Oleh: Devi Mayanti Magdalena

  

    Kontroversi antara rakyat dan pemerintah sedang menjadi sorotan hingga kericuhan di tengah kehidupan bangsa kita. Pandangan dari kedua pihak pasalnya sangat bertentangan dan berbagai alasan serta keluhan sama-sama dilontarkan. Namun, siapakah yang paling merasakan rugi di atas keputusan yang hanya disahkan secara sepihak? Dan bagaimana dampak nyata yang bergelombang pada arus kehidupan saat ini? Kasus kenaikan BBM bersubsidi menjadi pemantik perseteruan rakyat dengan pemerintah, dimana berbagai aspek kehidupan mengalami perubahan ke arah yang lebih menyusahkan rakyat. Kenapa bisa menyusahkan? 

      BBM bersubsidi merupakan bahan bakar olahan yang disubsidi pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kepada perusahaan yang diamanahkan sebagai distributor BBM di Indonesia. Jenis bahan bakar yang bersubsidi di Indonesia saat ini ialah Pertalite dan Biosolar yang dimana kedua jenis BBM tersebut bisa dikatakan menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk menjalankan mobilitas transportasi. Karena disubsidi, harga BBM jenis ini lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan BBM tersebut. Lain halnya dengan BBM Non Subsidi, yaitu bahan bakar yang dikelola oleh perusahaan distributor, namun tidak ada intervensi pemerintah sehingga perusahaan bebas bersaing sehat mengacu pada UU Minyak dan Gas Bumi No.22/2021. BBM Non Subsidi esensinya diperuntukkan untuk kalangan yang mampu dikarenakan jenis kendaraan yang  memiliki kebutuhan bahan bakar dengan kadar oktan yang tinggi atau sulfur yang rendah alias terkategori kendaraan yang cukup mahal. 

      Bisa dibandingkan bagaimana seharusnya pendistribusian yang tepat menurut dua kategori BBM tersebut. Namun nyatanya, BBM bersubsidi masih meluncur di target yang salah. Lebih dari 70% BBM subsidi malahan dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu seperti pemilik mobil-mobil pribadi yang jenis kendaraannya tidak termasuk tipe penerima BBM bersubsidi. BBM bersubsidi diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi agar masyarakat kecil tetap dapat menikmati kebutuhan yang tersedia di tengah lonjakan penurunan finansial akibat pandemi. Kegagalan pemerintah dalam menepati sasaran menuai banyak kritikan, sehingga sebelumnya pernah juga digencarkan kebijakan lain yaitu menjalankan proses transaksi BBM menggunakan aplikasi MyPertamina. Salah satu tujuan inisiatif ini agar BBM bersubsidi bisa tepat sasaran. Tapi tetap saja kebijakan tersebut tidak bekerja maksimal dan malah makin banyak menuai kritikan. Wajar saja, secara logika apakah masyarakat kecil di Indonesia sudah seluruhnya menjamah smartphone? Apakah kinerja aplikasinya lancar? Apakah aman menggunakan ponsel saat pengisian bensin?  

      Kebijakan yang sebelumnya gagal makin diperkeruh dengan kebijakan baru saat ini yang sedang naik daun dan gencar dipertentangkan oleh rakyat, yaitu menaikkan harga BBM. Pada tanggal 3 September 2022 Presiden Jokowi akhirnya meresmikan penaikan harga BBM mulai dari Pertalite, Solar dan Pertamax. Berikut ini penjabaran harga BBM ketiganya sesudah dan sebelum naik harga : 

Harga Pertalite, semula Rp. 7.650 per liter menjadi Rp.10.000 per liter, naik 30,72%

Harga Solar dari Rp. 5.150 per liter menjadi Rp. 6.800, naik 32%

Harga Pertamax dari Rp. 12.500 menjadi Rp. 14.500 per liter, naik 16%

      Perhitungan harga kenaikan BBM di atas adalah secara umum dan yang sering digunakan masyarakat di saat mobilitas sehari-hari. Kenaikan yang dipatok bisa dikatakan cukup tinggi, dimana sekarang ini kita sedang menjalani tahap peralihan dari masa pandemi ke kehidupan  normal. Belum sepenuhnya ekonomi masyarakat pulih akibat pandemi, tetapi sudah ada beban tambahan lagi yang harus ditanggung. Bisa dikatakan BBM sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat dalam berarus balik dari berbagai aktivitas, namun kenaikan harga BBM tidak sejalan dengan kondisi perekonomian masyarakat, yang dimana seharusnya jika BBM naik maka pendapatan masyarakat pun seharusnya mengalami kenaikan agar dapat mengimbangi kebutuhan yang ada. 

