Cara termudah melukiskan diri Sukarno adalah dengan menamainya seorang maha-pencipta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai wanita, dia mencintai seni, dan –melebihi segalanya- dia cinta kepada dirinya sendiri.”


Judul  buku           : Perempuan di Mata Sukarno
Penulis                : Nurani Soyomukti
Tahun terbit          : 2009
Penerbit               : Garasi
Jumlah halaman      : 164 halaman
Saya rasa tidak ada pemimpin bangsa Indonesia yang banyak membicarakan perempuan selain Sukarno. Ya, presiden pertama Republik Indonesia itu bahkan memiliki sebuah “kitab” yang mana diperuntukan untuk kaum perempuan Marhaen, Sarinah. Sarinah merupakan pengasuh ketika Sukarno kecil. Sarinah dianggap bisa mewakili kehidupan perempuan Marhaen, setelah lelah bekerja diluar rumah, mereka masih harus bekerja juga untuk melayani suami dan anak dirumah. Dalam pengantar buku Sarinah, Sukarno mengakui jika sudah lama ia bermaksud menulis buku tentang perempuan, namun niatnya selalu terhalang oleh berbagai macam kesibukan dan aktifitas pergerakan. Dalam buku Sarinah, Sukarno tampaknya ingin mengenang seorang tokoh yang berjasa dalam hidupnya ketika kecil.
Sejarah Indonesia yang selama ini terkesan androsentris sangat tidak memungkinkan mencatat peranan wanita didalamnya. Padahal untuk mencapai kemerdekaan sendiri haruslah ada kontribusi dari seluruh rakyat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.
Dalam buku ini dijelaskan bagaimana dunia bisa mencatat perempuan sebagai second sex. Dimana perempuan hanya dianggap manusia kedua dalam sejarah. Hal ini lahir dari sisa-sisa feodalisme yang belum tuntas di Nusantara. Ketika masa industrialisasi dan kapitalisasi merajalela melalui sistem kolonialisme, sesungguhnya tatanan feodal tidak pernah dihancurkan oleh penjajah. Malahan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk diperalat demi kekuasaan. Sebagai manusia kedua, kedudukan perempuan  tidak lah dianggap penting pada sistem feodalisme. Hal itu dipertegas dengan pandangan adat, budaya dan ideologi yang diterima oleh masyarakat. Dimana rakyat harus bekerja keras membayar upeti, jika tidak sanggup membayar upeti wajiblah menyerahkan tenaga mereka untuk bekerja kepada penguasa kolonial. Dizaman inilah kebanyakan laki-laki dijadikan pasukan perang sedangkan perempuan dijadikan selir dan pembantu istana.
Karakteristik perjuangan perempuan dengan jalan perang sudah ditinggalkan sejak berakhirnya perang Diponegoro. Setelah fase itu muncullah sebuah jalan pergerakan perempuan dibidang intelektual. Dimulai dengan fase Kartini. Ya, Kartini dianggap sebagai pembangun kesadaran kaum perempuan Indonesia kala itu. Korespondensi yang dilakukan Kartini dengan seorang kawan perempuannya di Belanda (yang belakangan diketahui bernama Stella Zeehandelaar) inilah yang membuka mata Kartini betapa terpuruk kondisi perempuan di negerinya. Kartini yang lahir di era transisi dari zaman feodal yang ditandai dengan corak ekonomi tanah (agraris) ke zaman industrialisasi ini begitu menyulitkan gerakannya untuk membela perempuan. Tanpa organisasi perempuan yang membantu, Kartini berjuang sendiri untuk melepaskan perempuan dari predikat “kaum yang lemah dan bodoh”.
          Organisasi perempuan mengalami politisasi baru terjadi sekitar tahun 1920-an. Dimana semua organisasi yang hidup di zaman tersebut seperti Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia memiliki sayap kanan organisasi perempuan. Sebenarnya masalah perempuan sudah mencuat dalam Kongres Pemuda I pada tahun 1926, yang nantinya Kongres Pemuda I ini akan berkaitan dengan Kongres Wanita I pada tahun 1928. Ketua Panitia, M. Tabrani menyatakan, “perjuangan melawan segala faktor yang menghabat emansipasi wanita Indonesia harus dilakukan secara bersama-sama, laki-laki dan perempuan”.
