Hasil gambar untuk ruang terbuka hijau di amerika
Sumber Gambar: Tribunnews.com


Oleh: Sukiman

Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta merupakan kota yang sangat sibuk. Sehabis subuh, sekitar pukul 05.00 pagi, orang-orang dikota ini sudah banyak yang bergegas menuju suatu tempat, ada yang menggunakan kendaraan umum seperti kereta, bus, dan angkot, ada juga yang menggunakan kendaraan pribadi—semuanya dilakukan untuk mengejar mimpi masing-masing yang dijanjikan kota ini. Hal itu membuat setiap pagi kota ini selalu dipenuhi oleh kendaraan, begitupun disiang hari, kota ini tetap ramai, ada yang menghabiskan makan siang di restoran ada juga yang tetap dijalanan untuk bepergian. Dan tentunya hingga sore hari, ketika banyak orang bergegas ke rumah masing-masing untuk beristirahat, kota ini semakin sibuk saja.

Kegiatan yang padat dengan intensitas mobilisasi yang juga besar ini juga disebabkan karena banyaknya penduduk yang menetap di kota Jakarta. Ada sekitar 10,37 juta penduduk DKI Jakarta pada tahun 2017 yang menempati luas wilayah yang hanya sekitar 662,33 km2.[1] Hal itu membuat Jakarta menjadi provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, dengan kepadatan sebesar 15.478,12 jiwa/km2 pada tahun 2016.[2] Namun demikian dengan penduduk tinggi, Jakarta mampu menjadi provinsi dengan pendapatan tertinggi setiap tahunnya, dengan setidaknya menyumbang 16,5% ekonomi Indonesia, jauh lebih besar dibanding kota lain yang bahkan tidak bisa sampai di angka 5%.[3]

Meski begitu, ada harga yang mesti dibayar oleh ibu kota negara Indonesia ini. Dengan jumlah penduduk besar dan kegiatan produksi yang tinggi menyebabkan berbagai masalah, salah satunya yang menjadi sorotan belakangan ini adalah masalah lingkungan. Belum lama ini Jakarta dinobatkan sebagai kota paling berpolusi di dunia, fakta itu diperoleh dari situs www.AirVisual.com pada senin 29 Juli 2019. Belum lagi masalah kemacetan yang dirasakan setiap hari dan tentunya Banjir  ketika musim penghujan datang. Dilema ini dirasakan bagaimana ketika musim kemarau kota ini memiliki polusi yang tinggi sedangkan musim hujan harus kebanjiran. Dari segi tanahpun sulit di Jakarta untuk mencari tanah, hampir setiap kawasan ditempati oleh gedung-gedung tinggi dan pemukiman penduduk, bahkan saking penuhnya, di sepanjang pinggiran sungai yang bukan diperuntukan untuk bangunan sampai ditempati pula. Kondisi air juga begitu, hal itu bisa dilihat dari kualitas air sungai yang cukup tercemar dengan sampah. Dengan penduduk yang besar mejadikan produksi sampah yang besar pula, tercatat masyarakat Jakarta memproduksi sampah hingga 7.500 ton setiap harinya.[4]

Melalui masalah lingkungan yang dialami ibu kota sebelumnya, saya berharap untuk ibu kota baru bisa lebih memerhatikan isu ini. Saran saya untuk ibu kota baru dalam hal lingkungan harus menyediakan ruang terbuka hijau yang luas. Jika melihat di Jakarta sulit sekali mencari ruang terbuka hijau, data menyebutkan hanya sekitar 14,9 persen ruang terbuka hijau dari total luas Jakarta. Padahal target yang tertuang di Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2030 adalah sebesar 30 persen.[5]

Padahal ruang terbuka hijau memiliki banyak manfaat, diantaranya menyerap racun udara, sebagai daerah resapan air, dan sebagai tempat berinteraksi yang nyaman masyarakat kota. Bahkan studi di Tampa, Florida, Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa semakin dekat permukiman dengan ruang terbuka hijau semakin rendah tingkat depresi penduduknya.[6] Rendahnya depresi disebabkan karena masyarakat bisa berinteraksi dengan nyaman di ruang terbuka hijau, kedekatan masyarakat menjadi terjalin, dan kepemilikan atas kota juga meningkat—hal itu juga bisa menambah kesadaran akan kecintaan masyarakat terhadap kota, sehingga kota bisa terawat dengan baik. Selain itu ruang terbuka hijau bermanfaat untuk membersihkan udara yang akan berdampak pada berkurangnya biaya kesehatan untuk penyakit pernafasan. Lebih dari itu ruang tebuka hijau sebagai resapan air bisa mengurangi biaya kerugian akibat banjir yang luar biasa besar.

Menurut saya, ini merupakan saran yang sangat krusial untuk ibu kota baru nantinya. Ruang terbuka hijau harus sangat diperhatikan, bagaimanapun sebelum penduduk berjumlah lebih besar, pemerintah harus mempersiapkan ruang terbuka hijau setidaknya 30 persen dari luas wilayah kota tersebut. Hal ini tentunya karena ruang terbuka hijau memiliki banyak manfaat, seperti yang disebutkan sebelumnya. Apalagi di pulau Kalimantan yang terkenal sebagai daerah yang memiliki lahan hijau yang luas, patut sangat dijaga, agar tidak rusak.

Hal yang bisa dilakukan adalah, pertama, pemerintah memetakan ruang terbuka hijau, setidaknya 30 persen dari luas wilayah. Kedua, perijinan untuk mendirikan bangunan yang awalnya di proyeksikan untuk lahan terbuka hijau harus tegas baik itu untuk perusahaan atau masyarakat. Ketegasan sangat diperlukan demi terbentuknya kota yang layak huni dan tentunya nyaman ditempati. Ketiga, lahan terbuka hijau bisa di kreasikan dengan ditambah tempat bermain, gedung-gedung perpustakaan, atau tempat berbagai pertunjukan, hal ini bagus untuk menciptakan kota yang bukan hanya maju dalam hal ekonomi tetapi sangat nyaman untuk ditempati.



[1] Badan Pusat Statistik Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.[2] Badan Pusat Statistik Nasional.
[3] Agung Pambudhy, Ini 10 Daerah dengan EKonomi Terbesar di RI, detikfinance, diakses dari https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3496150/ini-10-daerah-dengan-ekonomi-terbesar-di-ri pada tanggal 8 Agustus 2019.
[4] Rizky Adrianto, Kelola Sampah: Jakarta Rp 3,7 Triliun, Surabaya Rp 30 Miliar, Mana yang Lebih Baik?, TribunJogja, diakses dari https://jogja.tribunnews.com/2019/08/07/kelola-sampah-jakarta-rp-37-triliun-surabaya-rp30-miliar-mana-yang-lebih-baik?page=2, pada tanggal 9 Agustus 2019.
[5] Kolom Tempo, Ruang Terbuka Hijau di Jakarta, kolom.tempo.co, diakses dari https://www.google.com/amp/s/kolom.tempo.co/amp/1176736/ruang-hijau-di-jakarta pada tanggal 18 Agustus 2019.
[6] Ibid. kolom.tempo.co.

0 Komentar