Oleh: Rinaldi Isnawan P


Lintang (13), siswi SMP Negeri 1 Palawali, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, jatuh pingsan dan meninggal saat menjalani hukuman lari dari gurunya, Kamis (5/2) sekitar pukul 11.00. Ia dihukum lari keliling lapangan basket oleh guru Bahasa Indonesia lantaran tak mengerjakan pekerjaan rumah. (Kompas, 6 februari 2014)
Kasus tersebut merupakan salah satu kasus kekerasan guru terhadap muridnya, meskipun dalam kasus tersebut sebenarnya tidak ada unsur kesengajaan dari sang guru sehingga menyebabkan muridnya harus meregang nyawa. Pemberian hukuman memang sebenarnya diperbolehkan dalam dunia pendidikan, namun alangkah baiknya para pendidik lebih mengutamakan memberikan hukuman kepada peserta didik yang bersifat preventif dibanding yang bersifat represif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti melemahnya aspek fisik maupun aspek psikis peserta didik.  Menurut pasal 1, UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam hal mendidik, hampir setiap pendidik/guru selalu ingin menanamkan nilai-nilai tertentu pada muridnya, dan mengharapkan, mendorong atau bahkan mengharuskan para muridnya untuk berbuat sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan, semisal sang murid harus selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh sang guru seperti harus mengerjakan PR dengan diberikan deadline dan sebagainya. Namun sebenarnya, ada yang hampir selalu dilupakan oleh para pendidik, yaitu para peserta didik sesungguhnya memiliki kebebasan sendiri yang sebenarnya perlu mendapatkan penghargaan dari pendidik. Apabila dianalogikan, murid bukanlah topeng monyet yang setiap gerakannya selalu ditentukan oleh dalangnya (guru), dan apabila gerakannya tidak sesuai dengan yang dimaksudkan maka akan murkalah perasaan sang dalang (guru) tersebut, bahkan terkadang memberikan tindakan represif terhadap topeng monyet tersebut. Menurut Carl Rogers, alangkah baiknya seorang guru tidak membuat jarak yang tidak terlalu tajam dengan siswa, tetapi menempatkan diri berdampingan dengan siswa dengan posisi siap memberi bantuan belajar. Seorang murid tidak hanya dibebaskan , artinya tanpa dipaksa menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu tertentu, akan tetapi juga belajar membebaskan dirinya untuk menjadi manusia yang berani memilih sendiri apa yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab. Dapat ditegaskan bahwa belajar menurut Carl Rogers adalah kebebasan dan kemerdekaan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, murid dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Maksudnya adalah kebebasan dan kemerdekaan merupakan sikap dasar manusia, jika murid terkungkung atau terintimidasi, maka akan sulit bagi murid untuk dapat mengetahui apa yang dipelajarinya, karena sesungguhnya seorang murid hanya akan belajar apa yang menurut dia penting saja.
Solusi dari penulis untuk kasus kekerasan guru ini adalah sebaiknya seorang guru memiliki rasa empati pada setiap muridnya terlebih dahulu, sehingga sang guru dapat merasakan apa yang dirasakan muridnya, misalnya apabila seorang murid tidak mengerjakan PR, alangkah baiknya sang guru mau mendengarkan dan mengerti sang murid terlebih dahulu atas dasar apa dia tidak mengerjakan PR, setelah mendapatkan penjelasan dari sang murid barulah sang guru dapat memberikan tindakan yang sekiranya pantas untuk mendorong sang murid agar tidak mengulangi kesalahannya lagi. Ibarat seorang dokter adalah memberikan diagnosa terlebih dahulu sebelum memberikan resep kepada pasiennya yang sedang sakit. Yang kedua adalah apabila memang diharuskan memberikan hukuman, hendaknya berikanlah hukuman yang preventif, misalnya apabila sang anak tidak mengerjakan PR, hendaknya berikanlah hukuman yang dapat membimbing murid, semisal memberikan jam pelajaran tambahan secara sukarela kepada murid tersebut dan sifatnya privat, karena pada dasarnya alasan murid tidak mengerjakan PR itu bermacam-macam dari mulai belum mengerti pelajaran yang diajarkan namun sang murid malu bertanya, dan malas. Apabila alasan sang murid tidak mengerjakan PR karena malas, hendaknya hukuman yang diberikan berupa motivasi terus menerus agar sang murid sadar betapa pentingnya sebuah PR untuk dirinya.

0 Komentar