Sahabat Rahasia


Sumber gambar: https://pin.it/5DmJkhk
Oleh: Diva Sabdaprana

Malam ini sama seperti malam-malam lain di musim hujan, air hujan turun dari langit yang tak berbintang. Mereka berjatuhan, menari mengikuti irama angin.

Seorang gadis menatap hujan dari balik jendela kamar dengan senyuman getir di wajahnya. Sepasang mata birunya begitu tajam, menumpahkan suasana yang sama dengan senyumnya.  Dia seorang gadis yang cantik, dengan rambutnya yang hitam dan juga poni di dahinya. Membiarkan rambutnya jatuh terurai tanpa satu pun aksesoris yang menghiasinya.

Gadis itu meletakkan telapak tangan kanannya di kaca jendela lalu menghembuskan napasnya ke udara.

"Dingin sekali. Iya kan, Jiwa?"

Dia tersenyum dengan senyum yang sama seperti sebelumnya, kedua matanya berair. Mendengar sebuah suara, dia berhenti sejenak dan memandang pintu kamarnya yang tertutup.

"Mereka memulainya lagi."

Gadis itu duduk di jendela kamarnya, menempelkan pipi kanannya di kaca jendela, begitu pula dengan pipi kirinya. Dia menerawang. Menatap jalanan dan melihat sepasang manusia berjalan, masing-masing dari tangan mereka memegang tangan seorang gadis kecil. Mereka adalah sebuah keluarga, tebaknya.

Sekarang ia juga menaruh kedua kakinya di jendela. Tangannya menutup kedua telinga, tak mau mendengar suara-suara pertengkaran dari ruangan lain di rumahnya. Suara yang tak menyenangkan itu hampir setiap hari di dengarnya.

"Yumna, jangan menangis..."

Seorang laki-laki yang sedari tadi diajaknya bicara berdiri di hadapannya, memeluk tubuhnya yang rentan dan menepuk-nepuk kepalanya.

"Semuanya akan baik-baik saja. Aku ada di sini..."

Gadis itu memandangnya dengan tatapan paling menyedihkan yang pernah lelaki itu lihat. Lelaki yang bernama Jiwa itu meletakkan telapak tangannya di pipi gadis itu dan menghapus air matanya dengan kedua ibu jarinya. Ia tersenyum bijak. "Pergilah tidur, esok hari pasti akan lebih baik...."

Yumna mengangguk. Jiwa mengantarnya ke tempat tidur dan menyelimutinya. Kemudian ia duduk di sebelah kirinya sambil membelai tangan kiri gadis itu. Tangannya yang lain membelai rambutnya dengan lemah lembut. Mata Yumna tertutup, tetapi dia belum tidur dan masih bisa bicara.

"Jiwa, aku belum pernah melihatnya seburuk ini. Apakah Ayah Ibunya baru saja bertengkar serius?" kata laki-laki lain yang ada di dalam ruangan. Dia duduk di sebelah kanan tempat tidur gadis itu dan menatap gadis di sampingnya sambil membelai pipinya dengan lemah lembut.

"Kamu di sini juga, Raga?"

Laki-laki yang bernama Raga itu mengangguk.

"Dia memanggilku, oleh karena itu aku ada di sini. Tetapi ini agak aneh untuk mengirim kita ke dunianya. Seharusnya dia harus masuk ke dunia kita terlebih dahulu."

Gadis yang sedang mereka bicarakan menggerakan tangan kanannya, mencari tangan Raga yang berada di sampingnya. Matanya tetap tertutup.

"Yumna, semuanya akan baik-baik saja...." Bisik Raga sambil membelai dan membelai tangannya.

Air mata mengalir dari mata Yumna yang masih tertutup, membuat dahi raga berkerut.

"Raga, jangan berwajah seperti itu! Dia sudah berada dalam situasi yang buruk, dia membutuhkan kita untuk memberi semangat, makanya kita harus tersenyum meskipun dia juga bisa tersenyum. Itulah tugas kita, ingat!"

Raga mengangguk, kemudian menampilkan senyumnya yang ramah dan penuh cinta.

"Tentu saja, ini tugas kita...."

Jiwa menatap Raga, kemudian menatap gadis yang sedang ia belai.

"Yumna tak pernah membagi masalahnya kepada manusia yang lain, jadi kita harus bangga, Raga. Kita dipercaya olehnya untuk memikul rasa sakitnya dan melepas semua bebannya. Suatu saat kita harus bisa membuatnya tersenyum. Lagipula, tak ada manusia yang bisa berbuat seperti itu dan menghiburnya."

"Ya, tentu saja aku bangga. Yumna memilih untuk membagi masalahnya kepada kita daripada membaginya dengan manusia. Sebenarnya, aku ingin tahu kenapa dia tidak bisa percaya kepada manusia."

Tiba-tiba gadis yang mereka sebut Yumna berbicara dengan suara serak.

"Manusia itu kejam, mereka memiliki hati palsu. Kejahatannya bisa melebihi iblis." Yumna membuka kedua matanya dan menatap Raga.