      Menyoal tentang kebutuhan yang ada, ialah salah satu yang terimbas dampak BBM. Ada dua kemungkinan dampak yang akan dirasakan yaitu yang pertama kenaikan harga barang  pokok dan kedua penurunan daya beli terhadap barang pokok. 

      Tidak salah jika para pedagang ikut menaikkan harga barang yang dijual, mungkin dengan alasan pengeluaran pun semakin banyak ketika BBM naik seperti, logistik barang mereka yang berarus lalu lintas dan juga pengiriman atau pengantaran barang dari sektor produksi yang juga mengalami kenaikan harga sehingga perlu merogoh kocek tambahan pedagang. Bahkan, diperkirakan jika kenaikan BBM terus belanjut, maka akhir tahun ini akan terjadi inflasi besar-besaran. Ketika hal tersebut terjadi, masyarakat dengan kelompok ekonomi menengah ke bawah akan terhambat dalam memenuhi kebutuhannya. Masyarakat harus mempertimbangkan kembali penyesuaian antara ekonomi mereka dengan harga barang yang naik, yang termiris ialah ketika masyarakat akhirnya memutuskan tidak membeli karena dirasa simpanan uang sudah mentok. 

      Lalu, penurunan daya beli terhadap barang pokok. Berkaitan dengan pernyataan sebelumnya, kenaikan harga BBM juga dapat menghalangi terjualnya barang pokok. Masyarakat akan mencari alternatif lain dan mengirit demi menekan pengeluaran yang tidak seimbang dengan pendapatan. Hal ini mungkin baik, namun di satu sisi dapat merugikan sektor produksi dan pekerja di balik usaha tersebut. Hasil yang sudah disiapkan dan tinggal didistribusikan dengan harapan sesuai target penjualan menjadi hambar terpental oleh penekanan masyarakat terhadap pembelian. Jika terus dibiarkan, maka hal paling merugikan yang bisa terjadi ialah pengangguran. Sektor produksi sudah tidak mampu menggaji para karyawan namun tetap ingin menjalankan usahanya, jalan yang ditempuh ialah pengurangan pengerja. Alhasil, angka kemiskinan akan meningkat lagi. 

      Dari sisi sosial, sama seperti sebelumnya yaitu pengangguran. Hal ini mengindikasikan betapa kompleksnya dampak yang dihasilkan dari kenaikan BBM. Pengangguran dapat melipir terciptanya kecemburuan social yang mengundang kriminalitas, khususnya di lingkaran masyarakat ekonomi rendah yang mengalami ketimpangan social. Siapakah (lagi) yang paling terdampak kalau bukan masyarakat? Permasalahan social lainnya yang sedikit bisa kita temukan, maraknya otak-otak licik dalam memanfaatkan kondisi demi meraup keuntungan. Hal ini bisa terjadi karena akan ada saja oknum yang memanfaatkan situasi sulit dan memperkeruh suasana seperti penyaluran hoax, penipuan, penyelundupan, penaikan harga lain yang melangit dengan alasan kenaikan BBM namun mematok harga yang dilebih-lebihkan agar mendapat keuntungan berlipat. 

      Belum cukup meninjau dari sisi ekonomi dan social, agaknya politik pun akan tersiram hemburan reaksi masyarakat atas kasus problematik BBM. Kebijakan yang dinilai tidak tepat memancing pergerakan rakyat dengan menyuarakan kegeraman mereka. Semakin kencang teriakan rakyat, maka seharusnya semakin terbuka lebar telinga para atasan dan setidaknya bersimpati pada teriakan tersebut. Namun, jika tidak ada respon yang menanggapi maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan akan berturun, parpol tertentu mendapat pandangan buruk sehingga prestis dan nama besarnya tercap buruk di mata rakyat. Untuk itu, mari kita bahas sedikit mengenai kilas balik demonstrasi kenaikan BBM. 

