2020: Untung atau Buntung?

Oleh: Khoirunnisa Nur Hidayah

 

Banyak berita menyebutkan virus corona yang sudah menyebar hampir ke seluruh permukaan bumi ini ditemukan pertama kali di Wuhan yang menjadi salah satu jantung industri dan transpotasi di kawasan pusat China di ujung tahun 2019 lalu tepatnya pada bulan Desember. Kini virus tersebut lebih dikenal dengan nama, COVID-19. Topik ini menjadi perbincangan yang cukup serius di berbagai negara, karena penyebarannya yang terbilang cepat, virus ini akhirnya menyebar ke beberapa negara tak terkecuali Indonesia. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia awalnya menjadikan virus tersebut sebagai lelucon saja, namun sekitar bulan Maret awal, pemerintah mengkonfirmasi bahwa ada 2 orang yang positive terpapar virus COVID-19 di Indonesia. Tentunya, masyarakat dibuat panik dengan pemberitaan yang telah terkonfirmasi tersebut.

 

*(Titik merah merupakan wilayah dengan kasus COVID-19 terbesar) Update 4 Agustus 2020 pukul 12:35 WIB

Gambar milik https://palu.tribunnews.com/2020/08/04/update-covid-19-global-selasa-4-agustus-2020-siang-kini-ada-88099-kasus-terkonfirmasi-di-china

 

Sama dengan di China, di Indonesia pun virus corona menyebar sangat cepat. Awalnya dapat dihitung dengan jari ada berapa orang yang terpapar hingga akhirnya belasan, puluhan, bahkan ribuan seperti saat ini. Alhasil, pemerintah melakukan himbauan untuk memutus rantai penyebaran yang sempat trending tagarnya di jagat maya. #dirumahaja. Beberapa sekolah di Ibukota terpksa ditutup, mahasiswa melaksanakan pembelajaran di rumah, dan beberapa pekerja yang dirumahkan. Dampak dari adanya virus corona ini sangat luas di berbagai bidang. Dalam sudut pandang pekerja, tidak sedikit yang dipotong gaji, malah ada yang sampai diPHK. Namun, tidak semua pekerja dirumahkan, ada beberapa profesi yang tidak bisa hanya berdiam diri di rumah saja. Mau tidak mau, mereka yang bergantung dengan pekerjaan untuk makan sehari-hari, memberanikan diri untuk bekerja di tengah himbauan tersebut akibat tuntutan kebutuhan hidup.

Seperti mereka yang mencari nafkah dengan menjadi supir transportasi online yang mau tidak mau harus tetap mengantarkan penumpang hingga sampai ke tujuan. UKM kecil ada yang sampai gulung tikar. Kini yang ditakutkan bukan lagi kejamnya virus corona, melainkan kelaparan yang melanda. Sejumlah protocol kesehatan dikelaurkan oleh pemerintah. Karena kepanikan masyarakat, masker, hand sanitizer, dan beberapa bahan pokok meroket. Tentu hal ini dijadikan sebagai momentum paling menakjubkan bagi para penimbun untuk menghasilkan pundi-pundi uang yang lebih menguntungkan.

Belum lagi melihat di layar kaca dan membaca beberapa artikel, bantuan pemerintah yang datang begitu lamban. Bantuan berupa sembako dirasa masih kurang. “Yang dibutuhkan itu uang, bukan hanya sembako saja. Lah kita mau bayar token listrik pake beras, apa bisa?” keluh Nova, 36 tahun. Selain mereka yang sudah pasti terkena dampaknya, ada pula yang bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dahrendorf (1959), salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa kehidupan manusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebabsebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, melainkan karena berbagai aspek yang ada dalam masyarakat; yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata.

Menurut bentuk-bentuknya, konflik yang telah dijelaskan oleh Lewis A. Coser. Lewis A.Coser (dalam Ahmadi, 2009: 293) membedakan konflik atas dua bentuk, yakni konflik realistis dan konflik non realistis. a) Konflik yang realistis berasal dari kekecewaan indvidu atau kelompok atas tuntutan-tuntutan maupun perkiraan kentungan yang terjadi dalam hubungan sosial. b) Konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistis (bertentangan, berlawanan), tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketengangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam masyarakat tradisional pembalasan dendam, lewat ilmu ghaib merupakan bentuk konflik non-realistis. Konflik yang terjadi pada saat ini di dalam kehidupan masyarakat mengenai virus COVID-19 merujuk kepada konflik realistis.

