(Pandangan Seorang Mahasiswa Mengenai Isu Sidang Pra Peradilan Komjen BG dan “Kriminalisasi” KPK)

Oleh: Faisal Rasyad


Seolah tidak ada habisnya, pemberitaan mengenai KPK kontra Porli tidak kunjung menemui titik temu  penyelesaian. Permasalahan semakin bergulir pada babak baru yang semakin mendebarkan. Diketahui, baru baru ini pada tanggal 16 Februari 2015 . hal yang membuat kita semakin bingung merupakan dalam kasus ini masyarakat semakin geram ketika melihat kasus ini. Sebagian ada yang mendukung KPK, sebagian polri, dan sebagian ketiga ingin menyelamatkan Indonesia atau ketiganya.
Masyarakat semakin dipenuhi kegamangan ketika menerima berita. Ada satu media yang mengatakan bahwa kubu KPK meng-klaim bahwa mereka  yakin sidang yang diajukan Komjen BG akan digagalkan. Sedangkan media yang lainnya mengatakan bahwa kubu BG akan diterima gugatannya. Sementara baru baru ini pada perkembangannya kasus ini bergulir kepada tahap putusan sidang pra peradilan yang diajukan oleh Komjen BG. Sidang itu mengeluarkan keputusan bahwa status tersangka BG yang ditetapkan oleh KPK, menjadi tercabut. Di lain Pihak dari kubu KPK mulai mengalami kerontokan fungsi. Hal itu dipicu oleh penetapan tersangka para pimpinan KPK.
                Diketahui kasus peralih perhatian ini, bermula dari penetapan tersangka seorang  Komjen Polisi berinisial BG oleh KPK.  Kasus berawal dari Komjen BG yang terlibat oleh kasus rekening gendut Polri yang melibatkan beberapa petinggi lain. Hal yang lebih menarik lagi penetapan tersangka secara kebetulan bertepatan dengan dirinya yang dipromosikan oleh Presiden Jokowi . merasa keberatan dengan penetapan KPK Komjen BG mengajukan sidang Pra-peradilan. Singkat, Komjen BG memenangkan sidang pra-peradilan yang diputuskan oleh Hakim Sarpin. Komjen BG menuntut KPK membersihkan namanya kembali.
                Konflik tidak terhenti sampai pada hasil sidang Pra-peradilan yang berimplikasi pencabutan status tersangka kepada Budi Gunawan. Tempo hari, tepatnya Rabu tanggal 18 Februari 2015 publik dibuat tercengang. Hal tersebut dapat terjadi pasalnya, Ketua KPK, AS Ditetapkan sebagai tersangka. AS ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus pemalsuan dokumen dirinya atas seorang gadis. Ia diduga ikut membantu. Ia terjerat dengan pasal 268 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan kurungan delapan tahun bagi pelanggar.
Hal ini dianggap oleh masyarakat sebagai tindak balasan Polri terhadap KPK. Namun diketahui dari pihak kepolisian Sulselbar Kompol Endi yang ditanyakan oleh wartawan bbc Indonesia, jawabannya tidak menyalahi aturan. Hal itu diperkuat oleh pernyataan “Dalam gelar perkara yang diadakan pada tanggal 9 Februari, semua unsur penyidik setuju bahwa Saudara AS sudah cukup bukti untuk ditingkatkan statusnya sebagai tersangka.”
                Gelombang kedua muncul ketika satu lagi pimpinan KPK terjerat sebuah kasus. Kali ini ada Bambang Widjoyanto. Berikutnya menyusul Novel Baswedan, dan disusul oleh 21 penyidik KPK lainnya yang ditersangkakan oleh Polisi atas kepemilikan senjata api secara ilegal.
                Sebagai Pihak ketiga yang menyaksikan berita , membuat mereka semakin dibalut oleh kegamangan massal. Hal tersebut seolah membuat masyarakat semakin terjebak kedalam ruang ilusi alih-alih ruang nostalgia.  
Masyarakat yang terpengaruh dan terlalu memberatkan ke satu pihak seolah masyarakat terjebak ke dalam hiperrealitas media, maksudnya pemberitaan media yang terjadi terus menerus berakibat masyarakat semakin bingung akan sebuah kenyataan yang pada akhirnya mereka tidak menyadari bahwa mereka memasuki hiperrealitas itu sendiri. Masyarakat  yang seperti ini terjebak dalam ambivalensi  yang menurut Bauman maksudnya adalah masyarakat tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang  keliru. Hingga pada tahap lanjut masyarakat semakin terjebak kepada nilai nilai yang semakin kabur terhadap tingkat kepercayaannya kepada negara. Hingga berimplikasi pada masyarakat yang apatis.
Selain itu bagi masyarakat perkotaan, dampaknya akan lebih terasa. Karna memang di perkotaan merupakan pusat dari segala informasi negara ibarat kata. Warga perkotaan yang terjebak kedalam berita seperti ini yang semakin hari semakin berganti beritanya dengan percepatan yang membuat masyarakat perkotaan sendiri bagaikan melompati ruang dan waktu yang begitu mudah yang membuat mereka terjebak ke dalam “Blaise Attitude” atau yang dimaksud oleh Simmel adalah Kejenuhan atas rutinitas(Georg Simmel, (1950)[1903]).
Namun dibalik itu semua ada dampak positif yang dapat diambil oleh sebagian masyarakat. Mereka semakin memahami prosedur hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu komunikasi politik yang berdampak baik bagi masyarakat, karena media juga merupakan salah satu cara menyampaikan komunikasi politik. Masyarakat yang mengikuti alur berita ini sambil melakukan refleksi kritis terhadap hulu-hilir dari sebuah kasus, akan mendapat pencerahan secara objektif antara mana yang rekayasa dan mana yang riil.
                Setelah kita memahami perjalanan kasus secara komprehensif, sebaiknya kita dapat memilah kemana arah dari kasus ini. Sebagai warga Indonesia yang kritis, dimulai membaca tulisan ini semoga  hal ini dapat didiskusikan lebih lanjut dalam keterbukaan.
                Kemudian daripada itu perlu adanya sinergitas dari institusi dalam bidang yang sama dalam pencapaian tujuan. Diperlukan keseriusan dari lembaga-lembaga terkait untuk menyelesaikan kasus korupsi. dalam konteks Indonesia ada tiga lembaga yang saya ketahui dalam upaya pemberantasan Korupsi. yang pertama ada KPK. Lalu kepolisian. Berikutnya ada kejaksaan. Ketiga instansi diharuskan berjalan beriringan dalam memberantas korupsi. dengan menggunakan pendekatan struktural-fungsional  seperti ungkapan Talcott Parsons ungkapkan, bahwa sistem sosial memiliki beberapa sebuah subsistem yang saling bekerja sama. Sama halnya dengan institusi melawan korupsi, polri dan KPK merupakan institusi yang memiliki spirit yang sama dalam hal memberantas korupsi. jika ingin korupsi lebih cepat diatasi, kerja sama ini merupakan harga mati
                Yang terakhir diperlukan langkah tegas dari pemerintah dalam menangani konflik ini. Dalam hal ini presiden perlu mengeluarkan perpu atau dapat menjadi seorang arbiter. Karna secara undang undang 45, ada pasal yang menyebutkan bahwa presiden merupakan panglima tertinggi TNI dan Polri. Dalam artian, Polri akan lebih menghormati keputusan presiden daripada keputusan siapapun.

0 Komentar