      Sepanjang era kepemimpinan Presiden Jokowi, tercatat sudah enam kali dalam kurun waktu yang berbeda terjadi kenaikan dan penurunan harga BBM. Di bulan November 2014, pada periode pertama kepemimpinan beliau pernah mengalami kenaikan BBM sebanyak Rp. 2.000, ada pun alasannya yaitu untuk merespon beban fiscal negara. Setelah itu, pada bulan Maret 2015 terjadi lagi naik turun harga BBM. Harga naik turun dari Rp. 8.500 menjadi 7.600 per liter dan turun lagi menjadi Rp. 6.600 dan final puncaknya naik di harga Rp. 7.300 per liter. Pada Oktober 2018 sempat terjadi kenaikan pula dalam jangka waktu sebentar, yaitu kenaikan harga premium dari harga semula Rp. 6.550 menjadi 7.000 per liter. Lalu berlanjut pada tahun 2022 di bulan April, kenaikan harga pertamax yang semula Rp. 9.000 naik menjadi Rp. 12.500 dengan alasan melejitnya harga minyak bumi di pasar global. Di bulan Agustus 2022 rakyat kembali disambut hangat oleh kenaikan harga BBM nonsubsidi seperti pertamax turbo, dexlite dan pertamina dex. Dan yang paling terbaru, terjadi pada bulan ini. 

      Pergantian naik turun harga BBM seperti memainkan emosi rakyat. Stabilitas harga belum dapat dipertahankan, dan sasaran subsidi belum bisa tepat sesuai tujuan. Kebijakan pemerintah sering dipertanyakan rakyat, apakah sudah bisa menjawab soal utama dari permasalahan? 

      Baru-baru ini Bantuan Langsung Tunai (BLT) direkomendasikan oleh pemerintah untuk mengatasi kenaikan BBM. BLT adalah  bantuan dana yang diberikan pemerintah pada masyarakat kurang mampu sebesar Rp. 600.000 per keluarga. Tujuannya ialah untuk mempertahankan daya beli masyarakat sekaligus penyesuaian dengan kondisi kenaikan BBM. Apakah kebijakan ini benar-benar akan tepat sasaran? Atau, apakah BLT ini hanyalah pengalihan isu untuk meredam emosi rakyat usai berdemo sebelumnya? Padahal, sebelumnya dikatakan bahwa APBN menanggung beban berat terkait BBM bersubsidi, namun sekarang dengan adanya bantuan dana apakah tidak termasuk menambah beban APBN? Proyek lain yang ditanggung APBN seperti IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau anggaran militer untuk perang, jika dibandingkan dengan kenaikan BBM mana yang lebih urgensial? Mengapa dananya tidak dialokasikan kepada yang lebih urgensial dahulu? 

      Solusi kedua yang membuat setengah alis terangkat, kenaikan BBM dianggap menjadi momen beralih ke kendaraan listrik. Melihat beberapa dampak positif penggunaan kendaraan listrik seperti rendahnya emisi gas, ramah lingkungan, biaya charge yang murah, dan harganya lebih murah dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar, mungkin ini bisa menjadi salah satu solusinya. Namun, jika diberlakukannya mulai sekarang, maka kemungkinan banyak masyarakat yang belum siap dari sisi ekonomi. Meskipun ditwarkan dengan harga yang lebih murah, tetap saja perekonomian di Indonesia belum mendukung adanya revolusi besar-besaran. Yang akan merasakan duluan ialah masyarakat ekonomi kelas atas. Jika solusi ini benar-benar ingin digiatkan, maka yang pertama digencarkan ialah pemulihan ekonomi, peningkatan pendapatan dan maksimalisasi kendaraan listrik yang ingin digencarkan agar tidak membuat kontroversi baru. 

      Penyuluhan untuk berhemat energi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah kenaikan BBM. Misalnya saja, masyarakat dihimbau untuk memilih berjalan kaki daripada berkendaraan pribadi. Namun, melihat kondisi fasilitas pejalan kaki yang kurang nyaman dan aman akan membuat masyarakat ogah berjalan kaki. Atau, jika dihimbau untuk mengurangi mobilitas di luar rumah, rasanya itu tidak akan bisa. Di masa peralihan ini masyarakat malah semakin aktif berarus balik melakukan kegiatan. Selama pandemic kebebasan tersebut sangat terbatas, maka dari itu suasana sekarang benar-benar dimanfaatkan masyarakat untuk merebut kembali kebiasaan normal yang mereka rasakan dan lakukan seperti sedia kala sebelum adanya pandemic. 

     Pada intinya, kenaikan harga BBM membawa kompleksitas dalam kehidupan. Pihak masyarakat banyak yang dirugikan akan kompleksnya permasalahan ini sudah beteriak dua kali di muka strategis, namun belum kunjung mendapat respon solutif dari para koalisi. Upaya mekanisme pemerintah dalam mengontrol pendistribusian BBM masih gagal dan hal tersebut selalu menjadi narasi yang sama setiap ada kasus mengenai BBM. Pemerintah pun masih belum dapat menjamin bagaimana system bahan bakar berkelanjutan. Dengan begitu, pergerakan rakyat masih akan berlanjut sampai permasalahan memiliki progresif tuntas. 

0 Komentar