Opini
REHUMANISASI PENDIDIKAN KALA PANDEMI, MUNGKINKAH?
REHUMANISASI
PENDIDIKAN KALA PANDEMI, MUNGKINKAH?
Oleh: Calon Demonstran
Mari kilas balik keadaan sebelum Covid-19
menghantam Indonesia, semua media pemberitaan sampai penyelenggaraan seminar
menggaungkan wacana Revolusi Industri 4.0 mulai dari asal-usul, sikap yang
harus dimiliki manusia, hingga potensi perekonomian yang akan didapat. Semua
pihak tampak bergembira dengan datangnya revolusi ini, semua hal kian mudah dan
seperti tidak akan ada persoalan yang tidak dapat diatasi. Hingga suatu saat
umat manusia merasakan “pembunuhan” oleh makhluk miko-organisme secara mewabah.
Kampanye yang seakan menjanjikan kehidupan akan
berubah, nyatanya sirna dengan sendirinya karena wabah. Mungkin itulah salah
satu yang dapat disyukuri oleh ranah pendidikan karena akan menunda terjadinya
degradasi humanisme padanya, walaupun pada saat ini ranah pendidikan menghadapi
rintangan yang sangat sulit dengan terpaksanya dilakukan kegiatan belajar
mengajar dari rumah secara daring. Mungkin hal itu lumrah bagi sebagian
masyarakat kota tetapi beda halnya dengan yang dialami Avan, seorang guru di Sumenep
yang harus datang dari rumah ke rumah muridnya karena tidak semua murid
memiliki perangkat untuk menunjang pembelajaran jarak jauh yang bahkan Mas
Nadiem sendiri “kaget” dengan adanya kesenjangan digital.
Ranah pendidikan mengalami lag dalam
menyikapi wabah ini. Bagaimana tidak, sistem pendidikan yang sampai saat ini
dibangun belum sampai pada tahap pembelajaran formal secara daring, pengentasan
kebodohan diukur dengan ujian yang seragam, dan bahkan indikator kesusksesan
tergantung pada industri yang dapat menyerap lulusan dari institusi pendidikan.
Semua realita pendidikan ini mengarah pada satu titik, yakni pendidikan yang mendegredasi
nilai-nilai kemanusiaan.
Paulo Freire—tokoh pendidikan yang menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan—menyatakan bahwa sekolah yang hanya mencetak generasi
pekerja adalah sekolah yang menuju pada penindasan. Pendidikan yang dikala
normal melakukan pendidikan “gaya bank” yang mana guru diibaratkan sebagai
penabung dan murid adalah wadah menabung dari para guru yang hanya diisi oleh materi
yang relevan pada industri. Realita demikian karena sekolah hanya dijadikan
sarana pelatihan untuk bekerja sehingga tolak ukur keberhasilan SDM hanya
ditinjau melalui kemampuan siap kerja.
Revolusi Industri 4.0 juga membuka pintu masuk
seluas-luasnya investor asing yang siap menanam kapitalnya. Maka lebih lanjut
pendidikan akan menjadi lapangan refleksi kepentingan dari para investor dan
dalam sistem ini, masyarakat Indonesia akan terasingkan dari budayanya hingga
akan terus memandang “wah” segala sesuatu dari luar, fenomena ini dikatakan
Freire sebagai pendidikan gaya kolonial yang pada hilirnya akan terus menerus
memanjakan industri.
Sejatinya pendidikan yang asli tumbuh dari
Indonesia berdasar pada filosofi pendidikan kesetaraan yang merakyat oleh Ki
Hajar Dewantara. Berbekal pada tuntunan akan pentingnya pelestarian eksistensi
manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, dan
sebagai anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Pendidikan kerakyatan juga bersandar pada semangat
keluhuran budi manusia, membangun karakter, dan mendidik ke arah kekeluargaan.
Namun, pendidikan pada saat ini lebih
menghargai “to have” (materi yang dimiliki), dan ”to do” (yang
telah berhasil atau tidak berhasil dilakukan) daripada eksistensi pribadi dari
murid yang bersangkutan. Hal ini justru akan ditengarai terjadinya alienasi dan
tercabutnya anak dari budaya serta realitas kesehariannya karena angan-angan
Revolusi Industri 4.0 terlalu tinggi sehingga menomor sekiankan visi humanisme
yang fundamental dan seperti yang dikatakan Ki Hajar, bahwa murid akan belajar
hanya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi.
