Oleh: Julian Jordan Miracle


Abstrak 

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan perjuangan rakyat dalam pemerintahan darurat di Karesidenan Pekalongan, yang tujuannya untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala ancaman yang mengganggu kedaulatan negara. Penelitian ini menekankan fokus pada Karesidenan Pekalongan yang menghadapi Agresi Militer I dan Agresi Militer II pada masa awal kemerdekaan. Kemerdekaan bagaikan sisi mata uang, dimana pihak rakyat, dimana rakyat menyambut hangat dan penuh kegembiraan, tetapi di pihak pejabat setempat bingung akan menentukan sikap mereka terhadap pejabat militer dan pejabat sipil yang masih berkuasa. Pada masa ini juga menjadi awal pindahnya pusat pemerintahan Karesidenan Pekalongan, mulai dari 3 Agustus 1947, hingga tahun 1949, dimana masa akhir perjuangan rakyat yang berhasil mengusir penjajah. 

 Kata Kunci : Agresi, Karesidenan Pekalongan, Perlawanan.

Abstract 

The writing of this article is to describe the struggle of the people in the emergency government in the Pekalongan Prefecture, which aims to defend the sovereignty of the Unitary State of the Republic of Indonesia from all threats that disrupt the sovereignty of the state. This research focuses on the Pekalongan Prefecture, which faced Military Aggression I and Military Aggression II in the early days of independence. Independence was like the sides of a coin, where the people welcomed it enthusiastically and happily, but local government officials were confused about their attitude towards the military and civilian officials who were still in power. This period was also the beginning of the move of the center of government of the Pekalongan Prefecture, starting from August 3, 1947, until 1949, which was the end of the struggle of the people who succeeded in expelling the colonialist. 

Keywords: Aggression, Pekalongan Karesidenan, Resistance.


1. Pendahuluan 

    Karesidenan Pekalongan atau Residen Pekalongan merupakan sebuah karesidenan, atau seperti Balai Kota di DKI Jakarta pada masa kini. Tempat ini adalah pusat pemerintahan di wilayah Pekalongan. Karesidenan sendiri adalah pembagian wilayah, pada masa Hindia Belanda, yaitu residen atau residensi, seperti Kabupaten/Kotamadya pada saat ini. Karesidenan Pekalongan dijadikan sebagai Pusat Pemerintahan Darurat pada masa Agresi Militer I dan II. Saat itu, Kerajaan Belanda berusaha untuk menguasai kembali Indonesia, sehingga melakukan agresi, dengan bantuan tentara sekutu. 

    Hal yang menarik untuk diteliti adalah gigihnya rakyat serta peran rakyat dalam menjaga kesatuan serta keutuhan Republik Indonesia, dengan cara mempertahankan Karesidenan Pekalongan. Dampak yang dirasakan hingga saat ini adalah wilayah Pekalongan, serta sebagian besar Jawa Tengah masih berada di pangkuan Indonesia. Dalam rangka mengisi kemerdekaan dengan hal hal yang baik, maka penulis meneliti seperti apa perjuangan rakyat untuk mempertahankan Karesidenan Pekalongan sebagai pusat pemerintahan darurat.

    Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai perjuangan rakyat untuk mempertahankan Karesidenan Pekalongan sebagai pusat pemerintahan darurat. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk memaparkan, dan untuk mengetahui apa saja dampak dari perjuangan rakyat untuk mempertahankan Karesidenan Pekalongan sebagai pusat pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat Karesidenan Pekalongan menjadi suatu hal menarik untuk ditelusuri, apa saja peristiwa sejarah yang masih dikenang ada hingga kini, dan dampak dari perjuangan rakyat untuk mempertahankan Karesidenan Pekalongan sebagai pusat pemerintahan darurat pada masa Agresi Militer I dan II. Penelitian ini juga bertujuan untuk menjadikan kajian mengenai Karesidenan Pekalongan, khususnya sejarah kota Pekalongan, menjadi semakin luas dan banyak diketahui oleh para akademisi maupun masyarakat. 

    Hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan hasil observasi dan penelitian yang memandai dan didasarkan pada data empiris menjadi arah penentu perencanaan kajian ini. Oleh karena itu, kajian ini akan menjadi sumbangan bagi pengkajian sejarah, khususnya sejarah sosial dan sejarah lokal mengenai peran Karesidenan Pekalongan dalam masa awal kemerdekaan. Selain itu, diharapkan kajian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan, bagi para akademisi ataupun masyarakat tentang perkembangan dan sejarah kota Pekalongan dan wilayah eks Karesidenan Pekalongan.

    2. Teori 

    Peran rakyat dalam mempertahankan Karesidenan Pekalongan sebagai pusat pemerintahan darurat sudah tidak bisa dipungkiri membawa dampak yang besar terhadap satunya daerah daerah di pulau Jawa. Pasukan Belanda kembali bersama pasukan sekutu, berusaha untuk merebut kembali Republik Indonesia dan menjajah. Hal ini dilakukan dengan cara invasi, atau agresi, penyerangan secara militer. Agresi I dan II dilancarkan di pulau Jawa. Agresi Militer I tersebar di berbagai wilayah di Jawa, sedangkan Agresi Militer II tepatnya terletak di Yogyakarta. Penyerbuan ini menjadi suatu masalah serta ancaman baru bagi Republik Indonesia pada masa awal lahirnya.

