Kisah-Kisuh Ditengah Pandemi
Oleh: Ratu Nurul Afini


Sumber  gambar : https://m.mediaindonesia.com

Bulan ketiga pandemi, saat pemerintah sedang gencar gencarnya untuk memaksimalkan aktivitas dirumah aku justru berjibaku dijalankan mencari penumpang. Anjuran pemerintah untuk dirumahnya saja seperti sebuah  kesialan hidup. Bagi wong cilik seperti ku keluar rumah adalah pilihan paling rasional untuk menjamin hidup.

Di tengah cuaca yang panas tidak karuan aku memutuskan untuk menepi dan menikmati semangkuk bakso plus es kelapa di pinggir jalan milik pakde solar. Namanya adalah Mat Solar, lelaki tua penjual bakso dan es kelapa langgananku. Lapaknya selalu menjadi tempat nongkrong paling mewah, untuk para ojek pengkolan. Bagi kami, nongkrong dilapak pakde adalah simbol prestise.

Bakso pakde ala kadar saja dengan komposisi tepung yang mendominasi. Bagi lidah orang kaya, mungkin bakso pakde lebih cocok menjadi mochi dibandingkan bakso.  Begitu juga dengan minuman favorit kami, es kelapa muda dengan daging kelapanya yang tua. Rasa dagangan pakde memang jauh dari kata memuaskan tapi cukup untuk mengganjal perut yang sudah serba salah sedari lahir ini. Bagi kami dagangan pakde selalu istimewa, dan akan tetap istimewa.  Bukan karena enak tetapi karena murah dan bisa dikasbon pula!

“Pakde 1 kasbon.” Kataku lesu antara lapar dan tidak punya pilihan lain selain makan di lapak pakde.

Tangan pakde yang lambat dan gemetar melayaniku dengan hati-hati. Bila lapar sedang melanda tanpa kompromi ingin rasanya aku mengikat pakde dan melayani diriku sendiri. Beruntung kali ini aku bisa bersabar menanti pakde mengantarkan bakso ke meja. Aroma bakso pakde yang khas, membuatku lupa bahwa makan di pakde adalah suatu keterpaksaan.

Di sebrang jalan, beberapa orang dengan kaos partai tengah berjibaku memasang baliho calon bupati. Maklum pilkada tinggal menghitung bulan, waktu yang tepat untuk memulai kampanye dan serangan fajar. Pandemi tidak pernah mengalahkan niat orang orang ini untuk saling berebut kuasa. Seorang lelaki berperut paling buncit tengah menerima telepon, sesekali kepalanya mengangguk ngangguk dengan senyum masygul seperti sedang mengiyakan segala perintah di ujung telepon. Barangkali memang dia adalah mandornya.  Yang lain sibuk dengan tali rapia tangga lipat, pisau cutter dan sebagainya. lelaki cungkring sibuk berteriak kiri, kanan, atas, bawah, mencoba memosisikan tata letak yang paling sempurna.

Sambil menyantap bakso aku juga ikut menikmati kesibukan mereka, begitu baliho terbentang terpampanglah muka seorang perempuan. Sebagai seorang lelaki Pakde memang tak pernah kehilangan kejantananya biarpun kulitnya keriput dan beberapa giginya sudah tanggal tapi matanya tidaklah buta untuk menilai paras perempuan.

“Jiah ayu tenan calon bupati ne” Kata pakde baliho ketika dinaikan dan dibentangkan.

“Cocoklah jadi bojoku ya pakde”

“Ndasmu!! Bojokulah!”

Untunglah pakde berhadapan dengan anak baik sepertiku yang suka mengalah, kubiarkan saja khayalan pakde berjalan untuk memimpikan calon bupati di baliho itu menjadi istrinya.

Perempuan di baliho itu adalah bupati kota ini, dia mencalonkan diri untuk keduakalinya. suaminya kini menjabat sebagai seorang gubernur di provinsi, yang tidak lain merupakan mantan bupati tiga tahun yang lalu. Hebatnya, kedua anak mereka baru resmi menjadi anggota senayan terpilih dari daerah kami. Tidak ada jeda iklan untuk keluarga pejabat ini melebarkan sayapnya. Aku dan pakde hanya penonton dan pendengar setia atas kemenangan dan janji-janji manis mereka yang selalu sama. Disaat seperti ini biasanya orang-orang macam diriku dan pakde akan banyak disambangi oleh mereka.

