Cerpen
Sahabat Rahasia
Sahabat Rahasia
Malam ini
sama seperti malam-malam lain di musim hujan, air hujan turun dari langit yang
tak berbintang. Mereka berjatuhan, menari mengikuti irama angin.
Seorang
gadis menatap hujan dari balik jendela kamar dengan senyuman getir di wajahnya.
Sepasang mata birunya begitu tajam, menumpahkan suasana yang sama dengan
senyumnya. Dia seorang gadis yang cantik, dengan rambutnya yang hitam dan
juga poni di dahinya. Membiarkan rambutnya jatuh terurai tanpa satu pun
aksesoris yang menghiasinya.
Gadis itu
meletakkan telapak tangan kanannya di kaca jendela lalu menghembuskan napasnya
ke udara.
"Dingin
sekali. Iya kan, Jiwa?"
Dia
tersenyum dengan senyum yang sama seperti sebelumnya, kedua matanya berair.
Mendengar sebuah suara, dia berhenti sejenak dan memandang pintu kamarnya yang
tertutup.
"Mereka
memulainya lagi."
Gadis itu
duduk di jendela kamarnya, menempelkan pipi kanannya di kaca jendela, begitu
pula dengan pipi kirinya. Dia menerawang. Menatap jalanan dan melihat sepasang
manusia berjalan, masing-masing dari tangan mereka memegang tangan seorang
gadis kecil. Mereka adalah sebuah keluarga, tebaknya.
Sekarang ia
juga menaruh kedua kakinya di jendela. Tangannya menutup kedua telinga, tak mau
mendengar suara-suara pertengkaran dari ruangan lain di rumahnya. Suara yang
tak menyenangkan itu hampir setiap hari di dengarnya.
"Yumna,
jangan menangis..."
Seorang
laki-laki yang sedari tadi diajaknya bicara berdiri di hadapannya, memeluk
tubuhnya yang rentan dan menepuk-nepuk kepalanya.
"Semuanya
akan baik-baik saja. Aku ada di sini..."
Gadis itu
memandangnya dengan tatapan paling menyedihkan yang pernah lelaki itu lihat.
Lelaki yang bernama Jiwa itu meletakkan telapak tangannya di pipi gadis itu dan
menghapus air matanya dengan kedua ibu jarinya. Ia tersenyum bijak.
"Pergilah tidur, esok hari pasti akan lebih baik...."
Yumna
mengangguk. Jiwa mengantarnya ke tempat tidur dan menyelimutinya. Kemudian ia
duduk di sebelah kirinya sambil membelai tangan kiri gadis itu. Tangannya yang
lain membelai rambutnya dengan lemah lembut. Mata Yumna tertutup, tetapi dia
belum tidur dan masih bisa bicara.
"Jiwa,
aku belum pernah melihatnya seburuk ini. Apakah Ayah Ibunya baru saja
bertengkar serius?" kata laki-laki lain yang ada di dalam ruangan. Dia
duduk di sebelah kanan tempat tidur gadis itu dan menatap gadis di sampingnya
sambil membelai pipinya dengan lemah lembut.
"Kamu
di sini juga, Raga?"
Laki-laki
yang bernama Raga itu mengangguk.
"Dia
memanggilku, oleh karena itu aku ada di sini. Tetapi ini agak aneh untuk
mengirim kita ke dunianya. Seharusnya dia harus masuk ke dunia kita terlebih
dahulu."
Gadis yang
sedang mereka bicarakan menggerakan tangan kanannya, mencari tangan Raga yang
berada di sampingnya. Matanya tetap tertutup.
"Yumna,
semuanya akan baik-baik saja...." Bisik Raga sambil membelai dan membelai
tangannya.
Air mata
mengalir dari mata Yumna yang masih tertutup, membuat dahi raga berkerut.
"Raga,
jangan berwajah seperti itu! Dia sudah berada dalam situasi yang buruk, dia
membutuhkan kita untuk memberi semangat, makanya kita harus tersenyum meskipun
dia juga bisa tersenyum. Itulah tugas kita, ingat!"
Raga
mengangguk, kemudian menampilkan senyumnya yang ramah dan penuh cinta.
"Tentu
saja, ini tugas kita...."
Jiwa menatap
Raga, kemudian menatap gadis yang sedang ia belai.
"Yumna
tak pernah membagi masalahnya kepada manusia yang lain, jadi kita harus bangga,
Raga. Kita dipercaya olehnya untuk memikul rasa sakitnya dan melepas semua
bebannya. Suatu saat kita harus bisa membuatnya tersenyum. Lagipula, tak ada
manusia yang bisa berbuat seperti itu dan menghiburnya."
"Ya,
tentu saja aku bangga. Yumna memilih untuk membagi masalahnya kepada kita
daripada membaginya dengan manusia. Sebenarnya, aku ingin tahu kenapa dia tidak
bisa percaya kepada manusia."
Tiba-tiba
gadis yang mereka sebut Yumna berbicara dengan suara serak.
"Manusia
itu kejam, mereka memiliki hati palsu. Kejahatannya bisa melebihi iblis."
