Opini
REKONSTRUKSI BUKU TEKS SEKOLAH
Oleh:Muh.Handar
Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan.Ia adalah kendaraan utama ‘transfusi’ materi kurikulum ke hadapan siswa.Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley,misalnya menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung ‘a mile wide and an inch deep’.Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil,sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip ‘less is more’ (sedikit itu banyak).Untuk pelajaran fisika biologi kelas 6,misalnya buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik.
Lalu bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah.Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi,buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi yang mendasar.Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru,apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini,akan tetapi isinya idak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan.Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula,untuk tidak dikatakan kadaluarsa,sehinggga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat.Dengan kondisi ini,harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi.Buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa,bahkan juga oleh sebagian besar guru.Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal,Pertama,ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional,tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya.Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut.Pertama,kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai.Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi.Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti inservice training,sertifikasi,atau bahkan program pascasarjana.Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya,juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.Di tengah kondisi yang demikian,perlu dicari alternatif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek,dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama.Dalam hal ini,kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun dan tentunya,relevan terhadap temuan terbaru menjadi semakin mendesak.
Kedua,seperti yang diungkapkan diatas,buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses oleh seluruh siswa,bahkan oleh sebagian besar guru juga.Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius.Di samping itu,seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement tahun 1999,minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang di survei.Tentunya,keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka.Dan bahkan,mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.Kelemahan buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal,yaitu isi,bahasa,desain grafis,metodologi penulisan,dan strategi indexing.Seperti di singgung di atas,masalah isi mengandung dua cacat pokok,yakni terlalu banyak dan kadaluarsa dan karena itu menyesatkan,sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir.Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan.Dari segi bahasa dan ilustrasi,kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku.Dari segi metodologi penulisan,dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif emosional siswa,terutama dalam buku-buku sosial.moral,dan keagamaan.Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik,kering,dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi sebuah buku.Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca,indexing hampir tidak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita.Tidak seperti buku-buku teks sekolah semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks.Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi.Dalam beberapa studi disebutkan,ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan.Karena dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yaang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.
Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi.Bagaimana tidak,walaupun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar,yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar.Dan seharusnya pemerintah bisa membangun semacam ‘kamp konsentrasi penulisan buku paket’ dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar,”Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.” Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa,dan bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa.Tidak bisa dimungkiri,buku paket merupakan salah satu kalau tidak salah satunya media belajar yang bisa di pegang,dirasakan bahkan menjadi teman tidur siswa yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu di pojok-pojok kamar mereka.Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian ‘teman setia’nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.
Buku pelajaran (textbook) merupakan media pembelajaran yang dominan bahkan sentral dalam sebuah sistem pendidikan.Ia adalah kendaraan utama ‘transfusi’ materi kurikulum ke hadapan siswa.Karena perannya yang demikian sentral itu maka kemajuan dan kemunduran pendidikan suatu bangsa dapat dilacak dari tinggi rendahnya mutu buku teks yang dibaca oleh anak didik.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Kathy Chekley,misalnya menemukan bahwa ketertinggalan siswa Amerika dari siswa Jepang dalam penguasaan matematika dan sains berawal dari buku-buku teks sekolah Amerika yang cenderung ‘a mile wide and an inch deep’.Buku-buku teks sekolah Amerika dipenuhi oleh halaman-halaman tanpa makna dan terlalu detail terhadap konsep-konsep kecil,sementara buku-buku teks Jepang menganut prinsip ‘less is more’ (sedikit itu banyak).Untuk pelajaran fisika biologi kelas 6,misalnya buku teks Jepang hanya memuat 6 topik sedangkan Amerika 65 topik.
Lalu bagaimana dengan buku-buku teks sekolah di Indonesia? Keadaannya lebih parah.Di samping tingkat kepadatan materi yang tinggi,buku teks sekolah Indonesia menyimpan cacat isi yang mendasar.Memang banyak muncul buku teks terbitan terbaru,apalagi dengan kebijakan e-book baru-baru ini,akan tetapi isinya idak fokus dan sering kali merupakan pengulangan-pengulangan.Yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah siklus daur ulang materi-materi lama dengan referensi lama pula,untuk tidak dikatakan kadaluarsa,sehinggga perkembangan pengetahuan siswa pada dasarnya jalan di tempat.Dengan kondisi ini,harapan agar siswa bisa mengantisipasi masa depan jika pelajaran-pelajaran yang disodorkan justru tidak responsif terhadap perkembangan yang sedang terjadi.Buku pelajaran (textbook) merupakan satu-satunya buku rujukan yang dibaca oleh siswa,bahkan juga oleh sebagian besar guru.Hal ini setidaknya menunjukkan dua hal,Pertama,ketergantungan siswa dan guru yang begitu besar terhadap kelemahan mendasar dunia pendidikan nasional,tetapi pada sisi lain menginspirasikan treatment strategis bagi pengembangannya.Ada beberapa alasan mengapa buku paket menjadi alternatif strategis akseleratif pembangunan kembali dunia pendidikan Indonesia yang sudah bangkrut.Pertama,kualitas guru yang sebagian besar tidak memadai.Rendahnya mutu guru salah satunya disebabkan oleh masih adanya angka guru mismatch dan underqualified yang relatif tinggi.Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru seperti inservice training,sertifikasi,atau bahkan program pascasarjana.Tetapi usaha semacam ini, di samping sulit menjamin kualitas hasilnya,juga membutuhkan biaya besar dan waktu lama.Di tengah kondisi yang demikian,perlu dicari alternatif yang paling mungkin untuk menolong siswa dalam jangka pendek,dan tanpa membutuhkan waktu terlalu lama.Dalam hal ini,kehadiran buku pelajaran berkualitas yang dirancang dengan asumsi bisa dipahami dengan baik tanpa guru sekalipun dan tentunya,relevan terhadap temuan terbaru menjadi semakin mendesak.