Sebagai orang yang kurang waras menurut kasmad si ketua ojek pengkolan, aku pernah membayangkan diriku menjadi pemimpin, dengan setelan jas dan peci menyapa rakyat. Melambaikan tangan bak model. Memiliki simpanan dimana mana, mobil, rumah juga berhektar-hektar tanah. Saat aku utarakan khayalan paling ekstrim sekaligus indah pada kasmad, dia hanya bilang "Seberapa berbakatnya pun kau jadi penguasa tak kan pernah bisa jika tak ada orang dalam. Lagipula masih berbagi kakus saja menghayal yang tidak-tidak."

Asu kasmad! Asu tenan!

Sejak hari itu aku tak pernah membayangkan diri menjadi penguasa. Seperti kutukan setiap kali terlintas pikiran untuk menjadi penguasa ucapan kasmad terngiang di kepalaku.

Dari sebrang lelaki berbadan buncit telah selesai berbicara diujung telepon, dengan hati hati dia menyebrang jalan menuju ke arah pakde untuk membeli es kelapa. Dia tersenyum kepadaku yang tengah menyeruput sisa kuah bakso. Aku yang lapar mencoba membalas senyumnya dengan terpaksa.

“Nambah mas, biar saya yang bayar” katanya.

“Waduh jangan mas! Jangan sampe tidak maksudnya”

“Santai mas, pak de tolong buat satu mangkok biar saya yang bayar”

“Makasih loh mas, baik tenan”

Dia hanya tersenyum sambil memberikan satu lembar lima puluh ribuan kepada pakde.

“Kembaliannya untuk pakde saja”

Sontak saja wajah pakde dibuat sumringah, lebar betul seyum pakde dibuatnya. Aku bahkan sempat khawatir bibir pakde sobek sampai telinga, saking lebarnya senyum beliau kala itu. Saking bahagianya  pakde mengucapkan marturnuwun sampai tiga kali berturut-turut.

Taklama kemudian baliho sempurna terpampang. Calon bupati berwajah ayu dengan kalimat basi tanpa visi misi ini akan setia menemani pakde berjualan, berkat baliho ini aku yakin hidup pakde akan lebih cerah di esok hari. Membayangkan wajah ayu itu menjadi bojonya saja sudah membuat pakde berbahagia, bayangkan saja ketika itu jadi kenyataan barangkali pakde akan mati dengan dada meletup letup karena kelewat bahagia.

Beberapa orang yang memasang baliho tadi sudah naik ke pick up, Mereka bersiap untuk memasang spanduk, bendera, dan baliho ditempat lain.  Lelaki berperut buncit tadi berpamitan pada kami dengan sopan,  saat hendak masuk kedalam mobil pick-up dari sebrang jalan dia berteriak “jangan lupa nomor 2”.

Kami hanya senyum mengangguk tidak peduli. Sungguh tidak peduli.

Aku bahagia dengan bakso gratis dan pakde dengan sisa kembaliannya. Barangkali pakde lega karena tak jadi dikasbon olehku.  Walah pakdeeee, sayang tenan aku padamu!

Bagi orang-orang yang hidup segan mati tak mau sepertiku ini, merasa bahwa keberadaan pakde dengan segala keikhlasannya untuk dikasbon jauh lebih nyata kebermanfaatannya daripada keluarga calon bupati ini. Semoga panjang umurlah pakde kesayangan kami.

Eh sebentar, bukankah semangkok bakso kedua yang baru saja tandas ini bisa jadi berasal dari uang keluarga itu dengan perantara lelaki buncit tadi? Bajingannnnnnnn!
Ambyar sudah harga diriku!

Menjadi bagian dari wong cilik adalah ketidakmujuran yang bertubi-tubi. pandemi dengan himpitan hidup yang berlipat, seringkali membuatku merasa iri dengan hidup kucing pakde akhir-akhir ini, dia selalu asik masyuk menjilati tubuhnya atau berguling ria di tanah. Aku benci kucing itu, bagaimana tidak hampir setiap hari selama pandemi aku datang untuk kasbon di lapak pakde, dan kucing setan itu selalu setia melongok menatapku dengan tatapan yang paling menghina seperti tatapan kasmad tempo hari. Sialan! Entah apa yang Tuhan kerjakan sampai nasibku hampir tak pernah berubah.

0 Komentar