    Rakyat berperan sangat penting dalam kesatuan dan keutuhan Republik Indonesia, sehingga penulis berteori jika rakyat merupakan komponen utama selain TKR untuk mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Militer I dan II. Penulis juga berpendapat bahwa terjadinya Agresi Militer I dan II terjadi karena kondisi politik di Kerajaan Belanda serta taktik Belanda untuk kembali menguasai Indonesia dengan membangun kekuatan kembali di wilayah yang masih dikuasai oleh Belanda di Indonesia.

3. Metodologi 

    Penelitian ini menggunakan metode Sejarah atau Historis dan penyajian hasil penelitian ditulis dalam bentuk deskriptif – naratif yang menjelaskan dan menguraikan kejadian dalam dimensi ruang dan waktu. Metode yang digunakan sebagai parameter dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan lima tahap, yaitu pemilihan topik, heuristik (pengumpulan data), verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi dan historiografi. 

    Seperti penelitian lainnya, harus terdapat suatu hal yang menarik untuk diteliti, seperti dalam penulisan sejarah yaitu menarik untuk diteliti, asli, bukan merupakan pengulangan, ketersediaan sumber, dan adanya kedekatan emosional. Diharapkan dari pemilihan topik ini, penulis dapat memberikan informasi mengenai Peran Rakyat Dalam Pemerintahan Darurat Karesidenan Pekalongan 1947- 1949.

    Sumber penelitian yang didapatkan oleh penulis adalah sumber sekunder. Pada dasarnya, sumber penelitian dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sekunder adalah sumber berupa buku yang memiliki kaitan langsung dengan Peran Rakyat Dalam Pemerintahan Darurat Karesidenan Pekalongan 1947- 1949, yang didapatkan dari Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan UPT UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan laman milik Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan RI, Direktorat Sejarah dan Purbakala.

    4. Temuan 

Penulis menemukan bahwa adanya perpindahan pusat pemerintahan karena keadaan darurat, dan hal ini terjadi di Karesidenan Pekalongan, karena itu, wilayah pemerintahan dipindahkan ke Kecamatan Lebakbarang, Pekalongan Selatan. Perpindahan ini disebabkan oleh motif untuk keamanan, sehingga jika pemerintahan tetap berada di Pekalongan Utara, dikhawatirkan akan diserbu oleh pasukan Belanda.

    Pada saat Agresi Militer I dan II, digunakan taktik untuk mempertahankan Indonesia serta untuk membendung serangan pihak musuh, dilakukanlah taktik gerilya. Taktik gerilya merupakan suatu cara dimana pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) bergerak secara diam diam atau infiltrasi ke wilayah yang dikuasai pihak musuh, sehingga musuh tidak menyadari bahwa mereka akan dikepung dan diserang secara mendadak. Salah satu tokoh yang berjasa dalam pengembangan taktik gerilya adalah Panglima Besar Jendral Soedirman. Beliaulah yang menjadi pusat taktik gerilya sehingga menyulitkan pihak musuh.

    Selain itu, pada masa 1948, diadakan perundingan, yaitu Perjanjian Renville, dimana diakuinya Wilayah Indonesia hanya meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra, tentunya hal ini sangat merugikan pihak Indonesia. Belanda melanggar Perjanjian Renville dan bahkan saat Agesi Militer I Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati, dimana wilayah Indonesia yang diakui secara de facto adalah Sumatra, Jawa dan Madura.

    Keadaan pada masa itu diperburuk dengan pemberontakan PKI yang dipimpim Musso di Madiun, dan adanya pemberontakan tambahan dari DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia). Hal ini menyebabkan kondisi di Indonesia semakin buruk, dari segi keamanan dan politik.

   Keadaan politik di Kerajaan Belanda pun mendorong adanya Agresi Militer I, karena diangkatnya Dr. Willem Drees sebagai Perdana Mentri yang baru, pada tanggal 6 Agustus 1948, menjadikan Drees mengangkat Dr. L. J. M. Beel men jadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Kerajaan Belanda di Indonesia. Beel adalah orang yang sangat keras, setelah menggantikan van Mook sebagai Wakil Gubenur Jendral, Beel kemudian mengangkat Letjend. Spoor yang keras dan ingin menghancurkan kekuatan TNI di Indonesia agar mendapat dukungan politik.

   Belanda membangun kekuatan di daerah yang dianggap mereka ‘kuasai’ yakni daerah daerah yang mereka miliki pada saat Perjanjian Linggarjati maupun Perjanjian Renville. Belanda membangun kekuatan secara perlahan dan tidak diketahui, ketika memiliki kesempatan, ada tentara sekutu yang berpatroli di wilayah Asia Tenggara, maka Belanda meminta bantuan, sehingga pada saat Netherlands Indies Civil Administration atau NICA datang, NICA membonceng tentara sekutu. Negara boneka pun menjadi pertahanan Belanda di wilayah Nusantara.

