Jenis tulisan : Esai
Oleh : Dini Sintia Dewi ( Pendidikan Sosiologi , 2015 )


Apakah Diriku Seorang Atheis?
Dini Sintia Dewi[1]
Dimulai pada titik keberangkatan sebuah pertanyaan ontologis pada judul tulisan ini yaitu Apakah diriku seorang atheis?. Menurut Swami Vivekenda seorang pendeta India pemegang ajaran hindu ke barat menyatakan bahwasannya dari beberapa agama di dunia menyatakan orang yang tidak mempercayai tuhan adalah seorang atheis. Lalu, bagaimana dengan seseorang yang tidak mempercayai dirinya sendiri apakah itu disebut atheis?.[2] Tak banyak dari individu yang tidak mempercayai dirinya sendiri akan identitas diri, kompetensi kemampuan serta eksistensi diri mereka adalah orang-orang atheis dalam konteks tidak percaya akan diri.
Salah satu untuk mengungkapkan identitas melalui sebuah kepercayaan diri dilihat di pintu masuk kuil di Delphi, terpampang tulisan terkenal yang berbunyi: KENALI DIRIMU SENDIRI! Mengingatkan para pengunjung bahwasannya manusia tidak boleh mempercayai bahwa dirinya lebih dari sekedar makluk hidup yang kelak akan mati dan tak ada seorang pun dapat lolos dari takdirnya. Selain itu, individu sendiri yang tau akan pengelolaan diri bukan orang lain. Orang lain hanya berkata, tetapi diri sendiri yang tahu akan sifat, perubahan, kemampuan serta identitas.
Dari pertanyataan diatas tulisan ini membawa konteks dasar psikologi mengenai kepercayaan diri. Karena pada dasarnya kepercayaan diri merupakan hasil dari konstruksi individu atas pengalaman. Menurut Erikson dalam analisis psikososial, rasa kepercayaan diri tumbuh pada diri individu dimulai pada pengalaman. Pengalaman yang menyenagkan dari berbagai rangsangan sosialnya.[3] Ketika pengalaman dari rangsangan sosial bersifat negatif maka individu takut akan mengelolah rasa kepercayaan diri. Seperti contoh, seorang anak takut naik sepeda karena pernah merasakan jatuh dan ketika anak tersebut mencoba maka dia kehilangan akan kepercayaan dirinya untuk naik sepeda kembali. Selain itu, takut akan menulis karena takut akan kritikan sosial yang membuat individu tersebut  jatuh.
Diperkuat oleh analisis teori Mead mengenai pembetukan Self Karena, pada dasarnya pembentukan self didasarkan pada tiga jenjang yaitu, play stage, games stage dan generalized other.[4] Jenjang pertama yaitu Play stage dimana individu mulai berimitasi, jikalau dikorelasikan dalam kepercayaan diri pada jenjang pertama ini individu mulai membangun kepercayaan dirinya melalui imitasi orang lain. Contohnya orang lebih percaya diri ketika melihat artis idolanya. Jenjang kedua ialah game stage dimana individu mulai mengetahui atas perannya dan peran orang lain. Dalam games stage ini sangat penting, karena bagus atau tidaknya self di bentuk didasarkan pada jenjang kedua. Jikalau di koreasikan dengan kepercayaan diri, kepercayaan diri yang dibangun oleh individu yang telah di imitasi dan menyadari bagus atau tidaknya yang mereka imitasi. Dengan itu, diperlukan social control dalam jenjang kedua ini. Ketika, social control tidak berjalan dengan baik maka, self yang dibentuk oleh individu ialah menjadi individu yang tidak percaya diri atau tidak menjadi dirinya sendiri. Dan jenjang yang ketiga ialah generalized other dimana individu mulai terbentuk atas bangunan kepribadian dirinya atau sikapnya. Dengan itu, pada jenjang ketiga ini kepercayaan diri sudah terbentuk sebagai dirinya sendiri yang terbentuk self nya sebagai eksistensi dirinya sendiri dengan kepercayaan yang tumbuh dari jenjang sebelumnya.
Dilema manusia akan kehilangan rasa percaya diri yaitu, dengan cara menghilangkan ketakutan seperti membuat mindset alam bawah sadar kita dengan hal yang positif seperti “kita hidup hanya sekali dan lebih baik melakukan hal-hal yang baik yang belum tentu terulang lagi”. Karena diperlukan sebuah tantangan untuk menguasai dan meperdayakan kualitas diri walaupun mengalami kegagalan. Pada hakikat kegagalan adalah sebuah pengalaman berharga untuk tidak masuk ke lubang yang sama dan lebih berhati-hati pada konteks tertentu.
Mengutip dari motto PUSDIMA “Kami ada bukan untuk membusungkan dada, tetapi kami ada untuk belajar” mengingatkan atas eksistensi diri sebagai makluk yang selalu belajar dari sebuah pengalaman. Pengalaman baik atau buruk tanpa ada keangkuhan atas kepercayaan diri berlebihan. Karena kepercayaan diri lahir karena adanya kerendahan hati yang selalu meberdayakan kualitas dan kompetansi diri.
Lalu, ketika saya tidak percaya akan kemampuan dan identitas diri apakah itu disebut atheis? ‘YA’ tidak lebih dari seorang atheis yang tidak mempercayai adanya eksistensi tuhan. Mereka adalah orang-orang yang sama hal buruknya sebagai manusia pendosa. Pendosa yang takut akan kompetensi dan kualitas diri di lingkungan sosial.





[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi 2015.
[2] Jostein Gaarder, Dunia Sophie, Mizan, hal. 224
[3] Elizabeth B, Psikolgi Perkembangan, Erlangga, hal. 35
[4] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia, Hal. 22

0 Komentar