Pengaruh Kongres Perempuan pada 1928 begitu terasa. Dibuktikan setelah kongres diselenggarakan, muncullah berbagai macam organisasi perempuan yang radikal. Organisasi perempuan yang bernama Istri Sedar (yang nantinya akan berubah nama menjadi Gerwis, yang merupakan cikal bakal Gerwani) yang berada pada garis pertama melawan penjajahan. Didirikan pada 1930 di Bandung, organisasi ini aktif mendukung berdirinya “sekolah-sekolah liar” untuk perempuan.
Buku ini pun membahas kedekatan bung Karno dengan Gerwani, yang belakang disebut sebagai organisasi perempuan di bawah PKI karena kesamaan cara kedua organisasi tersebut melawan pemerintah, sama-sama radikal. Sebenarnya sampai 1955-an, kepentingan perempuan yang dibela Gerwani masih seimbang dengan kegiatan politik yang diperjuangkannya. Mereka menyatakan hak-hak perempuan dan hak anak tidak bisa dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Akan tetapi mulai pada masa Demokrasi Terpimpin, sedikit demi sedikit Gerwani mengesampingkan isu-isu perempuan. Gerwani disibukkan dengan isu-isu kerakyatan seperti penolakan terhadap kenaikan harga dengan kegiatan yang cukup keras.
Gerwani dan PKI sangat setia kepada Sukarno yang mereka sebut sebagai Panglima Besar Revolusi. Politik Internasional Sukarno yang menolak bantuan AS mendapat dukungan Gerwani yang anti-imperialis. Peran Gerwani berakhir seiring dengan penghancuran terhadap PKI dan menumbangkan pula pemerintahan Sukarno setelah malam 30 September 1965.
Bung Karno juga menuliskan pendapatnya mengenai kodrat perempuan. Perempuan yang selama ini dianggap lemah dan bodoh sebenarnya tidak begitu asalkan mereka mau belajar dan ada sarana agar mereka mau belajar. Sukarno menuturkan kesaksiannya ketika ia masih sekolah di HBS. Seringkali dia melihat jika teman laki-laki disekolah terkesan “lebih payah” dibanding teman-teman perempuan. Banyak teman-teman perempuannya yang begitu pintar dan aktif disekolah ketika itu. Bahkan Sukarno pernah menyukai seorang wanita Belanda yang cerdas disekolahnya, namun karena strata sosial yang disandangnya waktu itu, sang wanita pujaan hanya sebatas impian (ingat salah satu cuplikan dalam film Sukarno). Menurut Sukarno pula lah, yang membuat kesan wanita begitu lemah karena terbentuk secara sejarah. Kolonialisme yang membawa sistem kapitalisme hanya memandang seseorang secara materialis. Sehingga manusia hanya akan dianggap manusia jika dia memiliki uang dan memiliki jabatan. Pemikiran bung Karno mengenai feminisme dipengaruhi oleh pandangan Marxisme-Sosialisme. Sebagai seorang Marxian, Sukarno banyak dipengaruhi oleh pemikiran Engels mengenai perempuan.
Dari buku ini kita dapat menyimpulkan jika Sukarno tidak hanya mencintai perempuan, tapi juga peduli. Kecintaannya terhadap perempuan sebenarnya demi mendorong kaum perempuan karena mereka pun merupakan subjek penting dalam sejarah. Dan kini sudah saatnya perempuan mengambil andil dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah Indonesia selama ini kebanyakan berkutat dengan politik dan kekuasaan,  sehingga penulisan sejarahnya pun hanya meliputi laki-laki saja. Perempuan Indonesia! Mari menulis! Mari membuat sejarah! Dan Merdeka!

Depok, 2 Maret 2015
08.17 WIB

Mari menulis dan bergerak perempaun Indonesia!!

0 Komentar