Prekariatisasi di Balik Jaket Hijau
Prekariatisasi di Balik Jaket Hijau
(Oleh: Diva Salsabilla Dayanti)
![]() |
Sumber Gambar: Bisnis Tempo |
Bertepatan dengan momentum May Day, kita tak lupa bahwa sudah setahun sejak merger GOTO menghebohkan berbagai kalangan di negeri tercinta, dari mulai si pengamat ekonomi nasional, si proletar tetapi berdasi, hingga si borju pesaing. Sebuah peristiwa besar dalam perekonomian nasional. Bagaimana tidak? merger dua perusahaan hijau itu bernilai Rp 257 Triliun, ungkap si pengamat yang amat antusias. Bahkan, lanjutnya, valuasi GOTO itu sendiri diprediksi bisa mencapai 572,9 Triliun. Angka-angka yang tentunya membuat perut si borju kenyang.
Lantas, apakah angka-angka dan istilah-istilah yang sulit
dipahami abang-abang ojol berjaket hijau-orange dapat menjawab kerentanan yang
mereka terima selama di jalan?. Saya kira, para pekerja rentan berjaket
hijau-orange di jalan itu hanya meringis ketika diharuskan memikirkan
pertanyaan itu. “Waduh merger-merger apa sih Neng?, Saya mah mikirin aja narik
hari ini belum mencapai target 200.000, padahal sudah keliling di jalan sampai
keling selama 6 jam”, asumsi saya mungkin respon tersebut yang akan dijawab oleh
para pekerja rentan berjaket hijau itu.
Kita
semua mengetahui bahwa teknologi dan industri yang semakin berkembang diiringi
neoliberalisme yang mendominasi roda politik dan perekonomian dunia melahirkan
lebih banyak variasi pekerja gig. Salah satu jenis pekerja gig dalam bidang
transportasi yang banyak masyarakat kita kenal ialah ojek online, dua
perusahaan “hijau” menjadi raksasa dalam sektor gig ini yaitu Grab dan Gojek.
Kedua perusahaan tersebut menawarkan konsep kemitraan, sebuah konsep yang
dituangkan pada Pasal 1 Ayat 13 UU 20 Tahun 2008, hubungan kerja yang saling
memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Sederhananya, konsep kemitraan eksis ketika perusahaan platform ojek online
(Grab atau Gojek) dan driver memiliki hubungan yang setara dan saling
menguntungkan. Namun, apakah hubungan ideal yang setara antar pemberi kerja dan
penerima kerja benar terwujud?, saya dihadapkan pada skeptisme yang justru cenderung
kontra akan hal tersebut.
Sebagaimana kutipan dari buku “The Precariat: The New Dangerous Class” karya Guy Standing, prekariatisasi tenaga kerja sebagai sebuah fenomena masa kini merupakan produk dari neoliberalisme. Sebuah ideologi yang mendorong agar campur tangan negara diminimalisir dalam hal ekonomi, contohnya ialah pengurangan seminimim mungkin bagi pajak barang dari luar negeri agar sirkulasi barang berjalan lancar dan intesintasnya tinggi, serta menghilangkan sekat-sekat antar negara dengan lahirnya perusahaan multinasional, mendorong dicabutnya subsidi, dan mendorong fleksibelitas tenaga kerja yang memudahkan sirkulasi tenaga kerja antar negara.
Kebebasan dan
fleksibelitas yang ditekankan dan diidamkan oleh neoliberal diamini dengan banyak
perusahaan yang meminimalisir hingga menghilangkan sistem tenaga kerja dengan
kontrak jangka panjang dan menggantinya dengan jenis tenaga kerja tidak
tetap/kontrak, outsource, magang,
hingga kemitraan. Kebijakan dalam hal tenaga kerja yang diterapkan oleh
perusahaan di era dominasi neoliberal merupakan apa yang disebut sebagai
prekariat, pekerja yang terpisah dari arus utama pertumbuhan ekonomi cepat
namun tidak mempunyai kesadaran kelas karena tidak mempunyai serikat kerja, kurang
dukungan secara sosial, dan kondisi kerja atau masa depannya tak dijamin oleh
perusahaan hingga negara.