    Para rakyat di Karesidenan Pekalongan pun turut serta dalam perang, melakukan taktik gerilya, sehingga dapat mematahkan serangan Belanda, di Watukumpul. Selain itu, wilayah Beji juga dapat ‘disterilkan’ dari Belanda, dan wilayah Jatibarang juga aman dari patrol pasukan Belanda. Wali Al Fatah selaku pemimpin Karesidenan Pekalongan dicopot secara sepihak karena dianggap tidak mendukung RI dengan memindahkan pemerintahan ke Lebakbarang, dan bukan melawan Belanda. Maka Wali Al Fatah dicopot oleh para pejuang yang masih bertahan di Karesidenan Pekalongan dan memilih R. Soedjono sebagai penggantinya.

    Rakyat menyatukan seluruh kekuatan di desa Penggarit, sehingga kekuatan induk militer berada di Penggarit, Pemalang. Pertempuran pada April 1949 pun meletus, dan pada akhirnya Belanda harus mundur karena mengalami kekalahan. Di Tegal, di Kaligua, tentara Belanda mengalami kesulitan untuk bergerak ke Bumiayu, karena dihadang pejuang yang akan longmarch, untuk kembali ke daerah asalnya, Tegal. Gudang senjata rahasia Belanda pun tak luput dari serangan pejuang, bahkan dengan banyaknya amunisi, granat, serta pasukan, mereka masih kewalahan menghadapi para pejuang yang kelelahan, memiliki amunisi yang terbatas. Pertempuran dimenangkan oleh pejuang, karena pada saat pesawat tempur mengebom gudang senjata, para pejuang sudah pergi dan kemenangan telak di pihak pejuang.

    Pada akhirnya, Belanda dan Indonesia sepakat untuk berunding, dan menghasilkan Perjanjuan Roem – Royen, pada tanggal 14 April 1949 dan ditandatangani pada 7 Mei 1949. Perjanjian Roem – Royen mendesak Belanda untuk melakukan Konfrensi Meja Bundar di kemudian hari. Hal ini menjadikan Karesidenan Pekalongan bebas dari penyerbuan Belanda, pasukan Belanda tidak lagi mengejar para pejuang dan melakukan patrol, pasukan Belanda berkumpul di Utara Pekalongan. R. Soedjono juga melakukan pertemuan di Wonosobo, yang terdiri dari berbagai pemimpin daerah, komandan, laskar dan para pejuang, dalam rangka menolak kedatangan pasukan Belanda di Jawa Tengah.

    Setelah KMB, secara formal Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia dan wilayah bekas Hindia Belanda dan wilayah bekas Hindia Belanda kembali ke pangkuan RI. Begitupun wilayah Karesidenan Pekalongan. Para penduduk yang mengungsi di Wonosobo dan Banjarnegara kembali ke Pekalongan, dan pusat pemerintahan Karesidenan Pekalongan yang di Lebakbarang, dipindahkan kembali ke Kota Pekalongan, serta Pemerintahan Darurat Karesidenan Pekalongan resmi telah berakhir dan kembali seperti semula.

    5. Simpulan 

    Agresi Milter I dan II merupakan tantangan bagi rakyat Indonesia yang baru saja merdeka., termasuk Karesidenan Pekalongan. Perjuangan rakyat pada akhirnya berbuah manis, dan kekalahan Belanda membuat Belanda angkat kaki dari Bumi Nusantara, khususnya Tanah Jawa Tengah, Pekalongan. Para pejuang berusaha untuk mempertahankan Pekalongan, Jawa Tengah dan Indonesia hingga rela berkorban nyawa, agar RI tetap utuh dan tetap bersatu. Belanda melaksanakan Agresi Militer I dan II karena kondisi politik di Kerajaan Belanda sendiri, dan telah membangun kekuatan secara rahasia di wilayah bekas Hindia Belanda, dan melancarkan aksi di Jawa sebagai pusat pemerintahan dan Ibukota RI.

    

Daftar Pustaka 

Fattah, Abdoel. (2005). Demiliterisasi Tentara. Yogyakarta : LKIS. 

Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta. 

Kahin, George McTurnan. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu. 

Achmad. (1986). Tegal Berjuang. Tegal : Sekretaris Markas Cab. Legiun Veteran RI Kabupaten/Kodya Tegal.

Sudharmono. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 – 1949. Jakarta : Sekretariat Republik Negara Indonesia.

Dirhamzah, Arif. (2014). Pekalongan Yang Tak Terlupakan. Pekalongan : Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Pekalongan.

Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat. (1965). Peranan TNI Angkatan Darat Dalam Perang Kemerdekaan, Revolusi Pisik 1945 – 1950. Bandung : Pusat Sejarah Angkatan Darat.

Ar Rasyid, M. (2018). Pemerintahan Darurat Karesidenan Pekalongan Menyelamatkan Republik Indonesia, 1947 – 1949. Skripsi. Universitas Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial, Pendidikan Sejarah.

0 Komentar