Menurut hemat penulis, Covid-19 setidaknya
memberikan dampak positif diantara banyaknya dampak negatif dalam ranah
pendidikan. Walau demikian, dampak ini dapat menjadi lompatan besar yang
revolusioner dalam menyikapi dehumanisasi pendidikan. Ialah gap waktu
yang dapat digunakan oleh Mas Nadiem untuk berefleksi bahwa realitas pendidikan
saat ini sama sekali tidak sehat. Baiklah, sebelumnya Mas Nadiem layak
mendapatkan apresiasi kebijakannya tentang Kampus Merdeka dan peniadaan UN yang
realisasinya lebih cepat setahun, namun praktis pendidikan sektor lain masih
layak untuk dikritik.
Salah satu prinsip pendidikan yang humanis
adalah menjadikan murid sebagai subjek yang dapat bertindak bebas secara
cerdas, tidak melulu seperti wadah tabungan yang harus diisi materi
pembelajaran setiap hari. Momentum belajar dari rumah mengehendaki demikian,
dengan jauh dari pantauan guru, maka dapat diberlakukan pembelajaran yang
berpusat pada keluarga dan anak itu sendiri untuk dapat berelaborasi dan turut
serta mengaktualisasi potensi diri anak dan menjaga perilakunya, apabila
elaborasi ini berhasil maka akan didapatkan anak yang memiliki kebudayaan
tinggi, mendayakan budinya untuk dapat mengolah dan mengangkat hal-hal yang ada
di dalam dirinya maupun luar dirinya menjadi lebih berkualitas.
Proses pembelajaran yang hanya mentrasfer
materi tidak akan bermanfaat pada kondisi saat ini, lebih baik mempraktikkan gagasan Freire yang dikenal dengan sistem
“hadap-masalah” dengan memberikan stimulus pada anak untuk melatih kepekaan
tentang apa yang menjadi masalah dengan fenomena ini lingkungannya. Solusi ini
menjadi lebih bermanfaat karena tidak membahas yang terlampau jauh karena beban
kurikulum yang dirancang tidak fleksibel dalam menghadapi fenomena wabah ini.
Sejenak kita meninggalkan angan-angan revolusi
industri dan kembali pada permasalahan vital proses pembelajaran. Kurikulum
yang dirancang dengan harapan output yang akan bekerja pada industri
sama sekali tidak relevan pada situasi saat ini. Sejenak kita kembali melihat
filosofi pendidikan bangsa kita yang ternyata sangat menghendaki potensi
masing-masing anak berkembang dengan
tidak hanya sekadar untuk isi pikiran, melainkan memiliki peran membangun
kecerdasan kehidupan bangsa dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sejenak kita menghabiskan waktu untuk merefleksi pendidikan yang selama ini
justru menuju pada karakter individualistik.
Kumpulan “sejenak” waktu akan memberi
pengalaman, bahwa mimpi-mimpi yang seringkali terabaikan menjadi sangat
dibutuhkan, kejadian yang saat ini terjadi akan menjadi proyeksi bagaimana masa
depan terkonstruksi. Dengan berkaca pada nilai-nilai humanis maka akan
terbentuk karakter pelajar Indonesia yang tercerdaskan secara sosial dan
intelektual, tanpa ada janji bahwa pekerjaan di industri 4.0 akan menjamin
kebahagiaan yang nyatanya kebahagiaan adalah buah manis pendidikan, harapan untuk rehumanisasi pendidikan sangat
ada dan peluang itu ada di depan mata kita.
Referensi
Freire,
Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta. LP3ES.
Afdilla,
Hapsari. “Curhat Guru Datangi Rumah Murid Untuk Mengajar Di Tengah Wabah
Corona” (2020, 19 April). Brilio. Diakses melalui https://m.brilio.net/serius/curhat-guru-datangi-rumah-murid-untuk-mengajar-di-tengah-wabah-corona-200419y.html?utm_source=Curhat+guru+datangi+rumah+murid+untuk+mengajar+di+tengah+wabah+corona&utm_medium=LineNewsclick&utm_campaign=LineTodayNews
Narda, Rahel.
“Kemendikbud Terus Lakukan Evaluasi Pendidikan Jarak Jauh”. (2020, 2 Mei). Detik
News. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-5000123/kemendikbud-terus-lakukan-evaluasi-pendidikan-jarak-jauh
Kumalasari,
D. (2010). Konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan taman siswa
(tinjauan humanis-religius). ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 8(1).
Subarto,
S. (2020). Momentum Keluarga Mengembangkan Kemampuan Belajar Peserta Didik Di
Tengah Wabah Pandemi Covid-19. 'ADALAH, 4(1).
Wahana,
P. (2016). Mengenal Pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif dalam Pendidikan
untuk Membangun Manusia yang Cerdas dan Humanis. DIDAKTIKA, 5(1).
0 Komentar