Pendidikan Rusak-Rusakan
Sebuah potret pendidikan di indonesia
“pendidikan telah kehilangan ruh-nya” mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan isi buku dari pendidikan rusak-rusakan yang di tulis oleh darmaningtyas mengenai praktik pendidikan yang ada di indonesia ini. di dalam buku-nya ini, darmaningtyas coba menggambarkan bagaimana praktik pendidikan yang terjadi di indonesia mulai dari penyalahgunaan anggaran pendidikan daerah, gaji guru yang kurang, ketidak merataan jumlah guru yang ada di indonesia, institusi-institusi “kaki lima” yang menyebar bak jamur di musim penghujan, sampai pemanfaatan para pendidik sebagai “alat dagang politik” di tengah rezim orde baru yang berkuasa pada saat itu.

Guru yang di harapkan menjadi agent perubahan di dalam masyarakat justru terjebak di dalam situasi politik yang secara tidak langsung mereka dukung. Bagaimana tidak, rezim orde baru yang tengah berkuasa di indonesia pada saat itu memanfaatkan status “pegawai negeri” yang di sandang oleh guru sebagai alat dagang politik. PGRI (persatuan guru republik indonesia) sebuah forum tertinggi bagi para guru seluruh indonesia tidak luput dari sasaran politik pada zaman orde baru. PGRI di jadikan semacam “alat kontrol” bagi pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan di dalam masyarakat indonesia. Materi-materi yang di ajarkan oleh guru terhadap siswa sepenuhnya sudah di rancang pemerintah untuk “menina bobo-kan” masyarakat. Siswa di ajarkan untuk melaksanaan program pengamalan pancasila yang tidak lain adalah taktik pelanggengan kekuasaan yang di lakukan oleh soeharto beserta rezimnya. Selain itu juga PGRI di jadikan alat pemantau terhadap guru-guru yang “melenceng” dari pemerintah. Guru yang tidak memilih “partai kuning” akan ketahuan dengan adanya PGRI ini, sebab bukan rahasia umum lagi jika semua pegawai negeri akan memilih partai ini dan jika ada kekurangaan suara otomatis pemerintah akan tahu melalui PGRI yang memantau kira-kira siapa guru yang di anggap tidak mendukung pemerintah. 

Rezim orde baru memang bukan tempat-nya bagi para guru yang secara tulus dan jujur ingin memberikan pendidikan kepada masyarakat. Guru yang coba-coba membuat rencana pembelajaran sendiri guna mencerahkan masyarakat dari dominasi rezim orde baru langsung di cegat dan di gulung usaha-nya. sebagai contoh di dalam buku ini adalah seorang guru di daerah jakarta yang dengan sikap ketidak setujuan terhadap kurikulum yang di buat pemerintah karena berbau kepentingan politis membuat rencana pembelajaran-nya yang memang benar apa ada-nya. mengetahui hal tersebut dengan sikap PGRI memberikan sikapnya terhadap guru ini. dengan dalih-dalih kekurangan guru di daerah-daerah pelosok indonesia, guru ini di “rooling” ke daerah tersebut. Tentu saja tujuan-nya tidak semulia itu, karena tujuan utama-nya adalah mematikan gerak guru tersebut agar tidak semakin “mengancam” pemerintah dan memberi “warning” kepada guru lain jika coba-coba melakukan hal tersebut, sebuah kejahatan di bidang pendidikan.

Munculnya “institusi-institusi pendidikan kaki lima”  memperparah kondisi pendidikan di indonesia ini. institusi ini adalah tempat bagi para pencari gelar instan dan juga tempat dimana pendidikan di reduksi menjadi barang dagangan. institusi pendidikan kaki lima ini biasanya bercokol di ruko-ruko pinggir jalan dan berstatus “diakui”. Apa dampak dari munculnya institusi ini? menurut saya dampak utama dari munculnya institusi ini adalah membentuk stigma atau pandangan di dalam masyarakat bahwa pendidikan itu adalah barang dagangan yang bisa di perjual belikan. Orang yang tidak memiliki kompetensi sama sekali pun dapat memperoleh gelar dengan mudah dan instan jika mampu membayar sesuai dengan kesepakatan. Jika sudah terjadi seperti ini otomatis sumber daya manusia indonesia yang muncul di masyarakat tidak lain adalah sarjana-sarjana instan yang tidak mampu memberdayakan masyarakat bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa karena mereka tidak pernah belajar untuk berproses. Jangan berharap indonesia menjadi semakin lebih baik, yang ada justru akan bermunculan “serigala-serigala” lapar yang akan saling memangsa satu sama lain.


Indonesia bukan-nya tidak memiliki manusia yang cerdas, banyak pelajar-pelajar gemilang kita yang menjuarai olimpiade-olimpiade pendidikan di dunia internasional, banyak temuan-temuan bermanfaat di dunia yang di temukan oleh orang-orang indonesia. Namun mengapa indonesia seakan tidak pernah bangkit dari “tidur panjangnya”? ketidak seriusan dan apresiasi pemerintah indonesia terhadap mutiara-mutiara di dalam masyarakat kita menurut saya adalah jawaban-nya. sering saya mendengar dan melihat di media massa bagaimana orang-orang pandai kita tidak di hargai oleh bangsa kita sendiri. Pemerintah hanya muncul ketika sesi foto bersama pelajar-pelajar kita yang memenangkan olimpade di luar negeri, sesi tanya jawab terhadap wartawan, dan melayangkan ucapan-ucapan selamat terhadap para pemenang. tetapi apakah mereka pernah ikut mendukung ketika proses menjadi pemenang itu? apakah mereka pernah memperhatikan pelajar yang andai kata tidak menang itu? jawaban-nya tidak!. 

Sudah berapa banyak sekolah yang rubuh karena tidak di urus oleh pemerintah? Sudah berapa banyak anak-anak indonesia yang tidak memperolah hak pendidikan mereka sebagai manusia indonesia yang di jamin oleh undang-undang? Sudah beberapa banyak pelajar yang berjuang mempertaruhkan nyawa menuju sekolah mereka karena transportasi masyarakat yang tidak pernah di urus pemerintah? Pemerintah hanya menghargai hasil bukan sebuah proses. Tetapi justru ternyata banyak di antara kita yang megaku cendekiawan atau orang terpelajar justru melakukan hal yang sama. Hak kita memang menuntut pemerintah tetapi yang terjadi seakan kita di butakan oleh sikap benci kita itu sehingga melupakan bahwa ada suatu kewajiban di dalam diri kita yang mengaku “terdidik” tetapi tidak kita lakukan terhadap masyarakat. yaitu ikut menyalakan lilin perubahan terhadap masyarakat. Lebih baik kita menyalakan lebih banyak lilin daripada mengutuk kegelapan: stop cursing darkness, let’s light more candles.  Sebuah anjuran dari bapak Anies Baswedan sekaligus kritik terhadap kita yang mengaku terdidik tetapi kerjanya hanya mencela dan menghina.  Bagaimana caranya? Menurut saya adalah dengan menjadi pembelajar yang berkualitas. Jika kita bisa menjadi guru atau pengajar yang berkualitas, ini adalah jalan menuju munculnya generasi masa depan yang berkualitas. (03/03/2014)

0 Komentar