Gurr berpendapat bahwa setidaknya ada empat persyaratan agar dapat dikategorikan konflik dalam masyarakat, yaitu: [1] terdapat dua atau lebih pihak (individu atau kelompok) yang terlibat, [2] mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi, [3] mereka menggunakan perlakuan-perlakuan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan menghalang-halangi lawannya, dan [4] reaksi pertentangan ini bersifat terbuka sehingga dapat dideteksi dengan mudah oleh orang lain (observer). Dahrendoef menunjukkan ciri-ciri penyebab terjadinya konflik, yaitu: karena tidak tercapainya kepentingan dari individu maupun kelompok (party); keinginan memperbaharui kepentingan, dan adanya rasa cemburu, ketidaksenangan kesuksesan atau kelompok komunitas tertentu.

Melihat kurva kasus positive terpapar corona yang dilaporkan semakin meningkat, tanggal 31 Maret 2020, Presiden Indonesia, Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, yang mengatur pembatasan sosial berskala besar sebagai respons terhadap COVID-19, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari daerah masing-masing asalkan mereka telah mendapat izin dari kementerian terkait (dalam hal ini Kementerian Kesehatan, di bawah Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto). Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa pembatasan kegiatan yang dilakukan paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pada saat yang sama, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 juga ditandatangani, yang menyatakan pandemi corona virus sebagai bencana nasional. Pembuatan kedua peraturan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mengatur ketentuan mendasar untuk PSBB.

Seiring berjalannya waktu, beberapa pusat perbelanjaan, tempat peribadatan sedikit demi sedikit mulai dibuka. Pemerintah menyerukan kita hidup damai berdampingan dengan COVID-19 karena pandemik ini diprediksi tidak akan hilang di muka bumi. Cara mejalankan aktivitas yang baru ini setelah PSBB dikenal dengan nama New Normal Era, adapula yang menyebutkan sebagai herd immunity. Namun, pemerintah dengan tegas mengatakan ini adalah Era Normal Baru. Bahkan disebut-sebut, Gubernur Anies Baswedan akan membuka sekolah pada Juli mendatang sebagai gambaran New Normal.

Dikutip dari artikel tirto.id, Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Penanganan COVID-19 Menurutnya, tatanan baru ini perlu ada sebab hingga kini belum ditemukan vaksin definitif dengan standar internasional untuk pengobatan virus corona. Para ahli masih bekerja keras untuk mengembangkan dan menemukan vaksin agar bisa segera digunakan untuk pengendalian pandemi COVID-19. "Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita produktif namun aman dari COVID-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru," kata Achmad Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Kamis (28/5/2020). Menurut Yuri, tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat inilah yang kemudian disebut sebagai new normal.

Masyarakat dapat melaksanakan aktivitasnya seperti biasa asalkan mengikutu protocol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menggunakan masker bila bepergian, selalu mencuci tangan dengan baik menggunakan sabun dan air mengalir, dan sedia hand sanitizer. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, tentu bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga penambahan kasus positif bisa ditekan.


Pro-kontra Pelaksanaan PSBB dan Segala Kebijakan Pemerintah

Setiap kebijakan selalu mengandung pro maupun kontra. Namun, apa yang telah dipertimbangkan oleh pemerintah menurutnya itu yang terbaik untuk rakyat. Mari mendengar opini mereka. Bagi sebagian orang, penerapan PSBB sejak pertengahan Maret kemarin menjadi salah satu jalan terbaik untuk mengurangi penyebaran virus lebih luas lagi.  Daripada lockdown diberlakukan dan ekonomi negara menjadi taruhannya, PSBB sudah paling tepat.

Namun, sebagian yang lain menganggap bahwa PSBB menjadi suatu permasalahan baru di tengah kemelutnya hidup. Paling banyak kaum menengah ke bawah yang mengeluh begitu. Saat tidak ada PSBB pun, mencari uang untuk makan terbilang susah, gimana PSBB begini? Satu-satunya pencaharian sebagian buruh yang bekerja di pabrik, harus terhenti apabila diPHK oleh pabrik. Inilah yang dinamakan masalah baru. Tuntutan kebutuhan sehari-hari yang semakin melambung, malah harus menerima kenyataan pahit karena diPHK dari pabrik. Ini menimbulkan konflik antara buruh dengan pemilik pabrik.

Selain buruh, para pedagang kecil pun ikut terancam. Pasalnya, banyak pasar-pasar yang ditutup secara permanen maupun sementara. Para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di pasar tersebut, mau tidak mau harus berdiam diri di rumah karena sudah kehilangan mata pencaharian satu-satunya. Pedagang lain yang berbelanja di pedagang besar di pasar juga merasakan imbasnya. Sayur-sayuran mulai lanka, sekalipun ada harganya jadi mengalami kenaikan. “Ayam naik, cabe naik. Berpengaruh sekali ke usaha kami” ujar Supriyati (45 tahun), seorang pedagang.