"Manusia membuat janji dan mengingkarinya. Manusia bisa memneri senyum palsu kepada orang yang mereka benci. Mereka bisa merayu orang untuk membalas dendam. Kebanyakan dari mereka bersikap seolah mereka paling berkuasa. Menyalahkan iblis untuk kesalahan-kesalahan mereka yang seharusnya adalah kesalahan mereka sendiri, sesuai keinginan iblis agar mereka melakukannya."

"Yumna...." suara Raga mengandung empati dan kesedihan yang bersamaan.

"Tapi, aku juga manusia. Apakah kamu pikir aku juga kejam, Raga?"

Raga menggelengkan kepalanya, "Tidak, kamu tidak kejam, Yumna...."

Pintu kamar terbuka. Seorang wanita masuk membawa sebuah koper berisi barang-barangnya. Dia tidak melihat siapa pun kecuali anak gadisnya di dalam kamar. Meskipun Jiwa dan Raga duduk di samping anaknya. Wanita itu berlutut di samping tempat tidur putrinya dan memandang gadis itu sambil menangis.

"Maafkan aku sayang. Aku meninggalkanmu malam ini, jaga dirimu baik-baik...."

Wanita itu mencium kening anak gadisnya. Baik Raga dan Jiwa, mereka berdua masih berada di tempatnya masing-masing, menatap wanita yang sekarang meninggalkan ruangan.

"Yumna...."

Raga tidak dapat menyembunyikan kerutan di dahinya, bugitu pula dengan Jiwa. Gadis itu membuka matanya, kemudian bangun dan duduk. Memandang ke pintu kamarnya dengan air mata yang mengalir.

"Jiwa, Raga. Sekarang ibuku meninggalkanku. Benar-benar hebat bukan?"

Dia tersenyum dalam tangisannya. Jiwa dan Raga terdiam, mereka bisa merasakan sakit yang ada di dalam dada gadis itu. Mereka ingin menangis tapi mereka tak bisa melakukannya.

Yumna memeluk Jiwa. Dan menangis dalam pelukannya.

"Apa yang bisa kami lakukan, Yumna?" tanya Raga dengan wajah suramnya.

"Entahlah, aku tak tahu lagi...." isaknya putus asa.

Jiwa yang di peluknya itu menunjukkan ekspresi berbeda dari sebelumnya. Matanya membelalak. Ia melihat seotang laki-laki masuk ke dalam kamar.

"Siapa kamu?" Jiwa berbicara kepada laki-laki itu seraya mengencangkan pelukannya untuk melindungi Yumna. Kedua matanya menyipit.

Laki-laki itu tidak menjawab, kecuali melangkah pelan kearah mereka. Raga bangkit dari tempatnya, ia berjalan mendekat ke arah laki-laki tersebut, mencegahnya mendekati Yumna mereka yang tengah menahan napasnya.

Yumna bernapas tidak beraturan. Ia tercekik.

Mereka bisa mendengar suara napasnya, begitu keras dan menyakitkan.

"Yumna!" Raga mengalihkan pandangannya dari laki-laki asing itu kepada gadis yang membuatnya cemas.

Jiwa lebih memilih menangis jika ia adalah seorang manusia, sayangnya dia bukanlah manusia. Oleh karena itu, ia hanya bisa menunjukkan kecemasan, sedih, dan ekspresi menyakitkan lainnya di wajahnya sambil mempererat pelukannya.

Laki-laki asing tersebut melangkahkan kakinya mendekati Yumna. Raga dan Jiwa tidak dapat berbuat apa-apa, namun mereka berdua mengerti sekaranglah saatnya.

Laki-laki itu berdiri di depan Jiwa, matanya memberitahu semua tanpa harus berkata-kata. Jiwa mengangguk. Melepaskan pelukannya dan memberikan Yumna ke dalam pelukan laki-laki asing itu. Raga melihat mereka dengan tatapan penuh duka cita.

"Namaku, Sterben. Aku akan membawamu bersamaku sekarang." bisik laki-laki asing dengan pakaian putih kepada gadis dalam pelukannya.

"Sterben?" tanyanya samar-samar.

"Jangan takut, mulai sekarang kamu akan bahagia....."

Dia memeluk gadis itu dengan sayap putihnya. Membawa gadis itu ke sebuah tempat bernama surga.

***

Gadis itu telah terbaring di dalam tanah sedalam enam kaki. Di atasnya pecah tangisan ayah dan ibunya. Satu harapan yang bisa mereka panjatkan adalah agar putri mereka bisa beristirahat dalam damai.

Dua orang laki-laki yang gadis itu miliki, telah menghilang bersamaan dengan berhentinya memorinya merekam sesuatu.

Karena mereka hanya akan datang jika dia menginginkannya dan saat memanggil nama mereka. Mereka lahir dari imajinasinya dan menjadi sahabat rahasianya.

[SELESAI]



0 Komentar