Kebebasan
semu adalah hal yang melekat dari prekariat, fleksibelitas kerja namun dengan
upah yang rendah dan kondisi kerja yang tidak pasti menjadi bagian dasar dalam
kebebasan tersebut. Di balik kebebasan
tersebut, sesungguhnya terdapat berbagai kerentanan yang diterima oleh para
pekerja, di antaranya ialah tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan
dalam bekerja, jangka waktu yang cenderung tidak pasti, jam kerja yang tidak
jelas, masa depan kerja yang juga tidak terjamin, hubungan antar pekerja yang
temporer sehingga mengakibatkan lemahnya potensi untuk berserikat, hingga
masalah upah yang juga tidak pasti dan umumnya rendah.
Prekariatisasi
pekerjaan berupa outsource dan
kemitraan misalnya, hubungan tidak langsung antara pemberi kerja terhadap para
tenaga kerja membawa keuntungan tersendiri bagi perusahaan, perusahaan dapat
lepas dari beberapa tanggung jawab yang wajib ditagih apabila masih mengacu
pada sistem lama (tenaga kerja tetap), seperti dalam hal jaminan atas risiko
kerja yang dihadapkan pada pekerja itu sendiri. Minimalisir tanggung jawab oleh
perusahaan membuat profit yang diperoleh akan lebih banyak. Sebuah hidangan
lezat bagi perut rakus borjuis, profit yang maksimal dengan cost dan risiko terhadap tenaga kerja yang minimal.
Berbicara
mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja, Standing menguraikan
setidaknya ada tujuh jaminan yang wajib (seharusnya) diterima oleh pekerja
sebagai wujud tanggung jawab perusahaan. Pertama, jaminan pasar tenaga kerja
yang mengatur bahwa setiap pekerja harus diberi peluang yang adil dalam
memperoleh penghasilan/upah. Apabila dilihat secara luas hal ini diwujudkan
dalam bentuk komitmen pemerintah dalam meregulasi perusahaan untuk memenuhi
upah penuh terhadap tenaga kerja. Kedua, jaminan tenaga kerja yang mengatur
pengawasan dan pencegahan pemecatan massal dan regulasi perekrutan dan
pemecatan. Ketiga, keamanan kerja yaitu berupa pemberian peluang bagi tenaga
kerja untuk melakukan mobilisasi keatas. Keempat, jaminan kerja yaitu untuk
menjaga dan melindungi pekerja terhadap insiden atau kecelakaan dalam lingkunga
kerja. Kelima, jaminan reproduksi kemampuan yaitu pemberian kesempatan bagi
pekerja untuk mengasah kemampuan, melakukan proses magang, dan kesempatan dalam
kompetisi kerja. Keenam, jaminan upah yaitu untuk mengatur gaji maksimum yang
stabil dan penetapan standar gaji minimal. Ketujuh, jaminan representasi yaitu
menjamin suara kolektif pekerja lewat serikat buruh untuk menyuarakan aspirasi
terhadap lingkungan kerja.
Ketujuh
jaminan di atas merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pekerja
dengan kontak panjang (tetap), sifatnya wajib untuk dipenuhi. Akan tetapi,
dengan munculnya prekariat, konsep pekerja dengan kontak panjang pun perlahan
hilang dan perusahaan mudah sekali untuk melepaskan tanggung jawab terhadap
pekerja lewat para pekerja rentan itu sendiri. Para pekerja ojek online tidak
memenuhi jaminan pertama berupa regulasi yang menjamin upah mereka, belum ada
payung hukum yang mengatur upah pokok yang ada hanyalah tarif minimum. Mereka menerima
upah harian yang tidak menentu tergantung pada algoritma yang ada pada aplikasi
sehingga dapat sekali terjadi bila para ojek online ini menerima upah yang
tidak memenuhi kebutuhannya ketika sepi penumpang.
Begitupun
untuk jaminan ketiga yaitu peluang mobilisasi ke atas, konsep kemitraan yang
mengimingkan kesetaraan antara perusahaan dan para mitra (ojek online) nyatanya
tidak memberi peluang mobilisasi ke atas terhadap para mitranya sendiri, taraf
pekerjaan mereka akan tetap stagnan sebagai ojek online. Berbeda dengan pekerja
tetap pada perusahaan platform yang memperoleh peluang untuk naik jabatan,
menjadi manager misalnya. Kemudian, jaminan keempat mengenai keselamatan kerja
pun juga tidak berlaku bagi para ojek online sebagai korban prekariatisasi
pekerjaan ini, mereka tidak menerima jaminan kesehatan dan sejenisnya. Kondisi
tersebut berdampak pada ketika mereka menerima musibah seperti ditipu atau dicelakai
oleh penumpang hingga mengalami kecelakaan di jalan, mereka menanggung segala
risiko tersebut sendiri, sementara perusahaan dapat leluasa untuk lepas tangan.