Satu lagi berita yang sempat hangat diperbincangkan menjelang hari raya idul fitri. Kurang lebih sekitar satu bulan yang lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan untuk mudik saat hari raya lebaran. Karena dianggap dapat memicu penyebaran virus di kampong halaman. Tentu ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Untuk mereka yang rutin setiap lebaran pulang ke kampung halaman, merasa tersiksa dengan diberlakukannya larangan tersebut. Orang-orang yang ada di tanah perantauan lebih tersiksa lagi, karena mungkin lama tak jumpa keluarga yang jauh di sana. Mereka yang biasa merasakan suasana lebaran di kampung bersama keluarga besar, kini seperti menemukan jalan yang baru. Hari raya dirayakan sendiri, dan bersilaturahmi hanya dengan menatap muka melalui telepon genggam. Modernisasi memiliki sisi positif.

Pertemua tatap muka juga dirasakan oleh sebagian besar mahasiswa. Mau tidak mau, mereka harus melaksanakan perkuliahan secara daring. Pagi, siang, hingga sore mereka menggunakan aplikasi demi tetap terlaksananya proses belajar mengajar. Tentu ini merupakan sebuah budaya baru bagi mahasiswa semester awal. Belum genap setahun mereka melakukan pembelajaran di kelas, terpaksa harus daring. Respon yang ditimbulkan juga bermacam-macam. Ada yang merasa nyaman dengan perkuliahan daring, adapula yang merasa tambah tersiksa karena dilaksanakannya daring. Keluhannya macam-macam.


Perkara Kumpul-kumpul dan Budaya Baru dalam Idul Fitri

Pemerintah melarang keras adanya perkumpulan di tengah pandemic seperti sekarang ini. Banyak yang mengatakan bahwa, mereka yang kumpul-kumpul tidak bisa menghargai kerja para tenaga medis dan relawan. Hingga mushola dan masjid-masjid dilarang mengadakan sholat wajib maupun Sunnah tarawih. Hanya zona hijau yang diperbolehkan melaksanakan sholat berjamaah di mushola maupun masjid dengan tetap memperhtaikan protokol kesehatan.

Saya sendiri merasakan bagaimana sholat ied di tahun 2020 hanya dengan orang-orang di gang rumah saja. Kami semua melaksanakan sholat di jalanan gang dengan menggelar terpal. Jarak shaf sholat tetap diperhatikan. Masker juga kita gunakan. Tradisi salam-salaman terpaksa hilang. Agak canggung dengan pemandangan seperti ini, tapi apa boleh buat. Ini merupakan sebuah pengalaman yang baru untuk dikenang di tahun-tahun berikutnya.

Pemerintah berharap agar semua warga menaati protokol kesehatan demi menekan penyebaran virus lebih luas lagi. Tak henti-henti, imbauan mengenakan masker selalu terpampang jelas di televisi, dan internet. Juga tidak menanggapi berita-berita dengan berlebihan dan malah membuat pribadi jadi paranoid. Justru rasa paranoid tersebut yang akan membuat imun tubuh memburuk. Tetap tenang dan ikuti protokol kesehatan yang telah diberikan oleh pemerintah.

Kurang lebih, sudah setengah tahun sejak berita COVID-19 menyebar di Indonesia. Pertama kali kasus ditemukan di tanah air pada awal Maret menjadi suatu peringatan agar tetap menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh. Terus meningkatnya kasus yang terpapar membuat beberapa orang menjadi panik. Pertanyaan 2020 untung atau malah buntung nampaknya dapat diprediksi oleh sebagian orang. Sebagiannya lagi, akan menentukan saat di penghujung tahun 2020. Semoga vaksin dari virus ini dapat segera ditemukan dan tetap jaga kebersihan serta kesehatan tubuh.


REFERENSI

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali: Jakarta. 2016

Soetomo. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2008

Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Salemba Humanika: Jakarta. 2010

Susan, Novri. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Prenada Media: Jakarta. 2019 (Cetakan 4)

R. Dahrendoerf. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik (Jakarta: Rajawali, 1986).

Gurr Robert Ted (ed.), Handbook of Political Conflict: Theory and Research (New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. 1980).

Suparlan, Parsudi. "Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya". Antropologi Indonesia Vol. 30, No. 2, 2006

Irwandi dan Endah R. Chotim, "Analisis Konflik Antara Masyarakat, Pemerintah dan Swasta". JISPO VOL. 7. No. 2 Edisi Juli-Desember, 2017

Mustamin, "Studi Konflik Sosial di Desa Bugis dan Parangina Kecamatan Sape Kabupaten Bima Tahun 2014". JIME, Vol. 2. No. 2. Oktober, 2016

 

0 Komentar