Yumna membuka kedua matanya dan menatap Raga.
"Manusia
membuat janji dan mengingkarinya. Manusia bisa memneri senyum palsu kepada
orang yang mereka benci. Mereka bisa merayu orang untuk membalas dendam.
Kebanyakan dari mereka bersikap seolah mereka paling berkuasa. Menyalahkan
iblis untuk kesalahan-kesalahan mereka yang seharusnya adalah kesalahan mereka
sendiri, sesuai keinginan iblis agar mereka melakukannya."
"Yumna...."
suara Raga mengandung empati dan kesedihan yang bersamaan.
"Tapi,
aku juga manusia. Apakah kamu pikir aku juga kejam, Raga?"
Raga
menggelengkan kepalanya, "Tidak, kamu tidak kejam, Yumna...."
Pintu kamar
terbuka. Seorang wanita masuk membawa sebuah koper berisi barang-barangnya. Dia
tidak melihat siapa pun kecuali anak gadisnya di dalam kamar. Meskipun Jiwa dan
Raga duduk di samping anaknya. Wanita itu berlutut di samping tempat tidur
putrinya dan memandang gadis itu sambil menangis.
"Maafkan
aku sayang. Aku meninggalkanmu malam ini, jaga dirimu baik-baik...."
Wanita itu
mencium kening anak gadisnya. Baik Raga dan Jiwa, mereka berdua masih berada di
tempatnya masing-masing, menatap wanita yang sekarang meninggalkan ruangan.
"Yumna...."
Raga tidak
dapat menyembunyikan kerutan di dahinya, bugitu pula dengan Jiwa. Gadis itu
membuka matanya, kemudian bangun dan duduk. Memandang ke pintu kamarnya dengan
air mata yang mengalir.
"Jiwa,
Raga. Sekarang ibuku meninggalkanku. Benar-benar hebat bukan?"
Dia
tersenyum dalam tangisannya. Jiwa dan Raga terdiam, mereka bisa merasakan sakit
yang ada di dalam dada gadis itu. Mereka ingin menangis tapi mereka tak bisa
melakukannya.
Yumna
memeluk Jiwa. Dan menangis dalam pelukannya.
"Apa
yang bisa kami lakukan, Yumna?" tanya Raga dengan wajah suramnya.
"Entahlah,
aku tak tahu lagi...." isaknya putus asa.
Jiwa yang di
peluknya itu menunjukkan ekspresi berbeda dari sebelumnya. Matanya membelalak.
Ia melihat seotang laki-laki masuk ke dalam kamar.
"Siapa
kamu?" Jiwa berbicara kepada laki-laki itu seraya mengencangkan pelukannya
untuk melindungi Yumna. Kedua matanya menyipit.
Laki-laki
itu tidak menjawab, kecuali melangkah pelan kearah mereka. Raga bangkit dari
tempatnya, ia berjalan mendekat ke arah laki-laki tersebut, mencegahnya
mendekati Yumna mereka yang tengah menahan napasnya.
Yumna
bernapas tidak beraturan. Ia tercekik.
Mereka bisa
mendengar suara napasnya, begitu keras dan menyakitkan.
"Yumna!"
Raga mengalihkan pandangannya dari laki-laki asing itu kepada gadis yang
membuatnya cemas.
Jiwa lebih
memilih menangis jika ia adalah seorang manusia, sayangnya dia bukanlah
manusia. Oleh karena itu, ia hanya bisa menunjukkan kecemasan, sedih, dan
ekspresi menyakitkan lainnya di wajahnya sambil mempererat pelukannya.
Laki-laki
asing tersebut melangkahkan kakinya mendekati Yumna. Raga dan Jiwa tidak dapat
berbuat apa-apa, namun mereka berdua mengerti sekaranglah saatnya.
Laki-laki
itu berdiri di depan Jiwa, matanya memberitahu semua tanpa harus berkata-kata.
Jiwa mengangguk. Melepaskan pelukannya dan memberikan Yumna ke dalam pelukan
laki-laki asing itu. Raga melihat mereka dengan tatapan penuh duka cita.
"Namaku,
Sterben. Aku akan membawamu bersamaku sekarang." bisik laki-laki asing
dengan pakaian putih kepada gadis dalam pelukannya.
"Sterben?"
tanyanya samar-samar.
"Jangan
takut, mulai sekarang kamu akan bahagia....."
Dia memeluk
gadis itu dengan sayap putihnya. Membawa gadis itu ke sebuah tempat bernama
surga.
***
Gadis itu
telah terbaring di dalam tanah sedalam enam kaki. Di atasnya pecah tangisan
ayah dan ibunya. Satu harapan yang bisa mereka panjatkan adalah agar putri
mereka bisa beristirahat dalam damai.
Dua orang
laki-laki yang gadis itu miliki, telah menghilang bersamaan dengan berhentinya
memorinya merekam sesuatu.
Karena
mereka hanya akan datang jika dia menginginkannya dan saat memanggil nama
mereka. Mereka lahir dari imajinasinya dan menjadi sahabat rahasianya.
[SELESAI]
0 Komentar