Dominasi
ekonomi gig berupa ojek online baik grab maupun gojek merupakan salah satu jenis
baru prekariatisasi pekerjaan yang menetas di era perkembangan teknologi dan
industri yang semakin cepat dan massif. Ada beberapa argumen yang mendasari
pernyataan tersebut.
Pertama,
belum adanya regulasi jaminan bagi para pekerja ojek online, payung hukum
terkait hal tersebut masih tidak jelas, tidak ada jaminan dalam hal kesehatan,
keamanan di jalan, masa depan, dan aspek krusial lainnya. Padahal pekerjaan
sebagai ojek online memiliki banyak sekali risiko di jalan, entah kecelakaan,
penipuan oleh penumpang, hingga pembegalan. Kekosongan regulasi atas jaminan
membawa mereka pada kondisi amat rentan sebagai pekerja.
Kedua,
status kemitraan yang bersifat semu atau palsu,
para pekerja ojek online yang memperoleh status mitra oleh perusahaan
platform tidak memperoleh hak-hak sebagai mitra, mereka disebut mitra akan
tetapi bekerja dalam hubungan kerja layaknya antara buruh dan pengusaha. Status
mitra yang disematkan ini justru dimanfaatkan oleh perusahaan platform untuk
menghindar dari beberapa tanggung jawab seperti jaminan upah minimum, jaminan
kesehatan, pesangon, upah lembuh, hak libur, hingga jam kerja layak.
Ketiga,
para pekerja ojek online tidak memiliki hak atas kontrol yang ada pada aplikasi
yang mereka gunakan sebagai bentuk pendisiplinan kerja. Mengutip artikel dari The
Conversation, perusahaan platform mengendalikan para ojol sebagaimana kontrol
yang sering kita temui di industri. Fungsi kontrol ini digunakan untuk mendisiplinkan
ojol, sehingga membuat mereka harus kerja lebih disiplin, lebih lama, dan lebih
berat lagi. Kontrol kerja dari perusahaan kepada ojol dilakukan melalui tiga
cara; sanksi, penilaian konsumen, dan bonus. Perusahaan aplikasi memberikan
sanksi ketika ojol dinilai oleh sistem perusahaan bekerja dengan malas atau
tidak disiplin, sehingga akunnya dibuat sepi order atau dihukum tidak dapat
membuka akun aplikasi beberasa saat, atau bahkan hingga dapat diputus
mitra. Melalui kontrol-kontrol tersebut
yang dilakukan sepihak oleh perusahaan platform, maka janji pekerjaan yang
layak dan fleksibel tidak diperoleh oleh para ojol.
Keempat, kerentanan ojek online juga ditandai dengan monopoli
akses informasi dan data oleh perusahaan platform. Status sebagai mitra tidak lantas membuat
para ojol dapat mengakses informasi dan data di perusahaan platform. Ketiadaan
akses dan kendali atas data yang kemudian diatur oleh sistem algoritma
menjauhkan ojol dari informasi tentang bagaimana tata kelola yang seharusnya
dilakukan untuk saling menguntungkan dalam hubungan kemitraan.
Dominasi
prekateriatisasi pekerjaan mengingkari janji modernitas-kapitalisme. Alih-alih
tercapainya kemajuan dan kebebasan, justru menghasilkan kemarahan, frustasi,
kekecewaan, dan ketidakjelasan dalam menyalurkan tuntutan atas kerentanan yang
diterima baik kepada negara maupun perusahaan. Kebingungan “ingin marah kepada
siapa?”. Juga merupakan fenomena manipulasi kapitalisme lewat tangan-tangan
negara.