Kedua,seperti yang diungkapkan diatas,buku paket merupakan satu-satunya buku rujukan yang dapat diakses oleh seluruh siswa,bahkan oleh sebagian besar guru juga.Tragis sekali bila satu-satunya sumber belajar yang bisa diakses siswa ini tidak ditangani secara serius.Di samping itu,seperti yang ditunjukkan oleh laporan International Education Achievement tahun 1999,minat baca siswa di sekolah-sekolah Indonesia menempati nomor dua terakhir dari 39 negara yang di survei.Tentunya,keadaannya akan semakin parah bila minat baca siswa yang minim tersebut diperburuk oleh rendahnya kualitas buku pegangan yang menjadi satu-satunya buku bacaan mereka.Dan bahkan,mereka bisa jadi kehilangan minat terhadap buku.Kelemahan buku-buku teks yang banyak beredar setidaknya mencakup lima hal,yaitu isi,bahasa,desain grafis,metodologi penulisan,dan strategi indexing.Seperti di singgung di atas,masalah isi mengandung dua cacat pokok,yakni terlalu banyak dan kadaluarsa dan karena itu menyesatkan,sebab sudah tidak sesuai dengan penemuan-penemuan mutakhir.Hal ini setidaknya juga bisa dilihat dari referensi lama yang dipergunakan.Dari segi bahasa dan ilustrasi,kelemahan menonjol buku-buku teks adalah penggunaan bahasa dan ilustrasi yang tidak komunikatif sehingga tidak berhasil menyampaikan pesan inti buku.Dari segi metodologi penulisan,dapat dilihat dari tidak adanya nuansa yang bisa menggugah kesadaran afektif emosional siswa,terutama dalam buku-buku sosial.moral,dan keagamaan.Pendekatan yang dipakai terlalu materialistik,kering,dan membosankan sehingga gagal menyampaikan pesan isi sebuah buku.Dari aspek strategi kemudahan untuk membaca,indexing hampir tidak pernah ada dalam buku-buku teks sekolah anak-anak kita.Tidak seperti buku-buku teks sekolah semisal di Singapura dan Amerika yang kaya dengan indeks.Buku-buku teks kita miskin inisiatif bahkan untuk sebagian buku teks di perguruan tinggi.Dalam beberapa studi disebutkan,ketersediaan indeks dalam buku teks akan menaikkan tingkat analitis dan daya kritis anak terhadap setiap persoalan.Karena dengan indeks seorang anak akan belajar bagaimana melihat kebutuhan pokok bahasan yaang sesuai dengan minat dan keinginannya tanpa perlu waktu lama dalam memperolehnya.
Kelima masalah di atas bisa jadi berawal dari honor yang diterima oleh para penulis sangat kecil dan kadang tidak manusiawi.Bagaimana tidak,walaupun anggaran yang dialokasikan untuk buku sangat besar,yang diterima oleh penulis justru sangat tidak wajar.Dan seharusnya pemerintah bisa membangun semacam ‘kamp konsentrasi penulisan buku paket’ dengan membayar penulis-penulis andal dengan satu tema besar,”Melahirkan buku-buku teks berkualitas bagi pembangunan masa depan bangsa.” Bila kita sepakat bahwa yang paling berkepentingan dalam pendidikan adalah siswa,dan bahwa setiap usaha peningkatan mutu pendidikan bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan siswa.Tidak bisa dimungkiri,buku paket merupakan salah satu kalau tidak salah satunya media belajar yang bisa di pegang,dirasakan bahkan menjadi teman tidur siswa yang kebetulan sebagian besar miskin dan tak berdaya itu di pojok-pojok kamar mereka.Merupakan kekeliruan fatal bila kemudian ‘teman setia’nya tersebut tidak mampu mengantarnya ke gerbang pengetahuan dan masa depan yang lebih baik.
0 Komentar