yang belum mendukung. Program pertambahan waktu belajar di sekolah dapat menghambat tumbuh kembang serta keterampilan (soft skill) anak.
Berbicara tentang penguatan karakter yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu kita paham betul dengan pergantian Kurikulum dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 dan sekarang menjadi Kurikulum 2013. Dimana Kurikulum 2013 menekankan pada siswa-siswi berperan aktif dalam proses pembelajaran di kelas ataupun pengembangan karakter. Selain itu juga, peran guru dalam kurikulum 2013 hanya sebatas fasilitator dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Padahal kita paham betul, Kurikulum 2013 siswa-siswi kerap terbebani dengan banyaknya tugas dan hafalan. Jika kita tarik dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang ini masih menganut model pembelajaran “What To Think” dimana siswa-siswi hanya dapat mengetahui ataupun menghafal konsep materi yang diajarkan oleh guru bukannya siswa-siswi diberikan kebebasan dan keluasan pola pikir siswa-siswi. Atau lebih dikenal dengan metode pembelajaran “How To Think” yang mana pola pikir siswa-siswi lebih berkembang dengan menciptakan ataupun menghasilkan sesuatu dari hasil pembelajarannya.
Seharusnya Pemerintah perlu mencontoh dan mengimplementasikan konsep pendidikan yang dicetuskan oleh UNESCO. Paradigma pembelajaran menurut UNESCO akan menciptakan proses belajar-mengajar yang efektif, apabila menerapkan empat pilar konsep pendidikan; 1. Belajar Mengetahui (Learning To Know), 2.Belajar Bekerja/Melakukan (Learning To Do), 3. Belajar Hidup Bersama (Learning To Live Together) dan 4.Belajar Menjadi Diri Sendiri (Learning To Be).
Belajar Mengetahui (Learning To Know) atau dapat dengan mudah digambarkan proses belajar kita yang lakukan akan membuat menjadi paham betul dengan materi yang kita pelajari. Contoh : Setiap pagi berangkat ke sekolah, di sekolah kita menerima pelajaran-pelajaran yang baru membuat kita semakin mengetahui banyak hal. Ditambah lagi dengan kecanggihan teknologi di Era Globalisasi saat ini yang dapat dengan mudah mencari pelajaran-pelajaran yang tidak kita ketahui sebelumnya.
Belajar Bekerja/Melakukan (Learning To Do) maksudnya selain kita mengetahui hal-hal baru dari pembelajaran yang kita dapatkan, kita bisa melakukan ataupun membuat sesuatu karya atau bentuk pekerjaan nyata dari ilmu yang telah kita serap. Contohnya: dalam pembelajaran seni budaya kita telah mengenal berbagai macam jenis lukisan. Sehingga kita bisa melihat dan membuat sebuah lukisan dari hasil pembelajaran yang diperoleh dari mengenal berbagai macam jenis lukisan tersebut.
Belajar Hidup Bersama (Learning To Live Together) maksudnya dengan kita mengetahui dan kita bisa melakukan/membuat hasil karya dari apa yang kita pelajari. Tentunya manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari bantuan orang lain dan hubungan timbal-balik. sehingga dapat mempererat rasa kebersamaan dan saling menghargai. Sebab,dewasa ini sudah mulai banyak penanaman sikap-sikap egoisme pada diri tiap individu. Contoh penerapan Learning To Live Together: sebagai seorang yang berpendidikan tentu kita akan saling menghargai hasil karya orang lain.
Belajar Menjadi Diri Sendiri (Learning To Be) maksudnya setelah kita mengetahui, kita melakukan ataupun membuat, kita dapat bekerjasama dengan orang lain. dan tentunya kita dapat membuat sesuatu yang lebih baik. Baik itu bagi diri kita maupun orang lain. Pemahaman Learning To Be menitik beratkan kepada peserta didik untuk siap terjun langsung membantu masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran ini dapat melatih rasa percaya diri (peserta didik) yang tinggi.

Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan evaluasi ataupun mempertimbangkan kembali program sekolah sehari penuh. Pemerintah seharusnya perlu melakukan evaluasi mendetail dari pemberlakuan sistem kurikulum 2013 yang membuat ruang gerak siswa-siswi dalam mengembangkan kreativitas dan keterampilannya. Bukan justru malah mematikannya.

0 Komentar