Menilik sisi gelap lainnya dari konsep mitra palsu dan prekariatisasi di belakangnya, kita dapat melihat bahwa pekerja prekariat sulit untuk berserikat karena kontrak yang singkat dan tidak langsung, sehingga tidak terlalu terikat antar buruh. Mereka sulit melawan penindasan atau eksploitasi yang dilakukan perusahaan. Hal ini lah yang menjadi peluang keuntungan bagi perusahaan untuk terus mengeksploitasi. Perusahaan pemberi kerja steril dari resiko, tidak bertanggung-jawab atas kerentanan yang diperoleh pekerja.
Dalam konteks Ojek online sebagai prekariat, mereka sulit untuk berserikat, hal ini didasari oleh anggapan bahwa kebanyakan
pengemudi ojek online tidak merasa dieksploitasi oleh perusahaan,
selain itu beberapa hanya mengemudi ojek untuk penghasilan tambahan, serikat
buruh tradisional seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia pun kurang
efektif dalam mewakili pekerja online karena kurangnya infrastruktur.
Keterlibatan masyarakat sipil juga terbatas, tidak banyak masyarakat sipil
terlibat di dalam unjuk rasa ojek online. Ketiadaan serikat di lingkar para
pekerja ojek online membuat strategi dalam gerakan sosial yang dicanangkan
untuk memperjuangkan kerentanan mereka tidak memiliki strategi yang efektif,
cenderung sporadis dan kurang terkoordinasi.
Lantas apa yang bisa dihadirkan
untuk menjawab fenomena prekariatisasi ini?, pertama pemerintah seharusnya
membuat payung hukum yang kuat dan jelas terhadap jaminan hak katas pekerjaan para
ojek online untuk menjawab segala kerentanan yang ada. Kita dapat mencontohnya
dari fenomena yang terjadi di spanyol, para pekerja ojek/kurir online menuntut
perusahaan platform Glovo (mirip seperti grab dan gojek) kepada Mahkamah Agung
untuk menghilangkan konsep kemitraan dan menetapkan kurirnya sebagai pekerja
resmi. Keputusan MA pun berkehendak kepada mereka, 17.000 pekerja kurir online
yang rentan tersebut kini dalam proses peralihan sebagai pegawai tetap yang
hak-hak dan jaminannya lebih jelas. Tentu keputusan tersebut mengubah wajah
ekonomi gig secara drastis, kerentanan para pekerja tersebut teratasi sedikit
demi sedikit dan menurut penulis hal tersebut juga dapat berlaku pada para ojek
online di Indonesia.
Kedua, para ojek online ini seharusnya
disediakan wadah untuk berserikat, edukasi mengenai hak-hak mereka sebagai
pekerja harus disosialisasikan
secara efektif agar tumbuh kesadaran kelas di antara mereka.
Serikat para ojek online ini sangat diperlukan untuk menuntut perusahaan
memenuhi hak-hak para pekerja dan mengatasi setiap penyimpangan yang dilakukan
perusahaan terhadap pekerja. Seperti para driver GOJEK yang menuntut GOTO atas
pengurangan intensif mereka melalui aksi mogok kerja, aksi tersebut dapat
dilakukan secara efektif dan terkonsolidasi lebih baik melalui serikat pekerja.
Perlawanan yang besar bersumber atas solidaritas yang kokoh. Para
pekerja di seluruh dunia, bersatulah!, selamat hari buruh.
DAFTAR PUSTAKA
Standing,
Guy. (2011). The Precariat: The New Dangerous
Class. New York: The Guardian.
Kalleberg,
Anne. (2013). Precarious Work and The Challenge for Asia
Della,
Donatella. (2006). Social Movement An
Introductions. Blackwell Publishing
Irfani,
Faisal. (2021). Yang Luputdari Gempita
GOTO Nasib Kurir Ilusi Kemitraan dan Upah Murah. Artikel Project Multatuli.
Diakses melalui https://projectmultatulis.org/yang-luput-dari-gempita-goto-nasib-kurir-ilusi-kemitraan-dan-upah-murah/
Novianto, Arif. (2021). Riset: Empat Alasan Kemitraan Gojek, Grab, hingga Maxim Merugikan para Ojol. Artikel The Conversation. Diakses melalui https://theconversation.com/riset-empat-alasan-kemitraan-gojek-grab-hingga-maxim-merugikan-para-ojol-159832
Hewison,
Kevin. (2011). The Left and The Rise of
Borgeois Opposition. Routledge Handbook of Southeast Asian Politics
0 Komentar