MEA dan Nasib Perikanan Kita
Oleh: Ayi Hambali
Kesiapan Indonesia
dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN masih seperti rimba belantara,
berbagai aturan yang diterapkan dalam MEA bisa saja menguntungkan atau malah
berbalik merugikan Negara kita, dan siap atau tidak siap Negara ini harus bisa
menaggung segala konsekuensinya. Dan bila bicara soal MEA akhir-akhir ini
sektor ekonomi yang ramai diperbincangkan media adalah sektor perikanan.
Pasalnya Indonesia telah melewatkan posisinya sebagai Koordinator bidang
perikanan ASEAN, padahal Indonesia sangat berkepentingan dalam bidang
perekonomian yang sangat strategis ini.
Dalam rencana
pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), disepakati adanya percepatan
perdagangan bebas di 12 sektor ekonomi, salah satunya adalah sektor perikanan.
Namun sayangnya Indonesia sedari awal sudah melewatkan posisi yang strategis
ini, peran sebagai koordinator perdagangan bebas sektor perikanan justru
dipegang oleh Myanmar. Sedangkan Indonesia justru manjadi coordinator percepatan
integrasi ekonomi sektor otomotif dan produk kayu (he..he.. bingung terutama
untuk yang otomotif).
Hal ini jelas sangat
aneh mengingat Indonesia lebih berkepentingan dalam bidang koordinator
perikanan daripada koordinator otomotif, salah satunya karena Indonesia
memiliki lautan terluas di ASEAN. Dalam publikasi pemetaan wilayah laut
Indonesia oleh ASEAN Regional Center for
Biodiversity Conservation (ARCBC), luas wilayah zona ekonomi ekslusif (ZEE)
Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi, sementara luas zona ekonomi
eklusif (ZEE) Myanmar hanya sekitar 509.500 km persegi saja, atau hanya sekitar
8 persennya luas ZEE Indonesia. Dengan luas total zona ekonomi ekslusif (ZEE)
ASEAN , maka 59 persen kekayaan alam ASEAN
adalah milik Indonesia dan memiliki hak atas kekayaan alam yang berada di
dalamnya.
Alasan mengapa
Indonesia melewatkan posisi koordinator bidang perikanan ini, karena Indonesia
dianggap belum siap sebagai koordinator dengan berbagai permasalahan disektor
perikanannya, seperti ketidaksiapan Indonesia dalam pemasaran produk perikanan,
dimana aspek produksi perikanan Indonesia tidak sepenuhnya siap menerapkan
berbagai kesepakatan regulasi sebagai koordinator bidang perikanan dalam MEA. Belum
lagi masalah ketidaksiapan penegakan peraturan batas kawasan perikanan antar
Negara yang mengacu kepada zonasi wilayah laut Indian Ocean Fishery Commission dan Indo-Pasific Fisheries Commisson, tidak jarang kita mendengar tentang
warga Negara lain yang bisa memasuki wilayah penangkapan ikan Indonesia dan menagkap
ikan secara illegal. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KPP) pernah menghitung
potensi kerugian Negara, ada sekitar 5.000 kapal asing yang melakukan
pengakapan ikan illegal dilaut Indonesia dan
karenanya Indonesia merugi Rp 300 triliun, atau sekitar Rp 25 triliun perbulan.
Memang beberapa waktu
belakangan Indonesia terlihat lebih serius membenahi masalah ini, akan tetapi
itu memang sudah menjadi keharusan bagi pemerintah menjaga kekayaan laut kita.
Penangkapan-penangkapan ikan ilegal kapal asing bisa jadi hanya bagian kecil
dari penjarahan kekayaan alam kita oleh asing, dan bagian besarnya mungkin
(semoga saja tidak) akan terjadi dalam pentas global Masyarkat Ekonomi ASEAN
(MEA) yang akan kita hadapi sekarng ini, sinyal-sinyal tanda waspada-pun muncul
kali ini diawali dengan perikanan kita, dan mungkin pada bidang-biadang
perekonomian lain untuk menunggu giliran selanjutnya. Mengingat 59 persen
kekayaan kawasan ASEAN baik itu kekayaan darat maupun laut adalah haknya
Indonesia, dan 41 persen sisanya kini bertindak layaknya penerima keuntungan. Bila diibaratkan
patungan uang ketika masing-masing Negara menyumbang 500 maka Indonesia bertindak
layaknya dermawan besar ia menyumbang 1000,
dia menyumbangkan uangnya yang
lebih besar dari Negara-negara lain bukan karena dia mau tapi karena
kemitraanya untuk memajukan perekonomian ASEAN, mau tidak mau sebagai pemilik
harta paling banyak harus lebih dermawan dari mitra kerjasama yang lain, dengan
alasan percepatan perekonomian kawasan.
0 Komentar